JAKARTA (IndepndensI.com) – Pegolf muda kelahiran Jakarta 6 Maret 1996 ini adalah anak bungsu dari dua orang bersaudara. Putra, sapaan akrabnya, adalah anak seorang fotographer yang biasa “beroperasi” di lapangan golf.
Oleh Rizal, ayahnya, kalau Putra sedang libur atau tidak sedang ada ulangan, dia sering diajak ke lapangan agar memahami bagaimana “mencari uang untuk biaya hidup sehari-hari” dengan berjualan foto.
Akan tetapi, namanya juga “jualan” belum tentu barang dagangannya laku terjual.
Suatu hari ketika Putra diajak oleh ayahnya “mengaktualisasikan diri sebagai fotographer” di Sentul Highland Golf Course, “Waktu acara kegiatan golf sudah selesai, tiba-tiba… waktu saya cari-cari ke mana dia pergi… tak tahunya dia sedang mukul bola di Driving Range,” tukas Uda Rizal dengan logat Padang yang sangat kental.
Lalu – sebagaimana yang kemudian diungkapkan oleh Uda Rizal – terjadilah dialog antara bapak dan anak, yang intinya sebagai orangtua Uda Rizal tidak mempermasalahkan bila kelak anak bungsunya tersebut akan lebih memilih menjadi golfer tinimbang mengikuti jejak ayahnya sebagai fotographer.
“Istilah orang Betawi, demi anak apa pun harus dijabanin. Maklumlah, Mas, awak ini bukan orang kaya, dan kita tahu mana ada anak dari keluarga kaum dhuafa yang jadi pegolf he, he, he,” ujar Uda Rizal sambil terkekeh.
Dengan kata lain, Uda Rizal siap berkorban demi anak bungsunya: Abdi Setia Putra.
Menjawab pertanyaan mengenai kapan Putra mulai tertarik dengan olahraga golf, anak bungsu dari dua bersaudara tersebut mengungkapkan bahwa dia mulai pegang stick dan memukul bola golf saat dia masih duduk di bangku kelas 2 SMP.
“Awalnya cuma iseng. Karena, kalau saya keliling mendampingi Bapak motret, kelihatannya kok asyik sekali melihat orang-orang bermain golf. Apalagi kalau melihat ada pemain yang bisa cetak pukulan hole in one. Hati saya pun ikut bersuka cita – padahal saya hanya melihat, Om,” kata Putra sambil tersenyum.
Menurut Uda Rizal – seperti kata beberapa teaching pro yang ber-homebase di Driving Sentul Highland – Putra memiliki talenta yang bagus, “Sehingga, kata mereka, kalau dipoles terus menerus Putra akan menjadi pegolf yang baik,” tukas Uda Rizal.
Namun, keinginan tersebut tidak serta merta segera terwujud. Padahal, sebagai orang tua yang senantiasa siap “Tutwuri Handayani” (salah satu motto di dunia pendidikan nasional yang dicanangkan oleh Ki Hajar Dewantara), Uda Rizal siap mendukung kegiatan anak bungsunya.
Kenapa begitu? “Maklumlah, namanya juga anak-anak, Mas. Masih banyak keinginannya. Belum memiliki satu pandangan yang pasti yang bisa dijadikan pegangan dalam hidupnya,” tutur Uda Rizal sambil menambahkan bahwa pihaknya dua kali berurusan dengan aparat kepolisian gara-gara anak bungsunya tersebut sering berantam. “Alhamdullilah urusannya urusan berantem bukan urusan narkoba!” tegas Uda Rizal.
Meskipun begitu sesekali Putra masih sering latihan mukul bola di driving range utamanya setiap ada kesempatan menemani sang ayahnya motret di lapangan golf.
“Tapi, Om, saya benar-benar terkucil dari olahraga golf. Waktunya pun cukup panjang – sekitar kurang-lebih tiga tahun lamanya,” ujar Putra.
