Prabowo Subianto dan Mohammad Rizieq Shihab

Pro dan Kontra MRS, Nation Building di Indonesia Gagal

Loading

JAKARTA (Independensi.com) – Pro dan kontra pasca kepulangan pentolan Front Pembela Islam (FPI) Mohammad Rizieq Shihab (MRS), Selasa, 10 Nopember 2020, implikasi dari gagalnya nation building (pembangunan karakter) masyarakat di Indonesia.

Pihak yang pro MRS, terutama FPI, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan pihak lain yang menempatkan diri sebagai oposisi Pemerintahan Presiden Indonesia, Joko Widodo (20 Oktober 2014 – 20 Oktober 2024), melalui berbagai bentuk pembelaan.

Di antaranya, tindakan hukum dilakukan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Polisi Republik Indonesia (Polri) terhadap MRS, dan pihak lain yang mencoba melakukan tindakan makar terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), bentuk kriminalisasi ulama dan matinya kehidupan demokratisasi di Indonesia. Pemerintahan Presiden Joko Widodo, dinilai bersikap agresif dan anti kritik.

Pihak yang kontra, menilai, aksi radikalisme yang dilakukan MRS (menebar ujaran kebencian, memplesetkan nama Joko Widodo menjadi Jokodok, mengeluarkan kata-kata kotor dengan menyebut lonte, mengancam potong kepala manusia, melecehkan institusi TNI dan Polri), sudah tidak bisa ditolerir lagi, karena sudah menyangkut kewibawaan Pemerintahan Republik Indonesia.

Di era pandemi Corona Virus Disease-19 (Covid-19), MRS setelah 3,5 tahun kabur ke Arab Saudi sejak 26 April 2017, karena terlibat chat mesum dengan janda bahenol Firza Hussein, menunjukkan sikap sombong, membangkang, membiarkan jutaan masa pengikutnya merusak fasilitas umum di Bandar Udara Soekarno Hatta, Cengkareng, Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten, melakukan aktifias melibatkan ribuan manusia tanpa memperdulikan protokol kesehatan, 10 – 20 Nopember 2020 di Petamburan, Jakarta, dan Puncak, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat.

Kemarahan meluas dari masyarakat, membuat Presiden Joko Widodo, memerintahkan Panglima Komando Daerah Militer Jakarta Raya, Mayor Jenderal TNI Dudung Abdurachman dan Kepala Polisi Daerah Metropolitan Jakarta Raya, Inspektur Jenderal Polisi Fadil Imran, melakukan langkah hukum terhadap pelanggaran hukum, apabila masih terjadi tindakan melawan hukum bagi MRS dan komplotannya.

Ancaman Dudung Abdurachman dan Fadil Imran, didahului penurunan baliho provokatif MRS yang sempat dijadikan lokasi pemujaan para anggota FPI. Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya dan Polisi Daerah Jawa Barat, kemudian memanggil MRS atas aktifitas ujaran kebencian, penghinaan terhadap institusi TNI dan Polri.

Kasus hukum MRS di Polisi Daerah Metropolitan Jakarta yang terhambat sebelum melarikan diri ke Arab Saudi, 26 April 2016, di antaranya chat mesum dengan janda bahenol Firza Hussein, dibuka kembali.

Nyali MRS dan komplotannya menjadi ciut. MRS mengaku kelelahan dan perlu waktu instirahat.  MRS, pun, minta maaf terhadap kerumunan massa pendukungnya. Para tokoh yang sebelumnya selalu berada di belakang aktifitas brutal MRS, ikut tiarap.

Bagi yang pro Pemerintahan Presiden, Joko Widodo, kini, merupakan momentum paling tepat di dalam menghentikan berbagai bentuk radikalisme di Indonesia, dimana MRS sebagai salah satu tokohnya.

MRS aktor Genocide Culture

Ada dua aspek dijadikan mementum bagi Pemerintah Indonesia untuk memproses hukum MRS. Pertama, pelanggaran hukum yang dilakukan MRS sejak sebelum kabur ke Arab Saudi, sudah sangat banyak. Laporan kepolisian dari masyarakat terhadap ujaran kebencian dan penghinaan lain yang dilakukan MRS, mesti dibuka kembali. MRS selama ini dinilai kebal hukum.

Sikap sombong dan angkuh MRS, menolak isolasi mandiri 14 hari sebagaimana layaknya bagi warga yang baru pulang dari luar negeri, demi mengantisipasi penularan Covid-19, adalah pelanggaran Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984, tentang Wabah Penyakit Menular, dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018, tentang: Kekarantinaan Kesehatan, dengan ancaman penjara 1 (satu) tahun).

