Menko Polhukam usai mengikuti Rapat Terbatas (Ratas), Selasa (19/5). (Foto: Humas/Oji)

Kegiatan Keagamaan Bersifat Masif, Dilarang dalam Permenkes 9/2020

Loading

JAKARTA (Independensi.com) – Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD, menyampaikan bahwa kegiatan keagamaan yang sifatnya masif termasuk dilarang oleh Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020, yaitu tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).

“Di tengah-tengah masyarakat ini sekarang timbul diskusi apakah salat Idulfitri itu boleh dilakukan atau akan dilakukan di masjid atau di lapangan secaraberjemaah/beramai-ramai seperti yang sudah-sudah sebelum misalnya kebiasaan adanya Covid-19,” ujar Menko Polhukam usai mengikuti Rapat Terbatas (Ratas), Selasa (19/5).

Kesimpulannya, Menko Polhukam sampaikan bahwa kegiatan keagamaan yang sifatnya masif, seperti salat berjemaah di masjid atau Salat Id di lapangan itu termasuk kegiatan yang dilarang oleh Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020, yaitu tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar.

“Juga dilarang oleh berbagai peraturan undang-undang yang lain, misalnya Undang-undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang karantina kewilayahan, yang dalam rangka memutus mata rantai penyebaran Covid-19 kegiatan keagamaan yang masif, yang menimbulkan/menghadirkan kumpulan orang banyak itu termasuk yang dilarang. Termasuk yang dibatasi oleh peraturan perundang-undangan,” jelas Menko Polhukam.

Oleh sebab itu, Menko Polhukam sampaikan bahwa Pemerintah meminta dengan sangat agar ketentuan tersebut tidak dilanggar.

“Pemerintah meminta dan mengajak tokoh-tokoh agama, ormas-ormas keagamaan, dan tokoh-tokoh masyarakat adat untuk meyakinkan masyarakat bahwa kerumunan salat berjemaah itu termasuk bagian yang dilarang oleh peraturan perundang-undangan,” ungkap Menko Polhukam.

Menurut Mahfud, bukan karena salatnya itu sendiri, tetapi karena itu merupakan bagian dari upaya menghindari bencana dan Covid-19 termasuk bencana non alam nasional yang berlaku berdasar keputusan Pemerintah.

Soal mudik lebaran, Menko Polhukam sampaikan bahwa larangan mudik tetap berlaku sampai saat ini dan tidak akan dicabut sampai waktu yang akan ditentukan kemudian.

“Oleh sebab itu, penegakan aturan ini supaya dikawal oleh Polri, TNI, Forkopimda bersama pemerintah daerahnya dan dengan kelengkapannya seperti Satpol PP dan lain-lain,” kata Menko Polhukam.

Ia juga menambahkan bahwa pemeriksaan di pintu-pintu keluar atau pintu masuk, di jalan-jalan tikus, atau di kendaraan-kendaraan besar yang menjadi tempat orang bersembunyi untuk mudik itu supaya dilakukan secara ketat dan di waktu-waktu yang biasanya dianggap petugasnya lengah.

“Misalnya di tengah malam itu biasanya orang menganggap petugas ngantuk, petugas tidak ada lalu menerobos begitu saja,” jelasnya.

Tidak Ada Open House

Sementara itu, Menko Polhukam juga jelaskan bahwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), dengan NU, dengan Muhammadiyah itu tidak ada perbedaan pandangan.

“Sama-sama di dalam seruan yang dikeluarkan Majelis Ulama Indonesia, NU, dan Muhammadiyah, itu isinya sama, agar orang salat di rumah karena bahaya yang ditimbulkan oleh kumpul-kumpul itu lebih menimbulkan mudarat daripada kita meraih yang sunah muakkad sekalipun,” jelasnya.

Oleh sebab itu, Menko Polhukam sampaikan sama isinya, yang disebarkan oleh Menteri Agama, MUI, NU, Muhammadiyah dan ormas-ormas lain itu.

“Bahkan ketiga ormas tersebut sudah mengatur juga ritualnya bagaimana caranya salat di rumah, itu sudah diatur disitu, misalnya jumlah jemaahnya berapa orang, salatnya, khotbahnya pendek, bahkan ada yang mengatakan kalau perlu tidak perlu khotbah, yang penting salatnya saja, itu sudah ada,” ungkapnya.

Mengwnai koordinasi dengan MUI, Menko Polhukam sampaikan Pemerintah mengeluarkan keputusan sesudah merujuk pada fatwa majelis ulama.

“Tetapi bedanya kalau majelis ulama itu sifatnya fatwa, kalau kita menekankan bahwa menurut undang-undang dan Permenkes yang sekarang berlaku terkait Covid-19 itu, beribadah secara berkelompok dalam jemaah besar itu termasuk yang dilarang, dalam rangka menjaga keselamatan dari penularan Covid-19,” ujarnya.

Diakui Menko Polhukam bahwa kalau ada, misalnya majelis ulama kecewa dengan apa yang terjadi itu pernyataan orang majelis ulama, bukan majelis ulama nya yang mengatakan misalnya kenapa masjid kok ditutup, mal-mal itu kok dibuka.

“Saya kira yang dibuka itu bukan melanggar hukum juga, karena memang ada 11 sektor tertentu yang oleh undang-undang boleh dibuka dengan protokol, tetapi yang melanggar seperti IKEA itu kan juga ditutup pada akhirnya, yang melanggar ya,” terangnya.

Misalnya, lanjut Menko Polhukam, bandara untuk mengangkut orang-orang karena tugas-tugas dan pekerjaan tertentu dengan syarat tertentu, itu dibuka begitu, gang melanggar ketentuan itu juga ditindak, yang tidak sesuai dengan aturan itu.

Strategi teknisnya penegakan protokol kesehatan, menurut Menko Polhukam dikawal dengan penegakan keamanan jadi ini protokol kesehatannya seperti ini yang diatur oleh WHO, diadopsi oleh peraturan perundang-undangan dan kebijakan pemerintah Indonesia.

“Nanti seperti yang berlangsung selama ini dikawal penegakannya oleh aparat keamanan, oleh penegak hukum, TNI juga, Satpol PP juga. Jadi strateginya penegakan protokol keamanan,” imbuhnya.

Kabinet, menurut Menko Polhukam, tidak pernah membicarakan soalopen house, oleh sebab itu ia sampaikan itu sudah menjadi bagian sendirinya.

“Anggota kabinet pasti tahu diri untuk tidak membukaopen house, enggak usah dibicarakan. Orang lain aja dilarang, masa anggota kabinet mau open house,” tambahnya.

Silaturahim, menurut Menko Polhukam, juga sangat dibatasi dengan keluarga inti saja mungkin, dan itu pun dari tempat yang karena ada di satu wilayah, itu pun sangat-sangat terbatas, tidak ada open house yang pernah dibicarakan.

“Penertiban arus mudik, pasar-pasar untuk persiapan lebaran juga sudah diantisipasi oleh aparat keamanan,” pungkas Menko Polhukam.