Lolongan Anjing Dinihari di Tumbang Anoi

Loading

PALANGKA RAYA (Independensi.com)  – Pukul 04.00 WIB, Senin, 22 Juli 2019, saya terbangun di kediaman Cumbi, Kepala Desa Tumbang Anoi, Desa Tumbang Anoi, Kecamatan Damang Batu, Kabupaten Gunung Mas, Provinsi Dayak Tengah, Indonesia.

Saya ke luar rumah, kemudian berjarak sekitar 20 meter, saya singgah di salah satu warung seberang jalan yang masih buka. Karena pada Senin siang, 22 Juli 2019, Gubernur Kalimantan Tengah, Sugianto Sabran, membuka Seminar Internasional dan Ekspedisi Napak Tilas Damai Tumbang Anoi 1894 tahun 2019.

Saat tiba di warung, saya dihadang lolongan dan gonggongan beberapa ekor anjing peliharaan warga sekitar. Suaranya nyaring sekali. Sampai-sampai Pastor Dr Gegrorius Budi Subanar SJ (sejarawan Universitas Katolik Sanata Dharma, Yogyakarta) dan Theresia Nila Ambun Triwati (salah satu putri Tjilik Riwut, Gubernur Kalimantan Tengah, 1958 – 1967 dan Pahlawan Nasional), mengakui, mendengar gonggongan dan lolongan anjing dimaksud, setelah pembukaan seminar, Senin sore (22/7/2019).

Karena sudah terbiasa berhadapan anjing peliharaan, saya mengambil beberapa butir telur rebus. Saya buka, kemudian saya belah, dan serpihan dikasih kepada satu per satu anjing yang melolong dan menggongong.

Suasana kemudian reda. Sampai-sampai pemilik warung, sangat yakin bahwa saya sudah terbiasa menghadapi anjing peliharaan. Lantaran semenjak itu, kemanapun saya pergi di sekitar Cagar Budaya Rumah Betang Damang Batu, anjing-anjing tadi membuntut dari belakang, minta diberi makanan.

Lolongan dan gonggongan anjing, kalau dilihat dari sistem religi Suku Dayak, bukan hal yang biasa. Bahkan, Selasa siang, 23 Juli 2019, Pendeta Dr Marko Mahin MA, dari Sekolah Tinggi Teologi Banjarmasin, saat memberikan makalah seminar, mengingatkan, pasti ada arwah para leluhur Suku Dayak, pelaku sejarah pada 22 Mei – 24 Juli 1894, hadir di Tumbang Anoi.

Para arwah para peluhur itu, kata Marko Mahin yang menyusun disertasi khusus sistem religi Dayak di Provinsi Dayak Tengah, memonitor langkah apa yang dilakukan orang Dayak pada 125 tahun kemudian (1894 – 2019).

Saya tersadarkan akan pernyataan Marko Mahin. Karena Alexandra Horowitz, seorang pakar studi psikologi dengan perilaku pada hewan dari Columbia University mengatakan melolong dan mengonggong adalah salah satu cara anjing berkomunikasi.

Musik Karungut

Apalagi pada Selasa malam, 23 Juli 2019, sejumlah wanita setengah baya, tanpa dikomando, menari riang di depan pentas, saat salah satu pembawa acara membawakan lagu tradisional Suku Dayak bernama karungut.

Saya, sangat senang, karena itu, langkah spontanitas para ibu-ibu rumah tangga yang sebelumnya dengan setia menjaga barang dagangannya. Tapi karena Wakil Bupati Gunung Mas, Efrensia L.P. Umbing dan Bupati Murung Raya, Ferdy Yoseph, segera hadir, panitia dengan cara halus, menghalau akfitas para ibu-ibu rumah tangga tadi.

Rabu pagi, 24 Juli 2019, usai rapat dan sekaligus pamitan dengan Kepala Desa Tumbang Anoi, Cumbi, saya tanya kepada ibu-ibu rumah tangga yang ikut menari (manasai) mengingiringi musik karungut, Selasa malam, 23 Juli 2019.