Kedua, salah satu langkah strategis mengantisipasi aksi aksi terorisme di Indonesia. Lihat saja, hanya dua pekan setelah MRS menebar ancaman memenggal kepala siapa saja yang menghina ulama dan Islam, teroris dari jaringan Mujahidin Indonesia Timur (MIT) pimpinan Ali Kalora, memenggal kepala 4 warga di Desa Lemban Tongoa, Kecamatan Palolo, Kabupaten Sigi, Provinsi Sulawesi Tengah, Jumat pagi, 27 Juli 2020.

Pemerintahan Presiden Joko Widodo, tidak cukup hanya menerbitkan Peraturan Pemerintah Penangganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017, untuk membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) karena bersikeras ingin mengganti ideologi Pancasila dengan paham khilafah, tapi harus pula disertai tindakan hukum lebih tegas terhadap berbagai pihak yang mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), sebagaimana dilakukan MRS.

Sudah menjadi rahasia umum, kendati di dalam banyak kesempatan MRS, mengklaim mendukung ideologi Pancasila, tapi dalam kenyataannya FPI sudah tidak diperpanjang lagi Surat Keterangan Terdaftar (SKT) di Kementerian Dalam Negeri sejak tahun 2019, karena tidak mau menerima Pancasila sebagai azas tunggal, karena tetap bersikukuh mencantumkan ideologi khilafah di dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tanggal (AD/ART).

Apabila Pemerintah Republik Indonesia, tidak berani memproses hukum MRS, pasca kepulangannya dari Arab Saudi, Selasa, 10 Nopember 2020, maka momentum untuk menghentikan aksi radikalisme dan terorisme di Indonesia, akan hilang-hilang sia-sia.

Karena apapun yang akan dilakukan Pemerintah Republik Indonesia di kemudian hari di dalam menerbitkan aksi radikalisme dan terorisme, tidak akan mendapat dukungan luas dari masyarakat sebagaimana terjadi sekarang, karena merasa sudah pernah dikecewakan.

Secara kasat mata, tindakan radikalisme MRS dan komplotannya, bagian tidak terpisahkan dari genocide culture, yaitu sebuah gerakan menghancurkan kebudayaan asli Bangsa Indonesia. MRS dan komplotannya mengggiring Bangsa Indonesia, berlaku kearab-araban, karena sebagian besar warga negara Indonesia beragama Islam yang lahir dari Kebudayaan Arab. MRS merupakan salah satu aktor genocide culture.

MRS dan komplotannya paham betul untuk menghancurkan sebuah negara, mesti melului sejumlah cara. Pertama, belokkan sejarahnya. Kedua, lemahkan ideologi negaranya. Ketiga, adudomba rakyatnya. Kempat, hancurkan mental generasinya. Kelima, jangan damaikan kubu yang gemer berkelahi untuk membiarkan mereka saling hujat. Keenam, rampok sumberdaya alamnya, baik secara diam-diam maupun secara terang-terangan. Ketujuh, ciptakan sistem pembodohan baik melalui media sosial maupun dunia pendidikan.

MRS dan komplotannya tengah melakukan 7 langkah sebagaimana disebutkan di atas di dalam menghancurkan Indonesia. Khusus point keenam, yaitu rampok sumberdaya alamnya, baik secara diam-diam maupun secara terang-terangan, dapat dilihat dari akrabnya sejumlah pihak dengan MRS, setelah jaringan bisnis hitam dan penertiban pengelolaan sumberdaya alam ditertibkan pemerintahan Presiden Joko Widodo, demi mewujudkan Konsepsi Trisaksi (berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi dan berkarakter secara budaya).

Kontra Genocide Culture

Untuk melawan genocide culture dari MRS dan komplotannya, maka harus dilakukan gerakan terpadu dan mengikat semua pihak melalui kontro genocide culture. Satu-satunya langkah paling efektif di dalam melakukan kontra genocide culture adalah gerakan kembali kepada karakter dan jatidiri bangsa.

Sehubungan dengan itu, Pemerintah Pusat di dalam mendukung gerakan kembali kepada karakter dan jatidiri bangsa Indonesia, melalui  gerakan mencintai kebudayaan sendiri, telah berhasil melalui empat langkah dan putusan strategis strategis.

Pertama, Kementerian Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menggelar  seminar nasional di Kantor Bappenas, Jakarta, Selasa, 4 April 2017. Di dalam seminar ditegaskan, pembangunan di Indonesia di masa mendatang, harus melalui akselerasi kapitalisasi modernisasi kebudayaan.

