Permainan tatung di Singkawang, Provinsi Kalimantan Barat, memeriahkan Cap Go Meh, Selasa, 19 Februari 2019.

Permainan Tatung di Cap Go Me, Akulturasi Peradaban Dayak dan Tionghoa

Loading

PONTIANAK (Independensi.com) – Selasa, 19 Februari 2019, seluruh mata wisatawan dari berbagai negara menyaksikan permainan tatung di Singkawang, 163 kilometer sektor barat Provinsi Kalimantan Barat, dalam rangka memeriahkan Cap Go Me, atau hari ke-15 dan hari terakhir dari masa perayaan Tahun Baru Imlek bagi komunitas Tionghoa di seluruh dunia.

Istilah Cap Go Me berasal dari dialek Hokkien dan secara harafiah berarti hari kelima belas dari bulan pertama (Cap = Sepuluh, Go = Lima, Meh = Malam). Ini berarti, masa perayaan Tahun Baru Imlek berlangsung selama lima belas hari.

Karena Imlek 2019, jatuh pada Selasa, 5 Februari 2019 (hari libur nasional di Indonesia), maka Cap Go Me 2019 dengan sendirinya jatuh pada Selasa, 19 Februari 2019.

Cap Go Me di Singkawang memiliki daya tarik satu-satunya di dunia, karena ada permainan tatung, yaitu konvoi para pemain berdiri tegak di atas benda tajam, tapi sama sekali tidak luka.

Kemudian, sambil menari-nari di atas bak terbuka, bagian muka, hidung ditusuk dengan benda tajam atau benda tumpul lainnya menembus mulut, kedua pipi, tapi sama sekali tidak mengeluarkan darah.

Usai permainan tatung selama kurun waktu kurang dari dua jam, keliling kota Singkawang di atas bak terbuka, para pemain mendatangi salah satu kelenteng atau vihara, bersemadi. Hanya dalam hitungan menit, kesadaran para tatung pulih, dan benda yang menusuk pipi, mulut, telinga, hidung, raib seketika dan bekas tusukan sama sekali tidak mengeluarkan bekas dan darah.

Permainan tatung setiap kali memeriahkan Cap Go Me, tidak akan pernah ditemukan di negara manapun di dunia, termasuk tidak akan pernah ditemukan di daratan negara China sekalipun, karena memang ada ada di Singkawang, Provinsi Kalimantan Barat, Indonesia.

“Saya sudah cek dengan sejumlah kolega, baik di dalam maupun negeri, permainan tatung hanya ada di Provinsi Kalimantan Barat, setiap kali digelar Cap Go Me, dan permainan tatung paling meriah, memang selalu di Singkawang,” kata Suryadman Gidot, Bupati Bengkayang.

Hal itu dibenarkan Budayawan Tionghoa Kalimantan Barat, X.F. Asali. “Cap Go Me, tidak akan pernah ditemukan di negara manapun di dunia, karena hanya ada di Provinsi Kalimantan Barat, Indonesia, terutama di Singkawang,” ujar Asali.

Sejatinya, permainan tatung, merupakan akulturasi peradaban Kebudayaan Suku Tionghoa dan Suku Dayak di Provinsi Kalimantan, mengisahkan pernah terjadi benturan peradaban, dampak rebutan sumber pertambangan emas di Singkawang, Provinsi Kalimantan Barat.

Akulturasi (acculturation) adalah perpaduan budaya yang kemudian menghasilkan budaya baru tanpa menghilangkan unsur-unsur asli dalam budaya tersebut.

Misalnya, proses percampuran dua budaya atau lebih yang saling bertemu dan berlangsung dalam waktu yang lama sehingga bisa saling mempengaruhi.

Republik Lan Fang

Pada tahun 1784 masehi, dikenal sejarah dengan Perang Sangking (Sangkikng) di wilayah Pegunungan Sadaniang antara penduduk lokal (Dayak Mampawah) dengan 2.000 tentara Republik Lan Fong. Peperangan besar terjadi di sebuah tempat bernama Pasir Putih, dan berakhir di Air Mati (Ai Mati).

