Direktur Jenderal Perikanan Budidaya KKP, Slamet Soebjakto (kanan). Humas Budidaya KKP

FAO Pilih Indonesia Jadi Contoh Tata Kelola Biosekuriti di Bidang Perikanan Budidaya

Loading

JAKARTA (Independensi.com) – FAO mengapresiasi kesuksesan Indonesia dalam pencegahan penyakit ikan. Strategi nasional penanganan penyakit ikan khususnya udang, yang dimiliki Indonesia dinilai terbukti berhasil dan tidak setiap negara memilikinya.

Atas kesuksesan ini, Indonesia bersama Vietnam dipercaya sebagai negara percontohan implementasi metode strategi biosekuriti bagi usaha budidaya yang sedang dikembangkan oleh FAO. Penilaian ini disampaikan oleh Dr. Melba Reantoso dari FAO Pusat, Roma dalam “National Seminar on Aquaculture Biosecurity Governance” di Kantor Pusat Kementerian Kelautan dan Perikanan, Jakarta (10/5).

Sebelumnya Indonesia dan Vietnam berhasil dipilih oleh FAO untuk mendapatkan fasilitas pendanaan dari pemerintah Norwegia berupa proyek pengembangan akuakultur yang berkelanjutan melalui perbaikan sistem dan cara penerapan biosekuriti, penguatan kerangka hukumnya, dan peningkatan kegiatan akuakultur yang berkelanjutan.

Direktur Jenderal Perikanan Budidaya KKP, Slamet Soebjakto, dalam sambutannya saat membuka seminar tersebut meyatakan bahwa kepercayaan FAO ini sekaligus juga merupakan pengakuan dan dukungan dari lembaga serta negara internasional atas keberhasilan Indonesia mengendalikan penyakit ikan.

“Saat ini Indonesia telah menerapkan sistem biosekuriti nasional yang ditujukan untuk mengurangi resiko introduksi ataupun penyebaran penyakit ikan. Hal ini dimulai dengan kerjasama dengan FAO dalam pengembangan On-Farm Biosecurity and Best Management Practice di tahun 2015, dan telah diadposi hingga saat ini” terang Slamet.
“atas keberhasilan itu sekaligus untuk memperkuat sistem tersebut, upaya perbaikan terus dilakukan, salah satunya adalah melalui kerjasama proyek yang sedang kita kerjakan bersama FAO dan negara Norwegia ini,” lanjutnya.

Slamet menjelaskan bahwa proyek ini tidak terlepas dari upaya untuk menjawab isu ketahanan pangan seiring permintaan masyarakat dunia akan produk perikanan budidaya yang terus meningkat pesat, dimana penduduk dunia pada tahun 2050 diproyeksikan mencapai 9,7 miliar jiwa.

“Dengan kerjasama ini, kita berharap pengelolaan kesehatan ikan untuk mendukung sektor akuakultur makin kuat dan berbasis pada teknik atau metodologi yang berstandar internasional, sehingga status kesehatan dapat dikelola secara berkelanjutan yang akan berdampak pada penguatan ketahanan pangan, perbaikan nutrisi, dan pertumbuhan ekonomi,” jelasnya.

Slamet juga menyampaikan bahwa saat ini ruang lingkup proyek yang telah disepakati yakni pelaksanaan percontohan surveilan penyakit EHP (Enterocytozoon Hepato Penaeid) pada udang. Teknik surveilan penyakit ini menggunakan metode 12 point cek list. Kabupaten Jembarana Provinsi Bali terpilih sebagai lokus kegiatan ini. Melalui metode ini diharapkan dapat mengindentifikasi faktor resiko penyakit dan dapat menyempurnakan sistem biosekuriti nasional khususnya dalam praktek budidaya udang.

Sedangkan penguatan kerangka hukum dalam pengelolaan kesehatan ikan yang berkelanjutan dilakukan melalui sosialisasi metode progressive management pathway, aquaculture biosecurity, dan anti-microbial resistance. Selain itu juga akan dilakukan surveilan Epidemiologi oleh narasumber FAO kepada perwakilan otoritas bidang pengelolaan kesehatan ikan Indonesia.

“Kami telah melakukan diskusi internal bahwa jenis penyakit ikan yang dipilih untuk pelaksanaan percontohan surveilan yakni penyakit EHP pada udang vaname. Pertimbangannya penyakit EHP merupakan penyakit berbahaya penyebab pertumbuhan udang menjadi terhambat. Pertimbangan lainnya karena udang vaname adalah komoditas ekspor,” terang Slamet.

“Saya berharap melalui kerjasama ini terjadi peningkatan kapasitas pengaturan sistem biosekuriti akuakultur secara nasional utamanya untuk kegiatan surveilan penyakit ikan dan khususnya untuk masyarakat pembudidaya udang. Disamping itu agar diketahui prevalensi keberadaan penyakit EHP pada udang. Hingga akhirnya metode ini dapat digunakan untuk mengukur prevalensi penyakit ikan jenis lainnya,” Slamet berharap.

“Peningkatan produksi perikanan budidaya harus diikuti dengan penguatan dan perbaikan pengelolaan kesehatan ikan melalui penerapan biosekuriti, yang pada akhirnya akan mendukung produksi perikanan budidaya yang berkelanjutan. Saya yakin proyek ini dapat berjalan dengan baik dan menjadi contoh bagi negara anggota FAO lainnya dalam pengelolaan “Aquatic Animal Health” pungkasnya.

Untuk diketahui bahwa kerjasama dengan FAO tidak hanya di bidang penyakit namun juga kerjasama pengembangan pakan mandiri, minapadi, blue ekonomi serta management tool perikanan budidaya.