Komunitas Suku Dayak sebagai penduduk asli di Pulau Borneo, menggelar demonstrasi tolak Program Transmigrasi di Palangka Raya, Ibu Kota Provinsi Kalimantan Tengah (Borneo Tengah), Senin, 18 Februari 2019.

Paksakan Transmigrasi di Borneo, Langgar Deklarasi PBB

Loading

JAKARTA (Independensi.com) – Komunitas Masyarakat Dayak Ibanic di Pulau Borneo menegaskan, Program Transmigrasi Pemerintah Republi Indonesia, untuk menempatkan 1,4 juta Kepala Keluarga (KK) transmigrans ke Provinsi Kalimantan Tengah secara bertahap mulai tahun 2019, adalah bentuk pelanggaran terhadap Deklarasi Hak-Hak Penduduk Pribumi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Nomor 61/295, tanggal 13 September 2007.

“Terlebih lagi uang yang digunakan untuk memindahkan penduduk padat di Pulau Jawa ke Pulau Borneo menggunakan pajak eksploitasi sumberdaya alam di Pulau Borneo atau pinjaman dari International Monetery Fund atau IMF, justru digunakan untuk mendiskriminasi, mengkriminalisasi dan menghegemoni Suku Dayak sebagai penduduk pribumi di Pulau Borneo,” kata Tobias Ranggie, praktisi hukum Komunitas Dayak Ibanic Provinsi Kalimantan Barat di Pontianak, Rabu, 20 Februari 2019.

Menurut Tobias, program transmigrasi, jelas-jelas pelanggaran deklarasi internasional yang sudah diratifikasi Pemerintah Republik Indonesia sebagai salah satu anggota aktif di Sekretariat PBB di New York, Amerika Serikat.

Diungkapkan Tobias, masyarakat Suku Dayak sebagai penduduk asli berhak mengadukan Pemerintah Republik Indonesia ke Sekretariat PBB di New York, Amerika Serikat, apabila tetap saja memaksakan kehendak untuk mengirim transmgrans dari Pulau Jawa ke Pulau Borneo.

Tobias menuturkan, dari 46 pasal yang dituangkan, khusus di dalam pasal 7 Deklarasi Hak-hak Penduduk Pribumi PBB Nomor 61/295, tanggal 13 September 2007, menyebutkan, “Warga-warga masyarakat adat memiliki hak utuh atas kehidupan, keutuhan fisik dan mental, kemerdekaan dan keamanan sebagai seseorang.

Kemudian, “Masyarakat adat memiliki hak kolektif untuk hidup bebas, damai dan aman sebagai kelompok masyarakat yang berbeda dan tidak boleh menjadi target dari tindakan genosida apapun atau tindakan-tindakan pelanggaran lainnya, termasuk pemindahan anak-anak secara paksa dari sebuah kelompok ke kelompok lainnya.”

Pada pasal 8, disebutkan, “Masyarakat adat dan warga-warganya memiliki hak untuk tidak menjadi target dari pemaksaan percampuran budaya atau pengrusakan budaya mereka.”

Di samping itu, “Negara akan menyediakan mekanisme yang efektif untuk mencegah, dan pengganti kerugian atas: Setiap tindakan yang mempunyai tujuan atau berakibat pada hilangnya keutuhan mereka sebagai kelompok masyarakat yang berbeda, atau dari nilai-nilai kultural atau identitas etnik mereka.”

“Setiap tindakan yang mempunyai tujuan atau berakibat pada tercerabutnya mereka dari tanah, wilayah atau sumber daya mereka; Setiap bentuk pemindahan penduduk yang mempunyai tujuan atau berakibat melanggar atau mengurangi hak apa pun kepunyaan mereka; Setiap bentuk pemaksaan pencampuran budaya atau penggabungan dengan budaya lain; Setiap bentuk propaganda yang mendukung atau menghasut diskriminasi rasial atau diskriminasi etnis yang ditujukan langsung untuk terhadap mereka.”

Diungkapkan Tobias, sampai sekarang belum ada langkah nyata dari Pemerintah Republik Indonesia untuk menjamin perlindungan terhadap Suku Dayak penduduk asli di Pulau Borneo terhadap implikasi dan atau potensi benturan peradaban dan atau benturan budaya sebagai dampak buruk dari Program Transmigrasi.

Selanjutnya dala pasal 1, ditegaskan, “Masyarakat adat mempunyai hak terhadap penikmatan penuh, untuk secara bersama-sama atau secara sendiri-sendiri, semua hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan dasar yang diakui dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia dan hukum internasional tentang hak asasi manusia.”

Pasal 2, “Masyarakat adat dan warga-warganya bebas dan sederajat dengan semua kelompok-kelompok masyarakat dan warga-warga lainnya, dan mempunyai hak untuk bebas dari segala bentuk diskriminasi dalam menjalankan hak-hak mereka, khususnya yang didasarkan atas asal-usul atau identitas mereka.”

Pada pasal 3, menyebutkan, “Masyarakat adat mempunyai hak untuk menentukan asib sendiri. Berdasarkan hak tersebut, mereka secara bebas menentukan status politik mereka dan secara bebas mengembangkan kemajuan ekonomi, sosial dan budaya mereka.”

Di pasal 4, menggariskan, “Masyarakat adat, dalam melaksanakan hak mereka ntuk menentukan nasib sendiri, memiliki hak otonomi atau pemerintahan sendiri dalam masalah-masalah yang berkaitan dengan urusan-urusan internal dan lokal mereka, sebagaimana cara-cara dan sarana-sarana untuk mendanai fungsi-fungsi otonomi mereka.”

Khusus pasal 5, mengatakan, “Masyarakat Adat mempunyai hak untuk menjaga dan memperkuat ciri-ciri mereka yang berbeda di bidang politik, hukum, ekonomi, sosial dan institusi-institusi budaya, seraya tetap mempertahankan hak mereka untuk berpartisipasi secara penuh, jika mereka menghendaki, dalam kehidupan politik, ekonomi, sosial dan budaya Negara.”

Deklarasi Hak-Hak Penduduk Pribumi PBB Nomor 61/295, tanggal 13 September 2007, melarang diskriminasi terhadap penduduk asli, dan memajukan partisipasi mereka secara penuh dan efektif dalam segala hal yang menyangkut masalah mereka, serta hak mereka untuk tetap berbeda, dan mengusahakan visi pembangunan ekonomi dan sosial mereka sendiri.

Walaupun deklarasi ini tidak mengikat secara hukum, sebagaimana juga Deklarasi-Deklarasi Majelis Umum lainnya, deklarasi ini menggambarkan perkembangan dinamis dari norma hukum internasional, dan merefleksikan komitmen dari negara-negara anggota PBB untuk bergerak ke arah tertentu.

“PBB menggambarkannya sebagai memberikan standar penting bagi perlakuan terhadap penduduk-penduduk asli di seluruh dunia, yang tentu saja akan menjadi alat yang penting dalam memberantas pelangaran Hak Azasi Manusia (HAM) terhadap 370 juta penduduk asli di dunia, termasuk di antaranya Suku Dayak di Pulau Borneo, dan membantu mereka memerangi diskriminasi dan marjinalisasi,” ujar Tobias Ranggie. (Aju)