Politik Kebudayaan Versus Pemerintahan Tuhan di Indonesia

Loading

Oleh Aju

JAKARTA – Posisi Indonesia yang sudah menempatkan dirinya sebagai pemerintahan Tuhan di alam nyata, secara psikologis dan realitas politis menjadi hambatan terbesar di penjabaran pembangunan berbasiskan kebudayaan asli berbagai suku Bangsa Indonesia di dalam mewujudkan politik kebudayaan.

 

Karena keduanya saling bertolak belakang. Hampir tidak akan pernah mencapai titik temu, apabila tidak dibarengi komitmen politik nasional yang mengikat semua pihak.

 

Hambatan dari aspek psikologis datang dari kelompok yang selalu menghendaki melalui berbagai cara, supaya aplikasi doktrin sumber keyakinan imannya, menjadi filosofi etika berperilaku di Indonesia. Di antaranya upaya penyeragamanan ukuran moralitas.

 

Celakanya lagi, sumber keyakinan iman yang dipaksakan menjadi filosofi etika berperilaku, patut diduga bukan berbasiskan kebudayaan asli dari berbagai suku bangsa di Indonesia.

 

Sehingga ideologi Pancasila, baru sebatas komitmen politik di atas kertas, dan belum sampai kepada ketulusan hati dan kebesaran jiwa di dalam mengaplikasikannya.

 

Akibatnya muncul anekdot Budayawan Yogo Widodo, kalau mabuk bir, Anda akan menjadi jujur dan ceplas-ceplos, mengutarakan apa yang yang ada di benak Anda, malah terkadang yang di dalam alam bawah sadar pun muncul.

 

Tapi saat Anda, mabuk agama, lanjut Yogo Widodo, maka Anda akan menjadi seorang pembohong, bukan hanya terhadap orang lain saja, bahkan hati-nurani sendiripun Anda bohongi.

 

Ketika kelompok mabuk agama, ini, menetapkan pada sebuah wilayah administratif berstatus minoritas, mereka akan menuntut hak sebagai kelompok minoritas. Tapi ketika di kemudian hari, kelompok minoritas ini berubah jadi kelompok mayoritas, maka dengan mudahnya mereka mengklaim tidak ada itu hak minoritas.

 

Dari aspek realitas politis, hambatannya: semua partai politik di Indonesia, belum memiliki platform politik aplikatif, rill dan detil sampai ke hal-hal teknis di dalam merealisasikan pembangunan politik kebudayaan.

 

Visi dan misi sebagian partai politik di Indonesia menjadikan doktrin sumber keyakinan iman menjadi perjuangan politiknya, fakta lain yang menambah semakin runyamnya mewujudkan pembangunan berbasiskan kebudayaan asli berbagai suku bangsa di Indonesia.

 

Program Nawacita

Pembangunan berbasis kebudayaan, yaitu Program Nawa Cita, di atas kertas sudah dimulai di era Pemerintnahan Presiden Joko Widodo, 20 Oktobr 2014 – 20 Oktober 2024.

 

Program pembangunan berbasis kebudayaan, tertuang di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM 2014 – 20219) dan dipertajam lagi di dalam RPJM 2019 – 2024.

 

RPJM 2014 – 2019 dan RPJM 2019 – 2024, berupa penjabaran agenda pokok untuk melanjutkan semangat perjuangan dan cita-cita Presiden Soekarno (17 Agustus 1945 -12 Maret 1967) yang dikenal dengan istilah Trisakti, yakni berdaulat secara politik, mandiri dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan.

 

Dalam mempertajam Program Nawa Cita, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menyelenggarakan seminar nasional di Kantor Kementerian Bappenas di Jakarta, Selasa, 4 April 2017.

 

Kementerian Bappenas, dalam seminar nasional berjudul: “Peran Kebudayaan di dalam Pembangunan Nasional”, menyadari kemajuan sangat signifikan China, Jepang dan Korea Selatan, karena pembangunan berbasiskan kebudayaan, maka di masa mendatang, di Indonesia realisasi pembangunan dalam berbagai aspek, harus berdasarkan kebudayaan asli berbagai suku bangsa di Indonesia (Baca, Bisnis.com, Selasa, 4 April 2017).

