Charta Politika : Prabowo Dongkrak Elektabilitas Lewat Pernyataan Kontroversial

Loading

JAKARTA (IndependensI.com) – Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya menilai, sikap Calon Presiden nomor urut 02, Prabowo Subianto yang kerap mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang memicu kontroversial, merupakan strategi untuk mendongkrak elektabilitas.

Sebut saja saat Prabowo menyebut Indonesia bakal bubar dan punah, atau saat dia mengaku mendapat laporan bahwa 1 alat di RSCM dipakai untuk 40 pasien cuci darah. Pernyataannya yang dianggap kontroversi juga disampaikan saat pidato politiknya di JCC, Senin (14/1/2019). Prabowo bertubi-tubi melontarkan kritik ke pemerintah. Pidatonya dianggap sebagai ilusi, sinisme dan bernada pesimisme.

Yunarto menganalisa sikap politik Prabowo belakangan ini untuk meningkatkan elektabilitasnya. Pasalnya, elektabilitas Prabowo selama ini hanya stagnan dalam tiga bulan terakhir. Mulai Oktober, November dan Desember.

Lembaga Survei Charta Politika mencatat, elektabilitas Prabowo Subianto danSandiaga Uno memang menanjak pasca ditetapkan sebagai capres dan cawapres oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Namun dalam tiga bulan terakhir terjadi stagnasi berkisar angka 34,1 persen. Elektabilitas Jokowi juga stagnan di 51 persen.

Agar elektabilitas Prabowo tidak stagnan maka harus menghadirkan ‘momentum’ untuk mencuri perhatian masyarakat. Sebab jika Prabowo mempertahankan ritme, ini justru menguntungkan Jokowi.

“Kata kunci Prabowo harus miliki momentum baru, karena ketika terjadi yang stagnan kejenuhan yang terjadi terkait paling lama yang diuntungkan pemimpin. Jadi buat yang enggak mimpin, sementara pasangan penantang harus letupan-letupan,” kata Yunarto di Kantornya, Menteng, Rabu (16/1).

Berangkat dari situ, tidak heran jika akhir-akhir ini Prabowo kerap mengeluarkan pernyataan yang memancing pro kontra. Sebagai bagian dari strategi Prabowo mencuri perhatian.

“Disitulah sangat menarik mengenai bagaimana kontroversial Prabowo. Mungkin spekulasi memancing gunjingan, polemik pro dan kontra dialog. Stagnasi terjadi masa kampanye sehingga bisa saja itu skenario memang itu yang dilakukan orang yang tertinggal,” tegasnya.

Yunarto menjelaskan terjadinya stagnan pada kedua paslon karena tingkat strong voter di kedua belah pihak sudah sangat besar. Sehingga, ruang gerak untuk perubahan pilihan terhadap capres-cawapres tidak terlalu besar.

Dari data Charta Politika, strong voters atau pemilih yang tak akan berubah pikiran di masing-masing kubu mencapai 80 persen.

“Pemilih-pemilih yang nanti kesalahan dilakukan calon tidak sampai mengubah pilihan, kecuali sampai skala ekstrem. Ini sudah terjadi pada pertarungan asal bukan Jokowi asal bukan Prabowo. Di situlah stagnasi sangat mungkin terjadi. Karena ini rematch dari dua kelompok yang itu-itu saja. Yang memang berantem terus-terusan,” tutupnya.