Ratusan warga lokal terbunuh, kepalanya dipancung dan dipasang dipagar-pagar rumah betang, rumah-rumah betang dihancurkan dan dibakar di kampung Untang, dan sebagian penduduk yang tersisa melarikan diri dan mengungsi pada malam hari dengan perahu, memudiki sungai raja dan akhirnya menetap di Capala dan Sabandut (sekarang Kecamatan Mandor Capkala, Kabupaten Bengkayang), sebagian lagi menetap di kampung Bangkam (Bangkapm).

Berita penyerangan dan penaklukan tentara Republik Lan Fong ini menyebar ke kampung-kampung. Sebagian penduduk di kampung Pudak, dipimpin Nek Sapi memutuskan mengungsi dan bertahun-tahun mengembara hingga akhirnya menetap di kampung Rukapm (sekarang distrik Lundu, Negara Bagian Sarawak-Malaysia).

Dari berbagai literatur yang diperoleh, dan sejumlah pengakuan para tokoh tua Suku Dayak di Kabupaten Bengkayang, tersisa sebuah keluarga saja di Kampung Pudak yang tidak mau mengungsi. Keluarga yang beranggotakan 5 orang itu adalah keluarga Nek Milakng (Pak Miang/Pang Milang).

Padagi

Nek Miakng memutuskan untuk bertempur melawan tentara Republik Lan Fang hingga tetes darah terakhir. Setelah adakan ritual Mato’ di Padagi, Nek Miakng pulang ke rumah dan membunuhi semua anggota keluarganya.

“Lebih baik saya yang membunuh kalian, karena saya yang hidupi, daripada kalian dibunuh tentara biadab itu,” ujar Nek Miakng kepada istri dan anak-anaknya.

Selesai membunuhi keluarganya, dengan perahu, Nek Miakng menyusul keluargaya yang sebelumnya sudah mengungsi ke hulu. Di perjalanan, Nek Miakng mendapati banyak rumah betang hancur dan dibakar.

Sementara di pagar-pagar rumah betang, kepala-kepala manusia yang dipancung di tikam dengan tombak dan menjadi pagar kepala. Menyaksikan itu, dendam Pak Miakng semakin membara.

Tiba di Bangkapm, Nek Miakng mengumpulkan para lelaki muda untuk berperang. Lelaki muda dari berbagai kampung juga tiba ditempat itu, dan bergabung. Sudah ada 300 pasukan Nek Miakng.

“Kita boleh mati, ini tanah air kita. Mereka boleh menang, tapi yakinlah kita tak mudah dikalahkan,” kata Nek Miakng.

Pasukan Pak Miakng mulai menyerang Sungaii Raya, dan menaklukan desa itu. Semua penduduk Tionghoa terbunuh. Sebagian pasukan menyerang Pasar Bukit, dan membakar tempat itu.

Republik Lan Fong yang beribukota di Mandor (KabupatenLandak sekarang) panik dengan penaklukan Pak Miakng dan pasukannya. Dan segera utusan negara itu menemui kongsi-kongsi di daerah Sakawakng (Singkawang), Buduk, Lara dan Monterado untuk menghadapi Nek Miakng.

Kongsi Hesun di Monterado menyiapkan 1.000 tentara, dan Kongsi Thai Kong di Buduk-Sambas menyiapkan 1.000 tentara khusus.

Nek Miakng menerima tamu dari daerah Gajekng, Bilado, Gado, dan lain-lain dan menyatakan bergabung untuk berperang dengan tentara kongsi itu. Mereka bertemu di suatu tempat, sepakat, dan menyatakan akan berbagi hadiah yang sama (harta rampasan perang/emas, termasuk tambang emas) bila memenangi perang ini.