Jawaban ibu-ibu rumah tangga tadi sama, “Kami refleks saja, seperti ada seseorang yang mengajak untuk manasai. Karena lantunan kata-kata di dalam musik karungut di dalam legenda suci Dayak dan mitos suci Suku Dayak di Dayak Tengah, sarat dengan makna ritual.”

Ibu-ibu rumah tangga, memang kerusupan arwah para leluhur, terutama tidak menutup kemungkinan kerusupan arwah para leluhur pelaku sejarah Pertemuan Damai Tumbang Anoi, 22 Mei – 24 Juli 1894.

Dimana pertemuan 22 Mei – 24 Juli 1894 di rumah bentang milik Damang Batu di Tumbang Anoi, menghasilkan 9 point kesepakatan, mencakup 96 pasal hukum adat, di antaranya menghentikan budaya perbudakan dan mengayau (potong kepala manusia).

Tanda-tanda alam, memang diakui sejumlah peserta dalam perbincangan riang di media sosial, mengenang pelaksanaan Seminar Internasional dan Ekspedisi Napak Tilas Damai Tumbang Anoi 1894 tahun 2019.

Di antaranya yang tidak terbantahkan, di tengah-tengah mendung tebal, sampai-sampai Gubernur Kalimantan Tengah, Sugianto Sabran, menunda penerbangan dari Palangka Raya dengan pesawat helikopter ke Tumbang Anoi, Senin pagi, 22 Juli 2019, tapi hujan memang tidak turun. Hujan baru turun pada Kamis malam, 25 Juli 2019, hampir di seluruh wilayah.

“Saya dapat laporan, tidak kurang dari dua ribu orang yang hadir. Pemerintah Kabupaten Gunung Mas, mengucapkan banyak terimakasih. Penetapan Cagar Budaya Rumah Betang Damang Batu seluas 10 ribu hektar sebagai Pusat Kebudayaan Dayak Sedunia, akan membuat Kabupaten Gunung Mas, semakin dikenal dunia internasional.”

“Saya punya angan-angan, saatnya nanti berbagai sub suku Dayak, membangun rumah adatnya di Tumbang Anoi sebagai Pusat Kebudayaan Suku Dayak Sedunia,” kata Efrensia L.P. Umbing, saat penutupan yang dimeriahkan lagu-lagu dangdut lantunan suara merdu Bupati Murung Raya, Ferdy Midel Yoseph.

Saya berpikir, tidak akan ada satu pihak pun berani mengklaim, paling berjasa, menggelar pertemuan ribuan tokoh Dayak di Tumbang Anoi tahun 2019. Karena antusias orang Dayak, hingga kehadiran sejumlah Bupati dari etnis Dayak di Tumbang Anoi, bukti kerinduan akan pentingnya konsolidasi internal di tengah-tengah realitas geopolitik regional, nasional dan internasional yang semakin menantang.

Trilogi Peradaban Kebudayaan

Peradabangan kebudayaan berbagai Suku Bangsa di Asia, termasuk Suku Dayak, memang bertolak belakang dengan peradaban kebudayaan Barat yang mengedepankan rasionalitas.

Berbagai Suku Bangsa di Asia, termasuk Suku Dayak, menganut triologi peradaban kebudayaan, yaitu hormat dan patuh kepada leluhur, hormat dan patuh kepada orangtua, serta hormat dan patuh kepada negara.

Trilogi peradaban kebudayaan dimaksud, bertujuan membentuk karakter, identitas dan jatidiri manusia Suku Dayak beradat (berdamai dan serasi dengan leluhur, berdamai dan serasi dengan alam semesta, serta berdamai dan serasi dengan sesama).

Manusia Dayak beradat, menempatkan hutan sebagai simbol dan sumber peradaban, dengan melahirkan religi Dayak bersumber dan atau berurat berakar dari legenda suci Dayak, mitos suci Suku Dayak, adat istiadat Suku Dayak dan hukum adat Suku Dayak.

Karena sejatinya kebudayaan mencakup tiga pranata peradaban, yaitu pranata peradaban sosial, pranata peradaban ekonomi dan pranata peradaban politik. Di dalam pranata peradaban sosial, ada sistem religi di dalamnya.

