Laut Natuna milik siapa?

Sengketa Laut Natuna, China Uji Nyali Hegemoni AS di Asia Tenggara

Loading

PONTIANAK (Independensi.com) – Sekretaris Jenderal Dayak International Organization (DIO), Dr Yulius Yohanes, M.Si, menilai sengketa berupa perang urat syaraf di Laut Natuna, pada dasarnya uji nyali hegemoni Amerika Serikat (AS) di Asia Tenggara.

“Sangat wajar Indonesia terusik dengan mengerahkan kekuatan militer di Laut Natuna, karena diklaim sebagai wilayahnya di perairan yang dimasuki kapal nelayan China dan kapal patroli China,” ujar Yulius Yohanes, Senin, 6 Januari 2020.

Yulius Yohanes, Sekretaris Pascasarjana Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Tanjungpura, Pontianak, mengatakan, memang dilihat sekilas agak aneh, tiba-tiba wilayah laut Indonesia diusik, karena Indonesia tidak terlibat di dalam perebutan Kepulauan Spratly, dekat Laut Natuna.

China baru kali ini mengusik wilayah laut Indonesia, karena berdasarkan peta sepihak China, Laut Natuna merupakan wilayahnya.

“Walau Indonesia langsung menggelar keluatan militer dari tiga matra di Laut Natuna, sebagai reaksi keras terhadap sikap klaim China terhadap Laut Natuna, tapi sebetulnya tidak lebih dari upaya sampai sejauh mana menguji pengaruh Amerika Serikat di Asia Tenggara,” kata Yulius Yohanes.

Menurut Yohanes, secara logika tidak mungkin pecah perang terbuka di Laut Natuna, antara Indonesia dan China.

Alasannya sederhana saja, China tidak menginginkan investasinya di Indonesia terganggu akibat dari kemelut di Laut Natuna.

Sementara negara di Asia Tenggara sudah membentuk organisasi Associaton of South East Asian Nation (ASEAN), dalam upaya meningkatkan kerjasama dalam banyak aspek.

“China hanya ingin menunjukkan kesombongannya bahwa hegemoni Amerika Serikat sudah saatnya paling kurang dieliminir, termasuk di Asia Tenggara. Kita semua tahu sejak tahun 2005 hegemoni Amerika Serikat hampir pada semua kawasan semakin berkurang, seiring peta kekuatan militer dan ekonomi dunia sudah beralih ke China,” kata Yulius Yohanes.

sebelum tahun 2005, Amerika Serikat telah menunjukkan diri sebagai polisi dunia, dengan terlalu jauh mencampuri urusan politik dalam negeri sebuah negara dengan dalih penegakan hak azasi manusia.

Tapi tahun 2005 konsep hak azasi manusia yang diusung Amerika Serikat, kalah voting dengan konsep hak azasi yang diusung China karena didukung Federasi Rusia.

Konsep hak azasi manusia China yang menang voting di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), 2005, adalah harus dilihat pula sampai sejauh mana langkah negara yang bersangkutan meningkatkan kesejahteraan rakyatnya.

“Perlu dilakukan sekarang, Indonesia harus melakukan langkah diplomatik realistis di dalam menghadapi semakin kuatnya pengaruh ekonomi dan politik China di dunia internasional, tapi tidak boleh merugikan kepentingan dalam negeri,” kata Yulius Yohanes. (Aju)