Tempat ini kemudian dikenal dengan nama Samalantan (Sama Lantatn), Kabupaten Bengkayang. Setelah pertemuan di Samalantan, pasukan Pak Miakng bertambah menjadi 1.000 orang.

Tahun 1786 masehi, peperangan besar terjadi di Monterado. Seribu pasukan Pak Miakng menghancurkan istana Kongsi Hesun, dan membunuh lebih dari 2.000 penambang emas dan tentara republik di kawasan itu.

Batu peninggalan sebagai bukti kemenangan pasukan Nek Miakng, dikenal dengan Batu Abo’, daerah Desa Nyempen, Kecamatan Monterado, sekarang, ini.

Upacara notokng

Di batu inilah, ribuan kepala penambang dan tentara republik di tanam sekaligus setelah digelar upacara Notokng. Sisa pasukan republik melarikan diri, dan bergabung dengan pasukan kongsi Thai kong di sambas.

Selesai peperangan, menurut keterangan dari banyak sumber, pasukannya diminta Nek Miakng untuk kembali ke kampung masing-masing, menjaga kampung dari serangan tentara republik.

“Biarlah saya mati, saya sudah tidak ada keluarga,” ujar Nek Miakng kepada pasukannya.

Pasukannya mengikuti perintah Nek Miakng, dan pasukan itu berangsur-angsur pulang.

Nek Miakng, memang berencana menyerang markas tentarà Suku Tiongohoa di Sakawakng sendirian saja. Tiba di Sakawakng, Nek Miakng menyerang kampung itu dan membunuh habis warga yang ada, dari lelaki-perempuan, hingga kakek- bayi. Lebih dari 600 orang dibunuhnya, siang hingga malam hari.

Keesokan harinya, 100 tentara republik tiba di tempat itu, dan menyaksikan pembantaian manusia oleh Nek Miakng. Ketika melihat Nek Miakng sedang memanggang daging manusia dipinggir pantai, tentara republik mengepungnya dan meyiraminya dengan tombak dan anak panah.

Sebagia bahkan menembak dengan senjata api (lantak). Nek Miakng hanya tersenyum, tak satupun senjata itu melukainya. Tentara itu kemudian dibunuhi Nek Miakng.

Keesokan harinya, 200 tentara tiba di tempat itu, dan menyaksikan Nek Miakng sedang membakar mayat-mayat, dan hati serta jantung tentara untuk disantapnya.

Tentara republik itu kembali menyerbu, dan menyirami tubuh Nek Miakng dengan minyak babi dengan maksud membakar Nek Miakng. Nek Miakng tak pernah terbakar, dan tentara itu habis dibunuhnya.

Keesokan harinya, puluhan para tetua kongsi sembahyang di pekong muara Sungai Selakau, meminta kekuatan baru untuk menghadapi Nek Miakng. Ratusan dukun (Tatung) dikirim untuk membunuh Pak Miakng, namun dengan dukungan roh gaibnya, semua Tatung itu dibunuhnya juga.

Ketua Kongsi Thai Kong frustasi dengan situasi itu. Ratusan tentara dan dukun semua dapat dibunuh Nek Miakng. Ia pun mengirim beberapa orang untuk menyelidiki kekuatan Nek Miakng.

Orang yang dikirim itupun ketahuan Nek Miakng dan dibunuhnya. Marahlah sang jendral itu, beserta 20 kapitennya, ia memimpin sendiri 2.000 pasukan untuk membunuh Nek Miakng.

Mereka khawatir, Nek Miakng akan menjadi Raja semua Bangsa Dayak yang sudah ditaklukannya selama puluhan tahun silam. Ia khawatir, Nek Miakng akan membangkitkan perlawanan seluruh orang Dayak untuk melawan kongsi-kongsi.