 

Itulah sebabnya, dalam Protokol Tumbang Anoi 2019, hasil Seminar Internasional dan Napak Tilas Damai Tumbang Anoi 1894 tahun 2019 di Cagar Budaya Rumah Betang Damang Batu, Desa Tumbang Anoi, Kecamatan Tumbang Anoi, Kabupaten Gunung Mas, Provinsi Kalimantan Tengah, 22 Mei – 24 Juli 2019, salah satunya menuntut diberlakukan Otonomi Khusus Kebudayaan (Otsusbud) Dayak di Kalimantan.

 

Otsusbud Dayak sehubungan dengan pemindahan Ibu Kota Negara dari Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta ke Provinsi Kalimantan Timur, sebagaimana diumumkan Presiden Joko Widodo, di Jakarta, Senin, 26 Agustus 2019.

 

Dengan Trisakti, Presiden Indonesia Joko Widodo,  menegaskan kebudayaan tidak hanya penting bagi bangsa Indonesia pasca kemerdekaan sebagai proses nation-building.

 

Tapi juga penting sebagai pilar menuju Indonesia maju dengan sumber daya manusia yang unggul berkarakter kebangsaan, bukan hanya pintar dan piawai dalam teknologi (Eko Sulistyo: 2019).

 

Program Nawacita, sebagai wujud pengakuan dan penghormatan terhadap kesatuan Masyarakat Adat, sebagaimana diatur di dalam Pasal 18B ayat (2) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, menyatakan “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip-prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”, adapun ketentuan Pasal 28I ayat (3) UUD 1945, menyatakan “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”.

 

Pengakuan dan penghormatan terhadap kesatuan masyarakat adat berarti pengakuan dan penghormatan terhadap keberadaannya sebagai kelompok masyarakat, dengan sekumpulan hak yang bersifat asal-usul termasuk di dalamnya, adalah hak atas tanah dan sumber daya alam termasuk hutan, dan juga pengakuan dan penghormatan terhadap kemampuan masyarakat hukum adat itu, dalam mengatur hubungan sosial dan serta kemampuan dalam mengatur tata kelola tanah dan sumber daya alam termasuk hutan itu sendiri.

 

Secara internasional, hak-hak masyarakat adat, tertuang di dalam Deklarasi Hak-hak Masyarakat Adat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Nomor 61/295, tanggal 13 September 2007, di mana pada pasal 1 – 6, menegaskan, masyarakat adat berhak mempertahankan identitas budayanya, berhak mempertahankan tanah adatnya dan berhak menentukan sikap politiknya.

 

Pemerintahan Tuhan

Bangsa Indonesia, sekarang, memang dalam kondisi terjadinya pertarungan hebat antara dua peradaban yang saling bertolak belakang di dalam negeri. Karena itulah, pada dasarnya, kendala utama yang kita hadapi untuk menuju negara maju, ketika pertarungan peradaban di dalam negeri kita sendiri, tidak kita sadari.

 

Indonesia sekarang, memang sudah menempatkan diri sebagai pemerintahan Tuhan di alam nyata, sebagai konsekuensi logis Blok Barat (penganut ideologi liberalis – kapitalis dimotori Amerika Serikat) memenangkan pertarungan melawan Blok Timur (penganut sosialis – komunis dimotori Union of Soviet Socialist Republic, USSR, berintikan China), sebagai dampak Gerakan 30 September (G30S) 1965.

 

G30S 1965 merupakan kudeta Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad) Letnan Jenderal TNI Soeharto dibiayai Central Inteligence Agency Amerika Serikat (CIA AS) sebagaimana diungkap mantan diplomat senior Amerika Serikat, Peter Dale Scott (1998) dan peneliti Kanada, John Roosa (1998).

 

Prof Dr John Roosa, dari University of British Columbia (UBC), dalam bukunya, “Pretext for Mass Murder: The September 30th Movement and Suharto’s Coup d’État in Indonesia”, yang diterbitkan dalam bahasa Indonesia menjadi “Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto” (Jakarta: ISSI dan Hasta Mitra, 2007).

 

Peralihan kepemimpinan nasional dari Presiden Soekarno (17 Agustus  1945 – 12 Maret 1967) kepada Presiden Soeharto (1 Juli 1967 – 21 Mei 1998), memiliki implikasi buruk sangat serius di dalam pembangunan karakter dan jatidiri/identitas masyarakat.

