JAKARTA (IndependensI.com) – Sebagai negara yang multikultural, Indonesia terkenal dengan kekayaan kebudayaan, bahasa, ras, dan agamanya. Dari dulu hingga saat ini masyarakat Indonesia hidup di tengah-tengah kearifan budaya lokal dalam menghadapi kebhinekaan. Karena di dalam konsep Bhinneka Tunggal Ika terdapat kearifan lokal berupa ajaran hidup gotong royong, toleransi, kerja keras, dan saling menghormati.
Bahkan kearifan lokal ini dapat dijadikan panduan dalam penyelesaian masalah perselisihan, konflik, kekerasan termasuk radikalisme. Kearifan lokal tidak hanya menjadi strategi kultural dalam menyelesaiakan masalah (problem solver), tetapi juga bisa menjadi deteksi dini (early warning system) bagi keberadaan ancaman paham radikal di tengah masyarakat.
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry Banda Aceh, Prof Dr H Yusny Saby, MA, PhD, mengatakan bahwa kearifan lokal yang dimiliki bangsa Indonesia di berbagai daerah sangat penting untuk mendeteksi ancaman radikalisme dan terorisme. Tak hanya itu, kearifan loal juga dapat digunakan sebagai wadah untuk merajut kembali persatuan bangsa pasca Pemilihan Presiden lalu.
“Kearifan lokal itu begini, ada suatu ungkapan bahasa Aceh ‘Leumo bloh paya, kuda cot iku. Gob meuseunoh kuasa, tanyoe nyang karu’. Artinya, sapi yang masuk ke lumpur, kuda yang terkejut. Orang lain yang berebut jabatan/kekuasaan, malah kita yang ribut. Ini urusan politik sudah selesai. Politik ini jangan menjadikan kita menjadi kebingungan atau kesusahan atau tergoncang karena urusan urusan orang lain. Politik urusan politik. Demikian juga di bisnis ya bisnis juga seperti itu,” kata Yusny di Jakarta, Jumat (19/7/2019).
Lebih lanjut Yusny mengungkapkan, yang terpenting dari kearifan lokal itu, dengan ungkapan itu supaya masing-masing orang itu untuk melaksanakan urusannya sendiri-sendiri. Janganlah kita melakukan sesuatu itu melebihi dari apa yang sebenarnya sudah kita miliki. Hal ini sebagai upaya untuk membuat orang lain merasa damai dan nyaman dalam melakukan aktivitasnya.
“Janganlah kita melebihi langkah-langkah kita. Telapak kaki kita itu seberapa besarnya, demikian juga dengan duduk, berapa lebar yang dibutuhkan. Sehingga dengan demikian itu akan ada kedamaian, keamanan dan tidak membuat orang-orang lain itu merasa terancam dengan cara kita dalam melakukan sesuatu,” kata pria yang juga pernah menjadi rektor UIN Ar-Raniry Banda Aceh ini.
Untuk itu dirinya meminta kepada semua pihak dalam melaksanakan kehidupan sehari-harinya diharapkan bisa sesuai dengan aturan ikutlah ketentuan. “Itulah yang dimaksud dengan adat istiadat dan sistem yang sudah berlaku sesuai apa yang sudah digariskan. Itulah yang harus dipahami masyarakat,” ujarnya
Lebih lanjut dirinya memberikan gambaran tentang kearifan lokal sebagai deteksi dini dalam mengantisipasi paham radikal atau hal-hal lain yang dapat menggangu persatuan di suatu lingkungan masyarakat. Yakni, ketika ada sedikit perbuatan negatif yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok, maka harus ada orang-orang bijak yang dapat memahami suasana di lingkungan tersebut dalam mengambil keputusan dengan tepat baik secara langsung maupun tidak langsung tanpa memihak.
“Ini yang tentunya sangat penting sekali. Untuk itu kita harus selalu berkomunikasi dengan orang-orang bijak yang dapat memahami terhadap suasana itu, karena dialah yang lebih paham, karena tidak semua orang itu paham terhadapsuatu masalah,” tutur pria yang juga mantan Ketua Forum Koordinasi Pancegahan Terorisme (FKPT) Provinsi Aceh ini.
Dirinya memberikan filosofi misalnya ada guncangan daun di pohon. Yang mana sebagian orang sudah mengetahui bawa itu buah burung kecil atau burung besar atau burung jinak dan sebagainya. Demikian juga ketika ada orang senyum atau orang ketawa. Yang mana nampak ketawa terus atau senyum yang biasa-biasa saja.
“Tetapi bagi orang bijak itu dapat memahami bawa itu bukanlah ketawa orang yang bahagia, tetapi itu adalah ketawa duka cita, ketawa sinis dan sebagainya. Disinilah yang dimaksud dengan kearifan lokal secara bijak,” kata Yusny
Oleh karena itu menurutnya, sebenarnya setiap kondisi itu bisa dibaca atau dirasakan oleh semua orang. Namun hanya orang-orang tertentu saja yang bisa membaca situasi secara mendalam demi menjaga persatuan.
