Radikalisme di Indonesia Produk CIA AS Sejak 1965

Loading

JAKARTA (Independensi.com) – Presiden Soekarno (17 Agustus 1945 – 22 Juni 1966), melahirkan Republik Indonesia, berurat berakar ideologi global, yaitu ideologi sosialis yang sudah disesuaikan dengan alam dan budaya internal di dalam negeri, yaitu Pancasila.

Tapi semenjak Gerakan 30 September (G30S) 1965, kondisi di dalam negeri berubah total, karena masyarakat di Indonesia dipaksa menganut ideologi liberalis dimotori Amerika Serikat (AS), dengan mengedepankan rasionalitas barat.

Padahal ideologi liberalis barat, tidak sesuai dengan trilogi kehidupan peradaban kebudayaan berbagai suku bangsa di Asia, yaitu hormat dan patuh kepada leluhur, hormat dan patuh kepada orangtua, serta hormat dan patuh kepada negara.

Pemaksaan ideologi di dalam negeri dari sosialis ke liberalis, sebagai upaya CIA AS membangun kerjasama dengan jaringan kelompok radikal Islam. Tujuannya agar AS bisa lebih leluasa mengeruk sumberdaya alam di Indonesia, melalui konsep ekonomi liberal.

G30S 1965, berupa pembunuhan dan penculikan 7 jenderal senior Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI-AD), bukan pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI), melainkan setingan CIA AS.

G30S 1965 adalah kudeta TNI-AD dibiayai CIA AS terhadap kepemimpinan Presiden Soekarno, karena tetap tidak mau mengeluarkan izin tambang di Papua kepada Amerika Serikat, usai perebutan Irian Barat tahun 1962.

Semenjak 1965 sampai sekarang (2019), aksi radikalisme Islam, sewaktu-waktu meledak dalam berbagai aksi terorisme dan atau aksi anti komunis untuk menciptakan instabilitas keamanan di dalam negeri di Indonesia.

Itu terjadi apabila Pemerintah Indonesia dalam kebijakan ekonomi, terutama di dalam mengeksploitasi sumberdaya alam di sektor pertambangan, tidak berpihak kepada kepentingan AS.

Antikomunisme

Selama pemerintahan Presiden Soeharto (1 Juli 1966 – 21 Mei 1998), kebijakan ekonomi dan politik di dalam negeri yang harus tunduk kepada keinginan dan atau kepentingan ekonomi AS.

Pemerintah menempatkan isu antikomunisme di Indonesia, menjadi program agitasi ampuh Presiden Soeharto di dalam mempertahankan kekuasaan selama 32 tahun.

Program antikomunisme Presiden Soeharto, mewajibkan semua orang harus memeluk salah satu agama yang jaringan infrastrukturnya sudah mapan, seperti agama impor (Islam, Katolik, Kristen, Hindu dan Budha).

Agama asli berbagai suku bangsa di Indonesia, berurat berakar dari legenda suci, mitos suci, adat istiadat dan hukum adat berbagai suku bangsa di Indonesia yang diimplementasikan dalam ideologi Pancasila, sudah ditinggalkan.

Doktrin agama asli berbagai suku bangsa di Indonesia, menggambarkan kecerdasan dan ketinggian berpikir (berdamai dan serasi dengan leluhur, alam sekitar dan sesama), dituding pemerintahan Presiden Soeharto, bukan agama, dan kemudian secara sepihak dinyatakan sebagai kelompok masyarakat tidak ber-Tuhan.

Dengan program anti komunisme, apabila masih ada masyarakat belum memeluk salah satu agama impor yang direkomendasikan Pemerintahan Presiden Soeharto, kemudian dicap identik dengan manusia tidak beragama.

Tidak beragama (tidak memeluk agama impor), berarti komunis. Ketika itu masyarakat sangat takut untuk tidak memeluk salah satu agama impor yang direkomendasikan, karena takut dituduh komunis.

Semenjak itulah, jatidiri bangsa Indonesia hilang. Pancasila memang dinyatakan sebagai ideologi tunggal negara. Tapi latarbelakang Pancasila berurat berakar dari ideologi sosialis, disesuaikan dengan alam dan budaya internal, yaitu Pancasila, sudah tidak mampu dimaknai lagi.

Disertasi John Roosa

Itu tergambar di dalam disertasi John Roosa dari The Department of History at the University of British Columbia, sudah diterbitkan ke dalam Bahasa Indonesia pada tahun 2007.