 

Apabila di era Presiden Soekarno (17 Agustus 1945 – 12 Maret 1967), kekayaan dan keragaman budaya Indonesia dijadikan soft power kepada masyarakat internasional tentang karakter manusia Indonesia yang santun, ramah, gotong-royong, yang berakar pada budaya tradisi bangsa, tapi di era Presiden Soeharto (1 Juli 1967 – 21 Mei 1998) sampai 7 Nopember 2017, berubah total menjadi semangat anti-komunisme.

 

Semangat anti-komunisme seakan sudah sebagai pengganti ideologi Pancasila. Karena ‘Ideologi anti-komunisme’, dijadikan alat untuk memberangkus kelompok minoritas, serta sesamanya yang tidak memiliki visi dan misi yang sama dalam perjuangan.

 

Secara ideologi, ketika Presiden Soekarno (17 Agustus 1945 – 12 Maret 1967) menjadikan berkarakter dalam budaya sebagai salah satu pilar strategis dalam konsepsi Trisakti; berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi, berkarakter secara budaya.

 

Akan tetapi di era Presiden Soeharto (1 Juli 1967 – 21 Mei 1998) sampai 7 Nopember 2017, antar sesama anggota masyarakat terlalu mengedepankan kesalehan individu dengan menganggap hanya kelompoknya saja paling benar, serta pihak lain dilihat sebagai musuh.

 

Semangat kesalehan sosial, dengan menghargai dan menerima orang lain dalam semangat keberagaman budaya selama pemerintahan Presiden Soekarno (17 Agustus 1945 – 12 Maret 1967) menjadi hilang begitu saja, saat kepemimpinan nasonal beralih ke tangan Presiden Soeharto sebagai dampak G30S 1965 (Bandingkan, Eko Sulistyo: 2019) hingga 7 Nopember 2017, sehingga hampir semua pihak hanya mengedapankan kesalehan individu, menganggap diri dan kelompoknya saja paling benar.

 

Dampaknya masyarakat di Indonesia kehilangan panduan di dalam pembentukan karakter dan jatidiri/indentitas yang bersumber dari kebudayaan asli berbagai suku bangsa di Indonesia, dimana di dalam kebudayaan ada sistem religi (legenda suci, mitos suci, adat istiadat dan hukum adat), selama 50 tahun.

 

Periodisasi kehilangan panduan berkarakter dan berjatidiri/identitas selama 50 tahun, yaitu selama 31 tahun di era Presiden Soeharto (1 Juli 1967 – 21 Mei 1998) dan di era demokratisasi selama 19 tahun hingga 7 Nopember 2017, yaitu peristiwa keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Nomor 97-PUU-XIV/2016, tanggal 7 November 2017.

 

Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 97-PUU-XIV/2016, tanggal 7 November 2017, berupa pengakuan dan peneguhan terhadap aliran kepercayaan di Indonesia yang dimaknai pengakuan terhadap agama asli dari berbagai suku bangsa di Indonesia, bersumber doktrin atau berurat-berakar dari legenda suci, mitos suci, adat istiadat dan hukum adat.

 

Memang, di era Pemerintahan Presiden Soeharto (1 Juli 1967 – 21 Mei 1998), dalam membumikan Pancasila, ada Pedoman Penghayatan dan Pangamalan Pancasila (P4).

 

Tapi masalahnya sejak era Pemerintahan Presiden Soeharto hingga sebelum putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia tanggal 7 Nopember 2017, soal pedoman/panduan pembentukan karakter dan jatidiri/identitas Bangsa Indonesia di dalam mendukung pengalaman ideologi Pancasila, masih terus menjadi perdebatan panjang, karena harus dimulai dari mana.

 

Malah Presiden Soeharto, melakukan apa saja, demi mempertahankan kekuasaannya. Di antaranya memberhentikan Jenderal TNI A.H. Nasution sebagai Menteri Pertahanan dan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) tahun 1971, dalam usia 53 tahun.

 

A.H. Nasutiton mestinya pensiun pada usia 55 tahun, karena dinilai sebagai lawan politik potensial. Tapi belakangan, arah kebijakan Presiden Soeharto di dalam menafsirkan ideologi Pancasila hanya bertujuan untuk mempertahankan kekuasaan.