“Dan orang-orang inilah yang seharusnya perlu kita bekali, kita lindungi, kita jaga dan kita beri motivasi agar beliau-beliau itu bisa berfungsi di lingkungan masyarakat yang memahami lingkungan sekitarnya. Seperti orang memberi obat itu ada di mana-mana, tapi ketika orang itu tidak dimanfaatkan maka bisa hilang saja dan sebagainya,” ucapnya.
Dirinya mengatakan bahwa dari masyarakat sebenarnya banyak hal yang dapat dipetik dari praktek kearifan lokal yang ada di daerahnya. Sekarang ini yang lebih penting mereka itu dapat mengadakan kegiatan-kegiatan bersama. Apalagi selama ini pemerintah telah mengucurkan dana desa, yang mana dana desa itu harus dikoordinir bersama untuk menghambat masuknya tenaga kerja dari luar desa ke dalam desa tersebut.
“Tentunya harus bisa memberdayakan tenaga yang ada di dalam desa itu sendiri dengan modal yang ada itu supaya ada ketenangan maupun ketentraman. Jadi harus dihidupkan kembali usaha kegiatan ekonomi bersama, tidak lagi sekedar pribadi-pribadi. Karena modal itu didanai oleh pemerintah. Itu yang pertama,” ujarnya.
Lalu yang kedua menuurtnya yakni harus ada ceramah, pendidikan dan pengajaran agama, khususnya kepada anak sampai orang dewasa. Seperti yang terjadi pada bulan Ramadan kemarin yang menurutnya banyak terjadi di Aceh yang tidak pernah sepi mulai dari isya hingga subuh di masjid maupun musala. Yang mana pada umumnya kegiatan seperti itu dapat membawa ketenangan.
“Ini sengaja diadakan untuk mengingatkan kepada masyarakat sebagai kegiatan masyarakat bahwa kita itu harus saling damai dan selalu mendamaikan. Dan harus ditunjukkan pula bahwa Islam itu mengajarkan damai dan sebagainya,” kata pria yang saat ini menjadi penasehat pengurus FKPT Aceh ini.
Diakuinya bahwa secara menyelusuh sebenanrya kegiatan keagamaan seperti itu tidaklah kurang. Namun yang menjadi masalah selama ini adalah contoh keteladanan dari para tokoh-tokoh yang sangat kurang, sehingga hal itulah yang dapat menimbulkan kerentanan atau gesekan di masyarakat.
“Keteladanan tokoh politik, dan bahkan termasuk tokoh agama kadang-kadang kurang memberi teladan yang baik, teladan yang mengikat, teladan yang mengesankan kebaikan, kemaslahatan, kedamaian kepada masyarakat. Jadi yang kurang selama ini adalah keteladanan saja, kalau yang lain saya kira tidak ada yang kurang,” ucapnya.
Bahkan ketika kedua calon Presiden yakni Joko Widodo dan Prabowo Subianto kemarin bertemu dan berdamai itu menurutnya telah memiliki dampak yang sangat bagus sekali kepada rakyat. “Yang namanya hati yang sebelumnya ‘mendidih’ itu bisa tenang, yang panas itu juga bisa dingin dan sebagainya,” ucapnya.
Karena hal-hal yang telah ditunjukkan oleh keduanya tersebut menurutnya juga akan berpengaruh juga terhadap kearifan lokal. Yusni pun memberikan filosofinya, busuknya ikan itu ada di kepala. Kalau di kepala rusuh atau rusak, maka jangan harap di badan ikan itu bisa baik. Tapi kalau kepala ikan itu baik, maka seluruh badan ikan itu juga baik
“Jadi filosofinya sebenarnya juga ada di tokoh-tokoh itu sendiri. Dalam pepatah Aceh dikatakan rusaknya pohon dadap itu karena ada sejenis kumbang. Yang mana diartikan disini rusaknya anak-anak itu karena orang dewasa atau orang-orang yang senior ini,” ujar Peneliti di Pusat Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Islam UIN Ar-Raniry Banda Aceh ini.
Untuk itu menurutnya, dalam membangkitkan kearifan lokal demi menjaga persatuan bangsa para tokoh-tokoh harus bisa berbuat bijak, tidak saling menghujat, mengkritik, apalagi jika berkaitan dengan agama. Karena terkadang dirinya melihat tokoh-tokoh agama itu mengeluarkan pernyataan yang berkaitan dengan agama yang tentunya dapat meretakkan persatuan yang dapat dimanfaatkan untuk disusupi paham radkal terorisme oleh kelompok lain
“Di sinilah yang kadang-kadang menimbulkan ketidak harmonisan di antara para pengikut. Ketika para tokoh-tokoh itu berbeda ke pemahamannya, lalu kemudian perbedaannya itu diungkapkan ke muka umum maka pengikut yang ada di bawah akan mengikutinya meskipun yang diungkapkannya itu tidak baik bahkan cenderung radikal. Karena dengan keteladanan dari para tokoh inilah sebenarnya sebagai benteng utama dalam menagkal paham radikal,” ujanya mengakhiri.