Dimana ditegaskan, G30S 1965 merupakan pemberontakan TNI-AD di bawah kendali Panglima Komando Cadangan Strategis Angkaan Darat (Pangkostrad) Letnan Jenderal TNI Soeharto.

Sejarawan Cornell University, Benedict ROG Anderson dan Ruth McVey mengemukakan dalam A Preliminary Analysis of the October 1 1965, Coup in Indonesia atau dikenal sebagai Cornell Paper (1971), peristiwa G30S 1965 merupakan puncak konflik internal TNI-AD.

Lebih rinci dikemukakan mantan diplomat senior Amerika Serikat, Peter Dale Scott, menyebut, G30S 1965 dibiayai CIA AS.

CIA AS memanfaatkan konflik internal di lingkungan TNI-AD, antara Menteri/Panglima Angkatan Darat Letnan Jenderal TNI Ahmad Yani dan Panglima Komando Tempur (Pangkopur) VI/Bengkayang, Kalimantan Barat, Brigjen TNI Soepardjo.

Di satu sisi, Ahmad Yani, menilai, setelah Union of Soviet Socialist Republics (USSR) menolak bantuan peralatan militer lanjutan kepada Indonesia pasca perebutan Irian Barat, 1962, maka militer Indonesia, tidak akan sanggup melawan kekuatan militer Inggris, selama konfrontasi dengan Malaysia, 1964 – 1966, sehingga pengerahan pasukan dilakukan setengah hati.

Saat bersamaan, Brigjen TNI Soepardjo, selalu berada di belakang keputusan Presiden Soekarno, karena Sabah dan Sarawak masuk ke dalam Federasi Malaysia, 1962, sebagai bentuk neokolonialisme baru kaum liberalis di dalam mengeruk sumberdaya alam di negara berkembang, seperti Indonesia dan Malaysia.

Berubah total

Disertasi John Roosa kemudian telah dibukukan berjudul: Pretext for Mass Murder: The September 30th Movement and Suharto’s Coup d’État in Indonesia (Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September & Kudeta Suharto); Jakarta: Institut Sejarah Sosial Indonesia (2007).

Rilis http://nsarchive.gwu.edu/ dan www.bbc.com, menyebutkan, CIA AS memberikan dukungan logistik dan persenjataan untuk memuluskan kudeta Pangkostrad, Letjen TNI Soeharto terhadap Presiden Soekarno.

Presiden Soekarno memang diberhentikan terhitung 22 Juni 1966, setelah Pidato Nawaksara ditolak Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS).

Diwawancarai M. Zaki Hussein dari Left Book Review (LBR), dimuat di LBR Edisi II/2012, dan laman: indoprogress.com, Minggu, 17 September 2012, John Roosa, mengatakan, “Identitas Bangsa Indonesia berubah total sesudah 1965. Semangat antikolonialisme hilang dan anti-komunisme menjadi dasar identitas bangsa.”

“Ini berarti kebencian terhadap sesama orang Indonesia menjadi basis untuk menentukan siapa warga negara yang jahat dan baik. Sistem ekonomi dan sistem politik juga berubah total,” kata John Roosa sebagaimana dikutip indoprogress.com.

“Banyak perwira Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat diterbangkan ke Amerika Serikat untuk latihan militer dan sebagian di antara mereka rela jadi informant untuk militer Amerika Serikat. Amerika Serikat kasih senjata, alat komunikasi, bantuan material, seperti beras, dan bantuan finansial serta daftar nama anggota Partai Komunis Indonesia (PKI).”

“Amerika Serikat membantu Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat menciptakan psychological warfare campaign. Perusahaan-perusahaan Amerika Serikat berhenti membayar royalti ke Pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno di awal tahun 1966 dan mulai mengirim uang itu ke rekening pribadi Pangkostrad Letjen TNI Soeharto.”

Radikalisme marak

Bukti kelompok radikal Islam di Indonesia, merupakan binaan CIA AS, bisa dilihat dari buku karya Christ Kanthan, berjudul: Decentructing the Syrian War (Mendekonstruksi Perang Suriah).

Dalam Decentructing the Syrian War, diterjemahkan Nita H., dari Indononesia Center for Middle East Studies (Pusat Studi Indonesia Tentang Timur Tengah), sebagaimana diungkap di https://ic-mes.org/politics/catatan-harian-warga-as-kelompok-teroris-adalah sekutu-kita/.

Di situ, disebutkan, bagaimana Amerika Serikat, melalui operasi intelijen di bawah kendali Central Inteligence Agency, selalu menciptakan instabilitas keamanan di dalam sebuah kawasan, termasuk menciptakan instabilitas keamanan di Indonesia, semata-mata demi kepentingan ekonomi.