Dari kenyataan ini, Pemerintah Republik Indonesia, menyadari, dari aspek nation building (pembangunan kebangsaan), untuk menjadi negara maju maka harus menjadikan kebudayaan asli berbagai suku bangsa di Indonesia – dimana ada sistem religi di dalamnya – sebagai filosofi etika berperilaku, melalui akselerasi kapitalisasi modernisasi kebudayaan dalam pembangunan nasional.

Kedua, pada 27 April 2017, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI), mengesahkan undang-undang tentang pemajuan kebudayaan. Kemudian dikenal dengan Undang-Undang Nomor 5 tahun 2017, tanggal 24 Mei 2017, tentang Pemajuan Kebudayaan.

Ketiga, terbitnya putusan Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK-RI) Nomor 97-PUU-XIV/2016, tanggal 7 November 2017, tentang pengakuan aliran kepercayaan, dimaknai pula sebagai peneguhan dan pengakuan keberadaan religi (agama) asli berbagai suku bangsa di Indoensia.

Bagi masyarakat di Indonesia, melalui gerakan kembali kepada karakter dan jatidiri bangsa, harus dipisahkan dalam konteks yang berbeda, antara agama sebagai sumber keyakinan iman, dan sistem religi sebuah suku bangsa sebagai filosofi etika berperilaku.

Keempat, Presiden Republik Indonesia, Ir Joko Widodo, menerima naskah kajian akademik strategi pembangunan pemajuan kebudayaan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia di Jakarta, Minggu, 9 Desember 2018.

Empat langkah dan putusan strategis dimaksudkan di atas, memperkukuh eksistensi ideologi Pancasila. Kemudian,  memperteguh sejarah lahirnya ideologi Pancasila sebagai produk kebudayaan asli berbagai suku Bangsa di Indonesia.

Karena jantung peradaban kebudayaan berbagai suku bangsa di dunia, termasuk di Indonesia, ada pada sistem religinya yang bersumber doktrin legenda suci, mitos suci, adat istiadat dan hukum adat, di mana dalam aplikasinya, kaya akan substansi keharmonisan, perdamaian, cinta kasih, menghargai kemanusiaan, keberagaman, keseimbangan hidup dengan alam, mengutamakan kearifan, kebijaksanaan, toleransi dan sejenisnya.

Jadi, dengan mencintai dan merawat kebudayaan asli berbagai suku bangsa di Indonesia, dimana ada sistem religi di dalamnya, sebagai wujud nyata pengalaman ideologi Pancasila. Karena ideologi Pancasila dilahirkan dari kebudayaan asli berbagai suku bangsa di Indonesia.

Dengan demikian, dengan menghargai dan merawat kebudayaan asli berbagai suku bangsa di Indonesia, sebagai salah satu wujud nyata pengamalan ideologi Pancasila. Gerakan mencintai kebudayaan asli masyarakat Indonesia, secara nyata sebagai upaya paling ampuh di dalam melawan genocide culture yang dilakukan MRS dan komplotannya.

Sebatas Payung Hukum

Kendati sudah ada payung hukum di dalam melakukan gerakan kembali kepada karakter dan jatidiri bangsa di dalam melawan praktik genocide culture, namun sampai sekarang belum terlihat tindakan lebih lanjut secara lebih teknis.

Di antaranya Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia, serta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, belum memiliki program aplikatif yang menyangkut permasalahan teknis di masyarakat.

Jadi di dalam langkah kembali kepada karakter dan jatidiri bangsa, Pemerintahan Presiden Joko Widodo, baru sebatas menerbitkan sebuah produk hukum. Pemerintahan Presiden Joko Widodo, tidak memiliki rencana strategis aplikatif di dalam melakukan gerakan kembali kepada karakter dan jadiri bangsa.

Di sinilah letak kegagalan Pemerintahan Presiden Joko Widodo (20 Oktober 2014 – 20 Oktober 2024) dalam menjabarkan konsep nation building. Padahal nation building bertujuan mempersiapkan karakter dan jatidiri masyarakat Indonesia dalam menghadapi pembangunan dan persaingan global. Nation building bertujuan agar membuat masyarakat tidak mudah dihasut dalam genocide culture. Nation building sifatnya anti ganocide building.

Apabila konsep aplikasi nation building sesuai Konsepsi Trisaksi (berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi dan berkarakter secara budaya) tidak segera dijabarkan sampai kepada hal-hal teknis, maka lambat laun, pelan namun pasti, maka pemenang pertarungan peradaban di Indonesia adalah kelompok pelaku genocide culture (MRS dan komplotannya) yang berimplikasi perpecahan, akibat dari masyarakat yang tidak memiliki karakter, sehingga mudah diadu-domba dan diperalat dengan kedok agama.(Aju)