“Sebabnya?”
“Karena, setelah lulus SMA, saya melanjutkan kuliah di Akademi Maritim, Cirebon,” sahut Putra.
Dan, dengan disiplin ilmu yang dipelajarinya di Akademi Maritim Cirebon, Putra pernah bekerja di pelabuhan. “Tapi, Mas, saya tidak akan sebutan nama pelabuhannya,” tukas Uda Rizal. “Yang jelas, anak kami hanya kurang-lebih satu tahun bekerja di pelabuhan tersebut.”
Saat ini, selain kembali seperti ketika masih duduk di bangku SD, SMP dan SMA – yakni mendampingi sang ayah sebagai fotographer yang “operasi”-nya lebih banyak di lapangan golf – Putra pun semakin intens dalam menekuni olahraga golf.
“Sejak setahun yang lalu saya kembali bergumul dengan olahraga golf, Om, dan saya mulai dari nol lagi,” ujar Putra berterus terang sambil tersenyum.
Karena, diakui atau tidak, anak bungsu dari dua bersaudara ini memang dikaruniai talenta di atas rata-rata seperti umumnya para beginnet; Maka wajar kalau penampilannya di lapangan golf — utamanya saat dia tampil dalam event charity golf – selalu menarik perhatian pairingnya.
Rupanya kepiawaian Putra dalam hal mengayunkan stick golf menarik perhatian kakeknya – pengelola sebuah yayasan pendidikan di Bekasi, yang juga seorang pegolf – sehingga sang kakek memberi hadiah seperangkat peralatan golf kepada cucunya: Abdi Setia Putra.
“Bukan cuma kakeknya yang menghadiahi cucunya club. Para golfer yang pernah main golf bersama anak saya pun memberi hadiah sepatu,” ujar Uda Rizal.
Diakui bahwa Putra boleh dikatakan hampir setiap sebulan sekali tampil bertanding. “Itu bukan berarti bahwa saya banyak duit. Karena, mana mungkin saya bisa membeli undangan seharga dua sampai tiga juta, Mas?!” Uda Rizal berterus terang.
“Lalu, bagaimana caranya?”
“Semuanya adalah karena hubungan baik saya dengan para pegolf, Mas,” sahut Uda Rizal. “Contohnya kalau pegolf yang saya kenal itu menggelar turnamen. Kan dari seratus pegolf lebih yang terdaftar sebagai peserta, tidak semuanya bisa hadir.”
“Nah, biasanya, sepuluh atau lima menit sebelum tee off dimulai, saya diberitahu oleh panitia agar Putra bersiap-siap untuk menggantikan undangan yang, karena sesuatu dan lain hal, tidak bisa hadir dalam turnamen tersebut.”
“Kalau batas waktunya sudah lewat dan undangan yang akan tampil bertanding benar-benar tidak hadir, slot undangan tersebut diisi oleh anak saya.”
Meskipun begitu bukan berarti tanpa resiko. “Karena pernah, gara-gara saya harus mengisi slot tersebut, sementara saya pakai celana jins. Ya apa boleh buat, saya pinjam celana bapak. Kan di lapangan golf setiap pemain tidak diperbolehkan pakai celana jins. Apa boleh buat. Walau sempit, saya terpaksa pakai celana bapak saya ha, ha, ha.” tutur Putra sambil tertawa.
Menyinggung masalah berapa dana yang harus dikeluarkan, Uda Rizal menjawab: “Yang pasti tidak sama dengan harga undangan yang berkisar antara dua sampai tiga juta rupiah. Berapa nilai nominalnya, rasanya hal ini tak elok diekspos deh he, he, he.” (Matthew Bagas Aryo)
Saya tertarik dengan post ini, dimulai dari nol – road to masters, dengan umur yang sangat muda dan dengan keadaan ekonomi yang sederhana membuat anak ini terlihat berkualitas, saya harap bisa menggantikan tiger wood kelak.