Dirilis, “Kelompok teror atas nama Islam adalah alat yang hebat untuk digunakan dalam perang proksi (perang dengan menggunakan kaki-tangan pihak lain). Mereka dengan biaya sedikit mau berperang tanpa rasa takut.”

“Mereka adalah sumber daya global yang dapat dibawa ke dalam konflik lokal manapun. Mereka juga dapat dibuang. Kita dapat menggunakan mereka bila diperlukan, dan membunuh mereka bila tak diperlukan.”

“Di Asia, kita harus mendukung Thailand, Indonesia, dan Philipina. Tanpa mereka kita akan banyak kehilangan Asia dari China. Hukum Syariah dan Salafisme telah mendapat momentum di Indonesia, dimana ini adalah tanda yang positif.”

Produk Central Inteligency Agency Amerika Serikat di Indonesia, membuat aksi radikalisme yang selalu berujung kepada aksi terorisme, sudah sedemikian menyeramkan.

Peneliti gerakan terorisme dari Universitas Nanyang Singapura, Prof Dr Rohan Gunaratna pada konfrensi internasional tentang terorisme dan Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) di JIEXPO Kemayoran, Jakarta Pusat, Senin, 23 Maret 2015, menyebutkan, ada 18 jaringan kelompok ekstrim di Indonesia.

Sebagian besar dari 18 kelompok ekstrim, berafiliasi dengan The Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) dan sudah bermetamorfosa menjadi Islamic State of Indonesia dan Pilipina (ISIP). ISIP bermarkas di Marawi, Mindano, Pilipina Selatan.

Ke-18 kelompok ekstrim di Indonesia, menurut Rohan, meliputi, “Mujahidin Indonesia Barat (BIB), Mujahidin Indonesia Timur (MIT), Jamaah Ansharut Tauhid (JAT), Ring Banten, Jamaah Tawhid wal Jihad (JTJ), Forum Aktivis Syariah Islam (FAksi).”

“Kemudian, Pendukung dan Pembela Daulah (PPD), Gerakan Reformasi Islam (GRI), Asybal Tawhid Indonesia (ATI), Kongres Umat Islam Bekasi (KUIB), Umat Islam Nusantara (UIN), Ikhwan Muwahid Indunisy Fie, Jazirah al-Muluk (Ambon), Ansharul Kilafah Jawa Timur (AKJT), Halawi Makmun Group, Gerakan Tawhid Lamongan (GTL), Khilafatul Muslimin dan Laskar Jundullah (KMLJ),” kata Rohan.

Sayangnya, Rohan, tidak menyebut Jamaah Ansharut Daullah (JAD) sebagai jaringan ekstrim di Indonesia. Padahal, menurut Kepala Polisi Republik Indonesia, Jenderal (Pol) Tito Karnavian, Selasa, 26 Juni 2017, JAD, merupakan jaringan ekstrim sebagai pelaku aksi terorisme paling aktif di Indonesia.

Aksi jaringan teroris JAD, membunuh Aiptu Martua Sigalingging saat tertidur pulas karena dalam keadaan sakit saat bertugas di Pos Penjagaan Polisi Daerah Sumatera Utara, Jalan Medan Tanjung Morawa, Kilometer 10,5, Medan, Sumatera Utara, pukul 03.00 WIB, Minggu, 25 Juni 2017.

Aksi terkini JAD dilakukan di Surabaya. Kapolri Jendral (Pol) Tito Karnavian menyebut pelaku utama teror bom di tiga gereja Surabaya adalah Ketua Jamaah Ansharut Daulah (JAD) Surabaya, Minggu pagi, 13 Mei 2018.

Pimpinan JAD dan Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) di Indonesia adalah Aman Abdurahman yang saat ini ditahan di Mako Brimob Kelapa Dua Depok, Jawa Barat.

“Peledakan gereja di Surabaya dipimpin Dita Supriyanto, Ketua JAD Surabaya, yang meledakkan bom di Gereja Pusat Pantekosta Surabaya di Jalan Arjuna,” kata Tito di Rumah Sakit Bhayangkara Polisi Daerah Jawa Timur di Surabaya, Minggu petang, 13 Mei 2018.

Pemilu Presiden 2019

Dalam menghadapi Pemilihan Umum (Pemilu) Presiden Indonesia, Rabu, 17 April 2019, tidak bisa dipungkiri kelompok masyarakat pendukung terpolarisasi di dalam dua kubu.