Jadi, bicara masalah Kebudayaan Suku Dayak, di dalamnya otomatis bicara masalah sosial Suku Dayak, bicara masalah ekonomi dan bicara masalah politik Suku Dayak. Bicara masalah kebudayaan Suku Dayak, otomatis pula di dalamnya bicara masalah sistem religi Suku Dayak sebagai bukti kecerdasan berpikir, kecerdasan bersikap dan kecerdasan bertindak orang Dayak.

Tujuan Seminar dan Ekspedisi Napak Tilas Damai Tumbang Anoi 1894 tahun 2019, sebagai upaya nyata melakukan revitalisasi Kebudayaan Suku Dayak sebagai momentum bagi Suku Dayak untuk kembali kepada karakter, identitas dan jatidiri orang Dayak.

Berkaitan dengan itulah, maka tema yang diambil, adalah: “Wujudkan Manusia Dayak Beradat: Hormati Leluhur, Menjaga Kelestarian Alam Menuju Terciptanya Persatuan dan Kesatuan Bangsa Dayak”.

Orang Dayak harus melihat Kebudayaan Suku Dayak secara jujur dan bermartabat dari dalam. Karena jika orang Dayak, melihat Kebudayaan Suku Dayak semata-mata dari sumber keyakinan iman, maka di situlah awal dari kehancuran identitas, jatidiri dan karakter orang Dayak beradat.

Bagi orang Dayak, antara agama sebagai sumber keyakinan iman, harus dimaknai dalam konteks yang berbeda dengan ssistem religi Dayak, sehingga terbebas dari tudingan mencampur-adukkan ajaran agama.

Karena orang Dayak yang sudah memeluk Agama Katolik sebagai sumber keyakinan, iman, misalnya, bukan semerta-merta berubah menjadi Suku Bangsa Yahudi, hanya lantaran Agama Katolik berurat-berakar dari Kebudayaan Suku Bangsa Yahudi.

Sementara status kedayakan seorang Dayak akan melekat di dalam diri orang Dayak, sampai akhir hayat.

Organisasi Dayak

Dua hal penting dalam pelaksanaan Seminar Internasional dan Ekspedisi Napak Tilas Damai Tumbang Anoi 1894 tahun 2019, adalah melahirkan Protokol Tumbang Anoi 2019, yaitu membentuk kepengurusan Dayak International Organization, dengan menetapkan Datuk Dr Jeffrey G Kitingan dari Sabah, Federasi Malaysia sebagai Presiden dan Dr Julius Johanes, M.Si dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Tanjungpura, Pontianak, Provinsi Dayak Barat sebagai Sekretaris Jenderal.

Tugas Dayak International Organization sebagai tim negosiator apabila kepentingan Dayak di Indonesia, Brunei Darussalam dan Malaysia, dirugikan dalam posisinya sebagai penduduk asli atau penduduk asal sebagaimana Deklarasi Hak-hak Penduduk Pribumi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Nomor 61/295, tanggal 13 September 2007.

Kepengurusan Dayak Internasional Organization lima tahun pertama (23 Juli 2019 – 23 Juli 2025) tiap provinsi dan negara bagian mengutus 2 personil, dimana Provinsi Dayak Tengah mengutus Dr Drs Dagud H Djunas SH, MT dan Dr Marko Mahin MA, serta Provinsi Dayak Barat mengutus Dr Julius Johanes M.Si dan Dr Genopepa Sedia SH, MH (staf Pengajar Universitas Kapuas, Sintang, Dayak Barat).

Provinsi Dayak Timur: (Dr Jiuhardi, SE, MM, Dr . Paulus Matius). Provinsi Dayak Selatan: (Abdussani, M. Ikom, Bujino A Salan K, SH). Provinsi Dayak Utara: (Jahari, S.Sos, Marli Kamis). Negara Bagian Sarawak: (Mike M Joke, Bunie Japah).

Negara Bagian Sabah: (Dr Jeffrey G Kitingan, Jalumin Bayogoh). Dalam mendukung penetapan Cagar Budaya Rumah Betang Damang Batu menjadi Pusat Kebudayaan Dayak Sedunia di atas lahan seluas 10 ribu hektare, ditetapkan tiap provinsi dan negara bagian mengutus lima orang sebagai pengurus Yayasan Damang Batu International lima tahun pertama (23 Juli 2019 – 23 Juli 2025).