Suatu malam, Nek Miakng setelah menyantap daging manusia yang dibakarnya tertidur. Ia didatangi roh istri dan anak-anaknya. Istrinya meminta Nek Miakng untuk menyerah saja dan minta dibunuh karena dendam darah sudah terbayarkan berlebihan. Nek Miakng terbangun, dan menangis. Nek Miakng menyesal dengan perbuatannya.

Tibalah tentara republik ditempat itu, dan mengepungnya. Nek Miakng tak melawan. Nek Miakng diikat tentara itu, dan dilemparkan ke lautan. Namun Nek Miakng tak mati. Nek Miakng diangkat ke daratan, dan ditombak dengan besi panas.

Nek Miakng juga hanya tertawa, merasa geli saja. Nek Miakng diletakkan diatas batu besar, dan ditimpa dengan batu, tak mati juga.

Teringat anak

Frustasilah tentara, dan para jendral republik. Nek Miakng melihat seorang tentara, dan sangat mirip dengan anak lelakinya yang sudah dibunuhnya. Nek Miakng menangis, dan kemudian berteriak keras kepada seorang jendral di situ, dan menyampaikan kelemahan kesaktiannya.

“Dengan kayu itulah saya akan mati,”ujarnya sambil menangis.

Nek Miakng memberikan syarat, untuk dilakukan setiap periode tertentu tiap tahun untuk mengenang kematiannya berupa permainan tatung. Nek Miakng menegaskan, kematiannya memang harus terjadi, agar bisa bersatu kembali dengan istri dan anak-anaknya yang sudah tewas sebelumnya.

Jendral itu tersenyum, dan meminta tentaranya untuk mencari jenis kayu sebagaimana yang dimaksudkan Nek Miakng.

Kayu itu menembus dada Nek Miakng. Nek Miakng, tewas seketika. Terbunuhnya Nek Miakng disambut suka cita tentara kongsi dan seluruh penambang emas. Semua tokoh Dayak diberbagai daerah diberitahu pihak kongsi, dan meminta hadir dalam upacara mereka menghormati Nek Miakng yang sudah terbunuh.

Mayat Pak Miakng selama seharian kemudian diarak oleh tentara dengan berkeliling kota, sambil berteriak-teriak dan disaksikan ribuan orang.

“Ini panglima kalian orang Dayak, jangan coba memberontak lagi,” teriak pasukan yang mengarak mayat Nek Miakng itu. Hari itu sangat kelam, hujan rintik-rintik, dan ada pelangi di langit.

Untuk mengenang hari pembunuhan Nek Miakng, diadakan pesta perarakan keliling kota dengan menghadirkan dukun/tatung yang duduk di atas tandu, kebal senjata tajam, dan berpakaian panglima/jendral perang tentara kongsi.

Pesta perarakan kemenangan itu dikenal dengan Cap Go Me, dan kawasan tempat pembunuhannya itu sekarang diberi nama Kelurahan Pangmilang, Kecamatan Singkawang Barat, Kota Singkawang, Provinsi Kalimantan Barat.

Maka atas dasar permintaan Nek Miakng yang terbunuh pasukan Kongsi Lan Fong maka mereka harus membuat perayaan untuk memperingati tragedi itu.

Karena tragedi itu bersifat heroik dan pertumpahan darah maka dilambangkanlah tatung-tatung itu menggunakan atribut kesatria Tionghoa yang naik pancam (pedang maupun tombak) dan belakangan ini diundanglah dari pihak Dayak yang mau berpartisipasi menjadi tatung, hal inilah mengapa perayaan Cap Go Me dengan segala atraksi naik pancam dan makan daging mentah serta minum darah hewan adalah wujud peringatan tragedi pertempuran Nek Miakng yang dikolaborasikan dengan peringatan 15 hari Tahun Baru China

Karena ada sumpah yang dijadikan sebagai bala, bagi masyarakat Tionghoa di Singkawang jika tidak melakukan perayaan untuk memperingati terbunuhnya Nek Miakng. (Aju, disadur dari berbagai sumber)