Kubu pertama, adalah kelompok nasioanlis, pendukung setia ideologi Pancasila sebagai pendukung petahana Calon Presiden nomor urut 1 atas nama Presiden Joko Widodo (Jokowi) – Ma’aruf Amin.

Pasangan nomor urut 2, atas nama Calon Presiden Prabowo Subianto – Sandiaga Salahudin Uno, merupakan kelompok kedua, sebagian berasal dari kaum radikalis dan barisan sakit hati terhadap kebijakan pemerintahan selama lima tahun terakhir.

Barisan kelompok sakit hati, selalu menuding Presiden Joko Widodo, dalam kebijakannya anti Islam, antek asing, hanya lantaran telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017, sebagai payung hukum pembubaran organisasi masyarakat bernama Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).

Padahal HTI memang harus dibubarkan, karena terbukti di dalam dokumen perjuangannya ingin menggantikan ideologi Pancasila dengan paham kekhilafahan. Bendera merah putih ingin diganti dengan bendara hitam kekhilafahan.

Ini sudah dikemukakan secara terbuka mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Jenderal (Purn) A.M. Hendropriyono di Jakarta, Kamis, 28 Maret 2019.

A.M. Hendropriyono, mengingatkan, perlunya keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), sehingga masyarakat harus cerdas di dalam menentukan pilihan politiknya pada Pemilu Presiden, Rabu, 17 April 2019.

Peringatan A.M. Hendropriyono, karena berbagai bentuk kampanye hitam sebuah praktik kebohongan seperti Presiden Joko Widodo antek asing, Presiden Joko Widodo sebagai keturunan PKI, memang terbukti tidak berdiri sendiri.

Kamis, 4 April 2019, Polisi Republik Indonesia (Polri), menangkap seorang pria separuh baya di Jalan Cileungsi, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat, karena terbukti melakukan kampanye hitam di media sosial terhadap Presiden Joko Widodo, dengan tuduhan Presiden Joko Widodo adalah PKI, Presiden Joko Widodo keturunan Cina dan berbagai bentuk caci-maki yang tidak pantas.

Pria yang berinsial B, dengan cincin batu akik melingkar penuh di jari tangan, setelah diteliti, ternyata pendukung Calon Presiden nomor urut 2 atas nama Prabowo Subianto.

Barisan kelompok sakit hati dengan pemerintahan yang masih berjalan, sangat memahami hakekat sebuah kebohongan, demi menarik simpati masyarakat kelas menengah ke bawah. Satu kebohongan akan diikuti kebohongan-kebohongan lain.

Orang yang berbohong sekali akan melakukan kebohongan-kebohongan selanjutnya untuk menutupi kebohongan pertama. Dan banyak orang, sebagai tergambar di dalam suasana menghadapi Pemilu Presiden, Rabu, 17 April 2019, demi menjaga kehormatan dan nama baiknya, sanggup melakukan ribuan kebohongan untuk menutupi kebohongannya yang pertama.

Perebutan sumberdaya alam

CIA menggerakkan kelompok radikal, melalui praktik kebohongan berkali-kali, agar Joko Widodo tidak terpilih lagi menjadi Presiden Indonesia periode kedua pada Pemilu Presiden, Rabu, 17 April 2019.

Salah satu penyebab tidak diinginkan Amerika Serikat, karena Presiden Joko Widodo, sudah tidak mau lagi mengakomodir kepentingan ekonomi Amerika Serikat di Indonesia.

Ini bisa dilihat dari keputusan berani Presiden Joko Widodo di Istana Negara, Jakarta, Jumat, 21 Desember 2018, mengumumkan Pemerintah Republik Indonesia, resmi menguasai 51 persen saham PT Freeport Indonesia.

PTFI sebagai perusahaan yang mengelola tambang dengan deposit emas terbesar di duniam milik Amerika Serikat. Untuk cadangan terbukti (proven) dan terkira (portabel) mencapai 33,9 juta toz (troy ounce).

Sebuah langkah strategis mengembalikan kedaulatan ekonomi yang tidak mampu dilakukan Presiden Indonesia sebelumnya sejak tahun 1967.

Namun, selama dalam proses negosiasi dari Pemerintah Indonesia untuk mengambilalih saham PT Freeport Indonesia sebesar 51 persen, pada Sabtu, 1 Desember 2018, sebanyak 31 pekerja proyek jembatan Trans Papua di Kabupaten Nduga, Provinsi Papua, tewas dibunuh Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB).