Dimana Dr Aswin Usup (staf Pengajar Universitas Palangka Raya) sebagai ketua yayasan lima tahun pertama dan Russaly Andel E Umbing sebagai sekretaris jenderal yayasan lima tahun pertama.


Dari Provinsi Dayak Tengah sebagai pengurus Yayasan Damang Batu Internasional, lima tahun pertama, terdiri dari Dr Aswin Usup, Russaly Andel E Umbing, Dagud H Djunas, E.P. Romong, dan Marko Mahin.

Dari Provinsi Dayak Barat sebagai pengurus Yayasan Damang Batu International lima tahun pertama terdiri dari Suryadman Gidot M.Pd, Drs Askiman MM, Dr Julius Johanes, M.Si, Dr Genopepa Sedia SH, MH dan Aju.

Provinsi Dayak Timur: (Dr Jiuhardi, SE, MM, Dr Paulus Matius, Edy Gunawan, , Fendi Njuk, Michael). Provinsi Dayak Selatan: (Abdussani, I.Kom, Bujino A. Salan K, SH, MH, Ahmad Sairani, Yophi Sabtura, SE, Tri Yosina, S.Pd, M.Pd).

Provinsi Dayak Utara: (Lumbis, S.Sos, Dr Yansen TP, Marli Kamis, SH, Darboy, S.Sos, Muriono Sumatalun). Negara Bagian Sarawak: (Mike M Jok, Richard Lias, Bunie Japah, Mangga Mikui, Douglas Alau).

Negara Bagian Sabah: (Dr Datuk Jeffrey G Kitingan, Jalumin Bayogoh, Andrew Ambrose Atama Katama, Feddrin Tuliang, Belynda Buntot).

Nama-nama pengurus dibacakan Ketua Tim Perumus Dr Yulius Yohanes, M.Si di hadapan Wakil Bupati Gunung Mas, Efrensia L.P. Umbing dan Bupati Murung Raya, Ferdy Midel Yoseph pada penutupan di samping Cagar Budaya Rumah Betang Damang Batu di Tumbang Anoi, Selasa malam, 23 Juli 2019.

Pangdam Tanjungpura

Pelaksanaan Seminar Internasional dan Ekspedisi Napak Tilas Damai Tumbang Anoi 1894 tahun 2019, tidak terlepas dari peran simpatik Panglima Komando Daerah Militer (Pangdam) XII/Tanjungpura, Mayor Jenderal Tentara Nasional Indonesia (TNI) Herman Arisabab, setelah melakukan komunikasi lebih intensif dengan Drs Cornelius Kimha, M.Si, salah satu pemuka masyarakat Suku Dayak di Provinsi Dayak Barat.

Dukungan dari Pangdam XII/Tanjungpura, bisa dilihat dari keterlibatan langsung Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI-AD), mengirim personil berpakaian sipil dan membangun tenda bagi para peserta Suku Dayak dari seluruh dunia di Desa Tumbang Anoi.

Terimkasih kepada TNI-AD, terutama Kodam XII/Tanjungpura yang sangat responsif melihat pertemuan akbar Suku Dayak Sedunia di Tumbang Anoi tahun 2019, tetap dalam konteks pewujudan dan pengamalan nilai-nilai Pancasila sebagai ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Langkah Kodam XII/Tanjungpura, mengingatkan kita semua, akan awal dari kelahiran ideologi Pancasila, dimanana menurut Presiden Indonesia, Soekarno (17 Agustus 1945 – 22 Juni 1966), ideologi Pancasila disarikan dari kebudayaan berbagai suku bangsa di Indonesia.

Itu berarti, karena Suku Dayak, bagian tidak terpisahkan dari NKRI, maka Kebudayaan Suku Dayak, turut andil melahirkan ideologi Pancasila di Indonesia.

Dengan demikian, melakukan revitalisasi Kebudayaan Suku Dayak, melalui pelaksanaan Seminar Internasional dan Ekspedisi Napak Tilas Damai Tumbang Anoi 1894 tahun 2019, wujud nyata pengalaman ideologi Pancasila.

