JAKARTA (Independensi.com) Penetapan tarif angkutan penyeberangan harusnya cukup diselesaikan oleh Menteri Perhubungan. Keterlibatan Kementerian Koordinator Bidang Maritim dan Investasi dalam penetapan tarif angkutan penyeberangan justru memperpanjang rantai birokrasi dan menghambat usaha.
Hal ini terbukti dengan berlarut-larutnya penetapan tarif penyeberangan (kapal ferry) yang telah diusulkan Kementerian Perhubungan sejak akhir tahun lalu karena harus dikaji kembali oleh Kemenko Maritim dan unvestasi.
“Keterlibatan Kementerian Koordinator Bidang Maritim dan Investasi dalam penetapan tarif angkutan penyeberangan justru langkah mundur karena penetapannya justru semakin berlarut-larut.
“Padahal, pembahasan tarif di Kemenhub sudah molor selama 1,5 tahun,” kata Bambang Haryo Soekartono, anggota DPR RI periode 2014-2019 di Jakarta Selasa (21/1)
Untuk diketahui tarif angkutan penyeberangan belum pernah naik sejak 3 tahun lalu. Sesuai regulasi, evaluasi tarif penyeberangan seharusnya dilakukan 6 bulan sekali.
,Ditambahkan oleh Bambang Haryo, keterlibatan Kemenko Marves dalam evaluasi tarif penyeberangan bertentangan dengan semangat Inpres No. 7/2019 tentang Percepatan Kemudahan Berusaha.
“Kemenko Marves justru menghambat kemudahan berusaha karena birokrasi makin panjang dan bertele-tele, tidak sesuai dengan jargon Presiden Jokowi memangkas regulasi dan birokrasi,” ujarnya.
Sejak era Orde Baru, jelas Bambang Haryo, birokrasi evaluasi tarif telah dipangkas dengan menghilangkan mekanisme melalui DPR RI sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 21/1992 tentang Pelayaran.
Ketentuan ini diperkuat dengan PP No. 82/1999 tentang Angkutan di Perairan, yang menyebutkan penetapan tarif cukup melalui Menteri Perhubungan.
Menurut dia, dampak kenaikan tarif terhadap harga barang yang diangkut hanya 0,05% sehingga tidak perlu dikhawatirkan.
“Kenaikan itu mungkin kecil bagi pemilik barang, tetapi besar artinya bagi angkutan penyeberangan untuk menjaga kelangsungan usaha dan menjamin keselamatan nyawa publik,” ujarnya.
Bambang Haryo mengatakan evaluasi tarif penyeberangan sebenarnya bukan domain Menko Marves, melainkan Menko Perekonomian.
Jika pun terlibat, Menko sebaiknya hanya mengawasi dan membantu agar birokrasinya lancar. Bukan justru menciptakan birokrasi baru.
Dia khawatir angkutan penyeberangan berhenti operasi dalam waktu dekat karena kesulitan membayar gaji karyawan dan kewajiban lain.
“Kalau penyeberangan kolaps dampaknya sangat luas, angkutan penumpang dan logistik terhenti sehingga ekonomi akan mandeg,” katanya.
Oleh karena itu, dia mendesak Presiden Joko Widodo memperhatikan masalah ini karena sudah molor cukup lama, sementara kondisi usaha penyeberangan nasional semakin kritis.
Presiden juga diminta menegur Bambang Haryo menilai Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan yang tidak mengerti sektor transportasi dan maritim, sehingga lamban merespons usulan tarif penyeberangan. (hpr)