Kalaupun Presiden Joko Widodo – K.H. Ma’aruf Amin, keluar sebagai pemenang dalam Pemilu Presiden, Rabu, 17 April 2019, sama sekali tidak ada jaminan kelompok radikal Islam produk CIA AS, berhenti menggeliat di Indonesia.

Karena selain di Papua, di wilayah lain di Indonesia, diketahui menyimpan potensi sumberdaya alam yang tidak kalah pantastisnya. Cadangan sumberdaya alam emas di Aceh, misalnya, dilaporkan nyaris menyamai Papua.

CIA AS, akan terus menggerakan kelompok radikal Islam, sebagai posisi tawar terhadap Pemerintah Indonesia untuk mengantongi izin eksploitasi sumberdaya alam sektor pertambangan gas dan minyak bumi.

Proyek emas di Beutong Banggalang, Nagan Raya dan Pegasing, Aceh Tengah, memiliki sumberdaya 3 juta ton, yang terdiri dari 1,24 miliar pounds tembaga, 373.000 ounces emas, kemudian 5,7 juta perak, ditambah 20 juta pounds molibdenum.

Belum lagi cadangan minyak gas dan bumi di Laut Natuna, Provinsi Riau Kepulauan yang diklaim potensinya terbesar di dunia. “Potensi kekayaan Natuna yang paling fenomenal adalah cadangan migas di ladang gas Blok D-Alpha,” demikian siaran pers Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Natuna, Provinsi Riau Kepulauan sebagaimana dilansir Cable News Network (CNN) Kamis, 23 Juni 2016.

“Dengan taksiran total cadangan 222 triliun kaki kubik, dan gas hidrokarbon 56 triliun kaki kubik, merupakan sumber gas dan minyak bumi terbesar di dunia.”

Geopolitik Indonesia

Geopolitik dan strategi dengan posisi geografis sumber daya alam dan jumlah serta kemampuan penduduk telah menempatkan Indonesia menjadi ajang perebutan antar negara besar.

Untuk itu bangsa Indonesia harus memiliki keuletan dan ketangguhan yang mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan nasional sehingga berhasil mengatasi setiap bentuk tantangan, ancaman, hambatan dan gangguan dari manapun datangnya.

Tidak bisa dipungkiri letak geografis Indonesia yang strategis dalam percaturan perdagangan dunia tidak luput dari pengaruh positif maupun negatif bagi kelangsungan kehidupan bangsa Indonesia.

Indonesia berurat berakar ideologi sosialis, pada kenyataan banyak berbenturan dengan kepentingan Ideologi Liberalis dimotori Amerika Serikat (AS), dengan negara sekutunya seperti Inggris, Australia, Selandia Baru, Belanda dan lain-lain.

Benturan kepentingan, dimulai semenjak Kerajaan Belanda dalam bentuk pemerintahan sipil, yaitu Nederlandsch Indië Civiele Administratie atau Netherlands-Indies Civiele Administration (NICA), akan membentuk sistem pemerintahan di Indonesia, berdasarkan sudut pandang politik rasionalitas barat, yaitu sistem federal bernama Republik Indonesia Serikat (RIS) berdasarkan Perjanjian Denhaag, Belanda, 27 Desember 1949.

Usai Perang Dunia ke-II, 1945, ditandai Jepang menyerah kepada penganut ideologi liberalis dimotori AS, atas desakan dunia internasional, Belanda kembali datang untuk mempersiapkan kemerdekaan Indonesia, berbentuk federal, selama 10 -15 tahun, berdasarkan Konferensi Malino di Kabupaten Goa, Provinsi Sulawesi Selatan, 15 – 25 Juli 1946.

Akan tetapi keputusan politik Belanda, ditolak mentah-mentah Presiden Soekarno, dengan meminta bantuan Jepang, membiayai operasi intelijen dan mensuplai senjata.

Dampaknya, aksi demonstrasi meledak di mana-mana, dan perlawanan bersenjata dari masyarakat meledak, sehingga Belanda angkat kaki dari Indonesia.

Simbol Republik Indonesia Serikat (RIS) runtuh, pasca penangkapan Menteri Zonder Fortopolio Sultan Hamid II di Jakarta, 5 April 1950, dan Presiden Soekarno kemudian secara sepihak mengumumkan perubahan bentuk negara dari RIS menjadi NKRI, 17 Agustus 1950.

Dalam perkembangan selanjutnya, Soekarno sudah tidak kuat lagi, menghadapi gempuran kaum liberalis, di dalam merongrong kewibawaan dan keutuhan NKRI.

