PEKANBARU (Independensi.com) – Presiden Joko Widodo mencabut izin konsesi 2.800 hektar lahan perkebunan yang selama ini dikuasai perusahaan plat merah di bawah naungan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yaitu PT Perkebunan Nusantara V Riau, di Desa Sinamanenek Kecamatan Tapung Hulu, Kabupaten Kampar, Riau.
Dalam rapat terbatas di Istana Negara, Jumat (3/5/2019) pagi tadi, Jokowi dengan tegas menyampaikan bahwa perusahaan, baik swasta maupun BUMN, wajib mengembalikan hak masyarakat kampung atau desa jika ternyata di tengah konsesi yang diberikan terdapat pemukiman yang berdiri bertahun-tahun sebelumnya. Berikan kepada masyarakat kampung / desa kepastian hukum. “Saya sampaikan, kalau yang diberi konsesi sulit, cabut konsesinya”, kata Jokowi.
Pencabutan itu merupakan janji politik Presiden Jokowi, dan baru direalisasikan hari ini Jumat, (3/5/2019) dalam rapat terbatas yang dihadiri Wakil Presiden Jusuf Kalla, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Sofyan Djalil, Gubernur Riau Syamsuar, Bupati Kampar Catur Sugeng Susanto beserta perwakilan masyarakat adat Desa Sinamanenek-Kecamatan Tapung Hulu Kabupaten Kampar.
Pencabutan izin itu hampir dapat dipastikan, akan menimbulkan pro-dan kontra di lingkungan perusahaan PT Perkebunan Nusantara V Riau. Namun Risky staf Humas PTP Nusantara V Riau saat dihubungi Independensi.com melalui WA, tidak bersedia memberikan penjelasan. “Sementara ini saya belum bisa memberikan komentar banyak. Nanti akan saya share penjelasan resmi perusahaan”, jawab Risky singkat
Sementara itu, Tuhu Bangun SP – Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Perkebunan Nusantara (FSPBUN) kepada Independensi.com mengatakan, secara khusus dan secara resmi kami belum dapat instruksi terkait hal tersebut. Hanya saja pada prinsipnya, pemerintah harus mengambil solusi untuk segera menyelesaikan hal tersebut, tanpa ada pihak yang dirugikan atau tercederai, ujarnya.
Sebagaimana diketahui, kasus ini bermula sejak tahun 2004 silam. Ketika itu, perusahaan plat merah dibawah naungan BUMN yaitu PTP Nusantara V Riau mengalihkan ribuan hektar lahan Hutan Produksi Terbatas (HPT) menjadi perkebunan kelapa sawit.
Aksi itu hanya berbekal surat tanah berstatus “ulayat” dari tokoh adat setempat.
Sebagaimana pernah diberitakan Independensi.com, kasus ini sudah banyak makan korban, bahkan bisa dikatakan masyarakat sudah berdarah-darah dalam mempertahankan hak mereka. Baru pada tahun 2013, masyarakat dibantu lembaga swadaya masyarakat (LSM – Riau Madani) memggugat PTP Nusantara V Riau ke Pengadilan Negeri Bangkinang.
Dan oleh majelis yang mengadili perkara tersebut menyatakan bahwa PTP Nusantara V Riau bersalah karena mendirikan lahan perkebunan kelapa sawit di kawasan hutan Kabupaten Kampar tanpa memiliki ijin pelepasan dari Menteri Kehutanan. Selain itu, tokoh adat yang dijadikan saksi dalam persidangan ternyata juga tidak bisa menunjukkan tapal batas antara tanah ulayat dengan hutan produksi terbatas (HPT).
Saat itu, majelis hakim memerintahkan PTP Nusantara V untuk membongkar kebun sawit dan mengembalikan lahan sesuai fungsi awal. PTP Nusantara V juga diperintahkan untuk menebang pohon kelapa sawit yang tumbuh di atas lahan tersebut, sebab peruntukannya hanya untuk hutan tanaman industri. Selain itu, majelis juga menyatakan bahwa alih fungsi itu baru bisa dilanjutkan bila izin pelepasan kawasan hutan resmi dikeluarkan Kementerian Kehutanan.
Namun, pihak perusahaan menyatakan lahan yang disengketakan itu sudah tidak bisa diganti dan perusahaan menawarkan penggantian lahan sebagai bentuk kompensasi pengalihfungsian. Tapi janji tidak terpenuhi, perusahaan justru membawa perkara ini ke Mahkamah Agung sebagai upaya peninjauan kembali (PK) atas putusan Pengadilan Negeri Bangkinang. Namun upaya PK tetap gagal, pada tanggal 23 Februari 2016 mahkamah agung menolak PK yang diajukan PTP N V Riau. Dengan kata lain, PTPN V tetap harus menjalankan putusan yang dikeluarkan Pengadilan Negeri Bangkinang tiga tahun sebelumnya. (Maurit Simanungkalit)