 

Jenderal A.H. Nasution mengumpulkan anggota Angkatan Bersenjata (ABRI) yang tidak puas dengan kepemimpinan Soeharto. Bersama dengan banyak nama kritikus terkenal terhadap pemerintah, mereka menandatangani Petisi 50, karena penandatangan berjumlah  50 orang.

 

Petisi 50 ditandatangani pada 5 Mei 1980 dan disampaikan ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada 13 Mei 1980. Petisi 50 menyerukan Soeharto berhenti menafsirkan Pancasila sesuai tujuannya sendiri (Bakri Tianlean: 1997). Selama berkuasa, Presiden Soeharto, hanya sebagai alat kepentingan Amerika Serikat (John Roosa: 2012).

 

Pemaksaan kebudayaan luar

Dalam perdebatan panjang, muncul keputusan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia, Amir Mahmud, tahun 1979, dengan menempatkan posisi Pemerintah Republik Indonesia sebagai pemerintahan Tuhan, dimana mewajibkan semua masyarakat mencantumkan nama agama di kolom dokumen Kartu Tanda Penduduk  (KTP) dan Kartu Keluarga (KK).

 

Bukti Indonesia sebagai pemerintahan Tuhan, karena Pemerintah Republik Indonesia, secara sepihak membuat sendiri kriteria sebuah agama, dengan ketentuan sudah disepakati terlebih dahulu nama agamanya, nama kitab sucinya dan nama tempat ibadatnya.

 

Kebijakan ini, malah menguntungkan keberadaan agama samawi yang bukan lahir dari kebudayaan asli berbagai Suku Bangsa di Indonesia, karena jaringan infrastrukturnya sudah mapan.

 

Sementara agama asli berbagai suku bangsa di Indonesia, secara sepihak tidak diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia sebagai agama, hanya lantaranya belum disepakati nama agamanya, nama kitab sucinya dan nama tempat ibadatnya.

 

Padahal doktrin agama asli berbagai suku bangsa di Indonesia, kaya akan substansi keharmonisan, perdamaian, cinta kasih, menghargai kemanusiaan, keberagaman,  keseimbangan hidup dengan alam, mengutamakan kearifan, kebijaksanaan, toleransi dan sejenisnya (Semuel S. Lusi: 2016).

 

Dampak kebijakan sepihak Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia tahun 1979, membuat keberadaan agama asli dari berbagai suku bangsa di Indonesia, dituding secara sepihak bukan sebagai agama.

 

Jika tidak mencantumkan salah satu nama agama samawi di dalam kolom KTP, langsung dicap komunis. Ini kebijakan tidak masuk akal, aneh bin ajaib, karena Filsuf Thomas Aquinas, 1250 – 1274 dengan teologi naturalis alamiah atau teologi adikodrati, menegaskan, seseorang mengenal Tuhan dengan akal dan budinya.

 

Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, tanggal 7 Nopember 2017, sebetulnya pengabulan permohonan uji materi terkait aturan pengosongan kolom agama pada Kartu keluarga (KK) dan Kartu Tanda Penduduk (KTP).

 

Hal itu diatur dalam Pasal 61 Ayat (1) dan (2), serta Pasal 64 Ayat (1) dan (5) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan juncto Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013, tentang: Administrasi Kependudukan.

 

Akan tetapi, apabila dicermati keputusan Menteri Dalam Negeri, Amir Mahmud, tahun 1979 mewajibkan nama agama di kolom KTP dan diperkuat pelaksanaannya di dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013, tentang: Administrasi Kependudukan, adalah bentuk pemaksaan terhadap kebudayaan luar menjadi panduan pembentukan karakter dan jatidiri/identitas bangsa Indonesia.

 

Ini dalam kaitan ketentuan sepihak Pemerintah Republik Indonesia di dalam menentukan kriteria sebuah agama (Aju: 2020). Sementara agama adalah produk budaya (Semuel S Lusi: 2016).

 

Dampaknya membuat kalangan masyarakat di Indonesia, menjadi asing di tanah sendiri, karena harus menerima kebudayaan luar yang dalam kenyataannya seringkali bertolak belakang dengan kebudayaan dari berbagai suku bangsa di Indonesia (Bandingkan, Bisnis.com, Selasa, 4 April 2017).