Pemberontakan bersenjata, dengan menjadikan Negara Bagian Sabah dan Negara Bagian Sarawak, Federasi Malaysia, sebagai base camp suplai senjata dan logistik bagi kelompok pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), Perdjuangan Semesta atau Perdjuangan Rakjat Semesta (Permesta), Negara Indonesia Indonesia (NII), Darul Islam Indonesia (DII).

Puncaknya adalah G30S 1965, sebagai kudeta Soeharto terhadap kepemimpinan Presiden Soekarno, lewat konflik internal TNI-AD yang dibiayai CIA AS.

Langkah Presiden Joko Widodo untuk merebut saham mayoritas PT Freeport Indonesia di akhir tahun 2018, pada dasarnya mewujudkan kembali cita-cita Presiden Soekarno (17 Agustus 1945 – 22 Juni 1966), tentang betapa pentingnya kedaulatan ekonomi bagi Bangsa Indonesia.

Terlebih lagi, keberhasilan merebut 51 persen saham PT Freeport Indonesia, bagian dari 9 Program Nawacita Presiden Joko Widodo – Wakil Presiden Jusuf Kalla periode 2014 – 2019, yaitu mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik.

Syria dan Laut Kaspia
Langkah menjalin kerjasama dengan kelompok radikal, merupakan teknik diplomasi murah meriah dari Amerika Serikat pada sebuah negara yang memiliki sumberdaya alam melimpah di negara manapun di dunia.

Lihat saja di Timur Tengah, untuk merebut kuasa pertambangan minyak bumi di Iraq dan Suriah, CIA AS membentuk milisi lintas negara bernama The Islamic State of Iraq and Syria (ISIS), sehingga Iraq dan Suriah sekarang dalam kondisi porak-poranda.

Jauh dari jantung Eurasia, ekstrimisme Islam dan terorisme memainkan peran utama di Afrika, Timur Tengah, dan Asia untuk mengkatalisasi transformasi geopolitik.

Di Libya, Suriah, Yaman, dan Somalia, CIA AS mengandalkan Ikhwanul Muslimin, Al Qaeda, dan Salafi (mereka yang mengikuti ajaran Islam ekstrim).

Di Libya, CIA AS mengerahkan sekutu Al Qaeda yang disebut LIFG atau Libyan Islamic Fighting Group, kelompok pejuang Islam Libya. AS membebaskan pemimpinnya (Belhadj) dari tahanan CIA, mendandaninya dengan setelan pakaian yang bagus, mengaturnya berfoto dengan senator Amerika Serikat, John McCain, dan dia menjadi pejuang kemerdekaan yang memerangi Qaddafi, seorang “diktator brutal”!

Di Suriah, puluhan ribu petempur al Qaeda diterbangkan masuk dari berbagai penjuru dunia untuk menumbangkan Presiden Bashar al-Assad. Jika bukan karena intervensi Presiden Federasi Rusia Vladimir Putin, maka CIA AS mungkin kini telah mempunyai jalur pipa Qatar melalui Suriah dan Israel akan mengebor minyak di Dataran Tinggi Golan.

Di Afrika, Nigeria adalah negara strategis dengan 170 juta orang dan merupakan kawasan yang kaya akan minyak dan sumber daya alam. Di sanalah Boko Haram -ISIS Afrika – datang ikut bermain. Dan mereka telah mendapat kesuksesan di segala hal.

Tentu CIA AS berterima kasih kepada Boko Haram, setengah Nigeria kini di bawah hukum syariah, dimana ini menjadi alat yang mudah utuk mengendalikan banyak orang.

Ketika Halliburton menemukan sumber minyak besar di dekat Laut Kaspia, namun negara-negara di sekitar wilayah itu semua pro-Rusia bahkan setelah runtuhya Uni Soviet.

Tanpa sepengetahuan publik Amerika Serikat, Mujaidin telah sangat aktif sepanjang tahun 1990 di Bosnia, Kosovo, Azerbaijan, Uzbekistan, Degestan, Chechnya, dan lain-lain.

Berangkat dari kenyataan ini, maka keutuhan Republik Indonesia, berideologi Pancasila, dengan tiga pilar kebangsaan, yaitu Kebhinekaan, Undang-Undang Dasar 1945 dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), amat sangat tergantung dari pilihan masyarakat pada Pemilihan Umum Presiden Republik Indonesia, Rabu, 17 Apri 2019. (Aju)