Terimakasih pula disampaikan kepada Gubernur Kalimantan Tengah, Sugianto Sabran, dan Bupati Gunung Mas, Jaya Samaya Monong, berkenan memfasilitasi tahap akhir pelaksanaan Seminar Internasional dan Ekspedisi Napak Tilas Damai Tumbang Anoi 1894 tahun 2019.

Tidak bisa dibayangkan, apa yang bakal terjadi, apabila Gubernur Kalimantan Tengah, Sugianto Sabran dan Bupati Gunung Mas, Jaya Samaya Monong, tidak turun tangan, mendukung Ketua Panitia, Dagut H Djunas dan jajarannya. Karena izin keramaian dari Polisi Republik Indonesia (Polri), baru turun menjelang detik-detik akhir.

Bupati Bengkayang

Awal dari pelaksanaan Seminar Internasional dan Ekspedisi Napak Tilas Damai Tumbang Anoi 1894 tahun 2019, hasil kunjungan tidak resmi Bupati Bengkayang Suryadman Gidot, bersama sejumlah tokoh masyarakat di Cagar Budaya Rumah Betang Damang Batu di Tumbang Anoi, Minggu, 14 Agustus 2018.

Namum sejak awal dalam kapasitasnya sebagai salah satu inisiator, Bupati Suryadman Gidot, memang tidak ingin menonjolkan diri. “Tugas saya tidak lebih dari membangkitkan kembali semangat kebersamaan kita, orang Dayak,” ujar Bupati Suryadman Gidot.

Ide Suryadman Gidot, direspon peserta pertemuan Borneo Dayak Forum Internasional di Kota Kinabalu, Sabah, Malaysia, 31 Juli – 2 Agustus 2018, dan ditindaklanjuti sosialisasi Wakil Bupati Sintang Askiman, pada Temenggung International Conference di Sintang, Dayak Barat, 28 – 30 Nopember 2018, dan draft kasar dibahas di sela-sela pelaksanaan International Dayak Justice Congress di Keningau, Sabah, Malaysia, 14 – 16 Juni 2019.

Karena semata-mata mengandalkan idealisme, tidak didukung perencanaan sistem Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBN/APBD), pelaksanaan Seminar Internasional dan Ekspedisi Napak Tilas Damai Tumbang Anoi 1894 tahun 2019, sempat diwarnai keprihatinan sehingga muncul sikap saling curiga antar personil penitia.

Terimakasih kepada Bupati Malinau, Yansen TP, Bupati Sintang, Jarot Winarno, Bupati Ketapang, Martin Rantan, Wakil Bupati Kapuas Hulu, Anton L Ain Pamero, Bupati Sanggau, Paolus Hadi, Wakil Bupati Sanggau,Yohanes Ontot, Bupati Bengkayang, Suryadman Gidot, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPRD) Kabupaten Bengkayang, Martinus Kajot, Wakil Ketua DPRD Kabupaten Bengkayang, Yosua Sugara, Bupati Murung Raya, Ferdy Midel Yoseph.

Kemudian ucapan terimakasih kepada Sekretaris Jenderal Majelis Adat Dayak Nasional (MADN) Jacobus Kumis, Presiden Borneo Dayak Forum Internasional Datuk Dr Jeffrey G Kitingan dari Sabah, Negara Bagian Sarawak, Sekretaris Jenderal Borneo Dayak Forum Internasional, Agustinus Clarus, beserta jajaranya, serta semua delegasi yang mewakili provinsi dan negara bagian. Pihak yang disebutkan di atas berkenan hadir di Cagar Budaya Rumah Betang Damang Batu di Tumbang Anoi, 22 – 24 Juli 2019.

Protokol Tumbang Anoi 2019, selanjutnya dirafitikasi berbagai organisasi Suku Dayak Sedunia, untuk selanjutnya sebagai panduan etika berperilaku bagi Suku Dayak dalam kapasitasnya sebagai penduduk asli atau penduduk asal, sebagaimana Deklarasi Hak-hak Penduduk Pribumi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Nomor 61/295, tanggal 13 Sepember 2007. (Aju)

One comment

  1. Selamat dan sukses Seminar Internasional dan Nampak Tilas Tumbang Anoi. Bangga menjadi orang Dayak. Salam.

Comments are closed.