JAKARTA (IndependensI.com) – Kelompok radikal ISIS telah hancur lebur setelah kekhalifahan mereka di Irak dan Suriah habis. Baghouz adalah wilayah ISIS terakhir yang berhasil dikuasai Pasukan Demokratik Suriah (SDF) yang didukung Amerika Serikat.
Meski ISIS di Suriah dan Irak sudah hancur, ideologi khilafah dan kekerasan yang selama ini diusung ‘organisasi hitam’ itu harus tetap diwaspadai. Apalagi, ideologi itu sudah banyak menyebar di berbagai negara, termasuk Indonesia. Belum lagi, nanti para mantan anggota ISIS yang pernah ‘berkhianat’ ke negaranya dengan bergabung dengan ISIS di Suriah, bisa pulang ke negaranya.
“Ingat munculnya kelompok-kelompok radikal, baik Islam maupun non-Islam itu sesungguhnya by design (direncanakan). Jadi itu tidak lahir begitu saja, tetapi ada skenario. Mereka memasukkan gagasan khilafah yang di desain begitu rupa dengan tujuan untuk mengacak-acak Indonesia,” ujar Wakil Sekretaris Komisi Pengkajian dan Penelitian MUI KH Dr Ali M Abdillah, MA di Jakarta, Selasa (2/4/2019).
Memang, lanjut Kiai Ali, ISIS telah kalah di Suriah. Tapi ideologi mereka yang sudah terlanjur menyebar harus diwaspadai. Artinya, masyarakat awam yang menjadi sasaran penyebaran ideologi itu perlu kita pagari. Apalagi saat ini, penyebaran ideologi khilafah dan kekerasan selama ini memang sangat masif terutama yang menyasar pelajar sekolah umum dan mahasiswa perguruan tinggi umum, juga di lingkungan kantor dan lembaga. Intinya mereka sengaja menebar ‘virus’ khilafah dan kekerasan itu kepada orang yang tidak memiliki latar belakang pendidikan agama yang bagus.
Apalagi di era media sosial ini, ia menjelaskan bahwa counter yang baik adalah dengan mengimbangi gerakan dan langkah kelompok radikal dengan menetralisir isu-isu yang dilempar di medsos dan langsung direspon secara argumentatif.
“Kalau mereka menggunakan dasar Al Quran dan hadits, maka kita juga harus melakukan itu. Lalu kalau mereka menggunakan argumentasi sejarah, maka kita juga harus bisa menyampaikan itu. Kalau hanya menggunakan argumentasi rasional, maka kita juga harus bisa memainkan argumentasi rasional itu,” tutur Ketua Mahasiswa Ahlith Thariqah An Nahdliyya DKI Jakarta ini.
Menurut dosen Pascasarjana Universitas NU Indonesia (Unusia) ini, langkah-langkah itu penting. Contohnya, ia sudah banyak menemukan mantan anggota Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang sudah bertobat dan kembali menjadi warga negara yang baik.
“Mereka masuk HTI ada bai’atnya, maka kalau keluar juga harus dibai’at. Ini harus kita waspadai, meskipun HTI secara kelembagaan sudah dilarang pemerintah, tetapi ide dan gagasan khilafah masih mendominasi pikiran-pikiran mereka,” tukasnya.
Selain itu, lanjut pimpinan Pondok Pesantren Al Rabbani Cikeas ini, untuk membuat keseimbangan dalam meng-counter paham kekerasan dan khilafah itu harus dilakukan secara bersama-sama, berjamaah, dan tidak usah malu-malu lagi. Pasalnya penyebaran dan korbannya sudah banyak. Kalau kelompok mayoritas seperti Nahdlatul Ulama (NU) masih diam, maka akan banyak orang lagi yang menjadi korbannya. Selain itu, lembaga formal dan nonformal dan organisasi kemasyarakatan harus bersama melakukan langkah strategis dalam dalam mengcounter gagasan khilafah tersebut.
“Organisasi yang istiqomah dalam mengcounter gerakan khilafah itu adalah NU. Dari pusat sampai daerah, NU konsisten dengan perjuangan ini, termasuk badan otonomi dan lembaga-lembaga di bawahnya,” tegasnya.
Tindak Tegas
Upaya lainnya, terang Kiai Ali, harus ada tindakan tegas kepada orang atau pihak yang terbukti mengusung khilafah di Indonesia seperti HTI yang telah dilarang oleh pemerintah. Artinya harus ada kerjasama dari pihak keamanan ketika ada gagasan atau ajaran yang tidak relevan dengan Indonesia agar melakukan tindakan preventif.
Pria jebolan S3 UIN Syarif Hidayatullah ini mengungkapkan, sinergi dengan pihak keamanan ini sangat penting. Pasalnya strategi khilafah itu banyak caranya. Salah satunya dengan memasukkan gagasan-gagasan khilafah ini melalui tokoh, seperti TNI, Polri dan pejabat eksekutif. Strategi itu diyakini masih terus dilakukan sehingga harus ada pemetaan yang jelas, siapa yang menjadi korban.
“Nah tentu kita juga menyiapkan langkah counter dan solusi-solusi yang lebih efektif, supaya mereka yang selama ini menjadi korban karena ketidaktahuan itu bisa mendapatkan pencerahan dan bisa memahami bahwa Khilafah ini memiliki dampak yang berbahaya bagi keutuhan bangsa Indonesia,” ungkap Kiai Ali.
Ia sepakat di era digital dan medsos, penyebaran paham ini sangat luar biasa. Apalagi sekarang semua orang bisa menjadi dai atau mubalig di medsos. Ia mengibaratkan kalau jaman dulu untuk membaca berita harus dari berita wartawan, sekarang berita bisa seliweran di medsos dan dibuat oleh siapa saja. Ia yakin kalau dai atau mubalig bisa membina secara intensif tentang pemikiran keislaman yang utuh, moderat, tasamuh (lemah lembut dan pemaaf), maka mereka yang membaca di medsos tentang isu dan pemikiran khilafah, akan kreatif dan bertanggungjawab melakukan perlawanan dengan gagasan Islam yang utuh, moderat, dan tasamuh tersebut.
Menurutnya, harus dilakukan semacam road show ke daerah-daerah untuk memberikan pencerahan kepada generasi muda, baik mahasiswa dan masyarakat umum. Mereka harus diberikan ‘senjata’ untuk mengcounter di medsos berupa tulisan, meme, video pendek seperti yang dilakukan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) bekerjasama dengan Damar Institute yang melakukan workshop dan pelatihan Matan Cinta Damai di Ponpes Al Rabbani, Cikeas, 29-31 Maret 2019 kemarin.
“Ini sangat bagus sekali, efeknya sangat bagus sekali. Setelah pikiran mereka kita isi dengan basic spiritual, lalu kemampuan teknik untuk mengcounter di medsos juga dilatih dengan teknik-teknik teknologi terbaru. Ibarat mereka sudah kita persenjatai sebagai seorang pejuang di garda terdepan karena bagaimanapun peran generasi muda ini yang harus kita dukung, kita arahkan, supaya mereka bisa menjadi kader-kader yang istiqomah dalam menjaga NKRI ini,” pungkas Kiai Ali yang juga menjabat Sekretaris Awwal Imdla’iyyah di Jam’iyyah Ahlith Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyyah (JATMAN) NU ini.