 

Karena peradaban kebudayaan berbagai suku bangsa di Benua Asia, termasuk di Indonesia, menganut trilogi peradaban, yaitu hormat dan patuh kepada leluhur, hormat dan patuh kepada orangtua, serta hormat dan patuh kepada negara. Ini seringkali bertolak belakang dengan kebudayaan luar yang sebagiannya melahirkan agama samawi (Aju: 2020).

 

Sehubungan dengan itu, karena sebuah produksi konstitusi yang mengakui keberadaan aliran kepercayaan di Indonesia, pengakuan agama asli Bangsa Indonesia, maka putusan Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK-RI) Nomor 97-PUU-XIV/2016, tanggal 7 November 2017, dimaknai sebagai pengakuan dan peneguhan panduan pembentukan karakter dan jatidiri/identitas masyarakat di Indonesia, dalam kaitan agama adalah produk budaya.

 

Ini bentuk pengakuan dan peneguhan, sebagai acuan di dalam melakukan aktualisasi nilai-nilai universal di dalam kebudayaan asli dari berbagai suku bangsa di Indonesia.

 

Karena kemajuan sebuah suku bangsa di negara manapun di dunia, apabila ada panduan mengikat bagi masyarakatnya dalam pembentukan karakter dan jaditidiri/identitasnya bersumber pada sistem religi dari kebudayaan suku bangsa yang bersangkutan (Baca: Bisnis.com, Selasa, 4 April 2017).

 

Abaikan logika sosial

Suryatmoko (2009), mengakui, dewasa ini di Indonesia, struktur pemaknaan yang dominan di semua segi kehidupan adalah ekonomi. Padahal,  politik kebudayaan bisa melemahkan aspek eksploitatif hubungan produksi dan menolong menghadapi secara kritis determinisme ekonomi.

 

Masalahnya, persaingan sebagai pendorong efisiensi (logika ekonomi) mengabaikan logika sosial yang peduli keadilan dan solidaritas. Dua hal ini adalah faktor perekat rasa kebangsaan, lahan budaya perkembangan etos.

 

Rasa kebangsaan tumbuh berkat solidaritas, tetapi institusi-institusi sosial ternyata didikte kapitalisme baru yang mendorong ke individualisme. Kapital tak sabar mengubah semua  institusi agar bisa menarik pemodal. Perbaikan performance ekonomi  menuntut selalu ada inovasi.

 

Tuntutan ini menciptakan struktur kesibukan yang rentan konflik. Lalu, masyarakat hanya kenal satu pola hubungan, yaitu persaingan. Akibatnya, stres tinggi, gelisah, kolega dianggap pesaing. Maka, menurut Suryatmoko (2009), solidaritas masyarakat melemah.

 

Suryatmoko (2009) mengutip (L Bonet: 2007), mengatakan, ada empat alasan mengembangkan politik kebudayaan. Pertama, nilai strategis budaya sebagai penyebar standar simbolis dan komunikatif. Kedua, perlunya menempa identitas kolektif.

 

Ketiga, politik kebudayaan berdampak positif pada ekonomi dan sosial karena mengembangkan kreativitas. Keempat, perlu memelihara kekayaan kolektif (budaya, sejarah, tradisi, dan seni). Keempatnya mengandaikan penerimaan keragaman masyarakat.

 

Sehubungan dengan itu, di samping telah mencantumkan Nawa Cita di dalam visi dan misi Pemerintahan, 2014 – 2024, maka Presiden Indonesia, Joko Widodo, perlu menterjemahkan pembangunan politik kebudayaan melalui bahasa yang mudah dimengerti masyarakat.

 

Di sini peran Kantor Kementerian Komunikasi dan Informasi Republik Indonesia, sangat strategis. Tidak hanya bertugas memblokir berbagai situs porno saja, melainkan harus mampu jadi jurubicara di dalam penjabaran hingga ke hal-hal detil, rinci dan teknis atas realisasi pembangunan politik kebudayaan Pemerintah Indonesia.

 

Aju, adalah Wartawan di Pontianak, Biro Divisi Pelayanan, Data dan Informasi Dayak International Organization (DIO) dan Majelis Hakim Adat Dayak Nasional (MHADN). *