Dr Yulius Yohanes M.Si

DIO: Dayak Mesti Kembali ke Karakter Asia

Loading

JAKARTA (Independensi.com) – Sekretaris Jenderal Dayak International Organization (DIO) Dr Yulius Yohanes, M.Si, mengatakan, orang Dayak di Indonesia, Malaysia dan Brunei Darussalam, harus kembali ke karakter dan jatidiri sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat di Benua Asia.

Hal itu dikemukakan Yulius Yohanes, Minggu, 31 Mei 2020, menanggapi pemberitaan media massa berbasis di London, Inggris, The Guardian.com, Senin, 25 Mei 2020, berjudul: “European Union, Dawn of Asian century puts pressure on EU to choose sides”, says top diplomat”.

Saat bersamaan, Senin, 25 Mei 2020, Kantor Berita Nasional Federasi Rusia, berbasis di Moscow, Telegrafnoie Agentsvo Sovietskavo Soyusa (TASS) Russian News Agency, Senin, 25 Mei 2020, menurunkan berita berjudul: “World witnessing US century ceding to Asian one, says EU foreign policy chief”.

“Orang Dayak harus berhenti berkarakter dan berjatidiri kebarat-baratan, kearab-araban, keyahudi-yahudian, setelah memilih agama samawi atau agama impor lain sebagai sumber keyakinan imannya. Jadilah orang Dayak berkebudayaan Dayak, sebagai bagian tidak terpisahkan dari Benua Asia,” kata Yulius Yohanes.

Yulius Yohanes, Sekretaris Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Tanjungpura, Pontianak, Provinsi Kalimantan Barat, mengatakan, kebudayaan Barat yang mengedepankan rasionalitas, seringkali bertolak belakang dengan kebudayaan masyarakat dari berbagai suku dan bangsa di Benua Asia yang memiliki keterkaitan erat dengan budaya leluhur.

“Kalau pernyataan resmi Pejabat Uni Eropa melalui dua media terkemuka di Eropa, The Guardian.com dan TASS Russian News Agency, abad ke-21 menjadi era kebangkitan Asia, maka orang Dayak sebagaian bagian tidak terpisah dari masyarakat di Benua Asia, harus segera koreksi diri, untuk kembali kepada karakter dan jatidirinya,” ujar Yulius Yohanes.

Diungkapkan Yulius Yohanes, sebagaimana sudah dimasukkan ke dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Dayak Internasional Organization (DIO) dan Majelis Hakim Adat Dayak Nasional (MHADN), sebagai salah satu dari suku Bangsa di Benua Asia, seperti tiga negara manusi di dunia, yaitu China, Jepang dan Korea Selatan, maka orang Dayak menganut trilogi peradaban kebudayaan, yaitu hormat dan patuh kepada leluhur, hormat dan patuh kepada orangtua, serta hormat dan patuh kepada negara.

Trilogi peradaban kebudayaan Asia dimaksud, menurut Yulius Yohanes, membentuk karakter dan jatidiri manusia Dayak beradat, yaitu berdamai dan serasi dengan leluhur, berdamai dan serasi dengan alam semesta, berdamai dan serasi dengan sesama, serta berdamai dan serasi dengan negara.

Pembentuk karakter dari jatidiri manusia Dayak beradat, lahir dari sistem religi bersumber doktrin legenda suci Dayak, mitos suci Dayak, adat istiadat Dayak dan hukum adat Dayak dengan menempatkan hutan sebagai sumber dan simbol peradaban.

“Dalam pemahaman universal, di negara manapun di seluruh dunia, kunci kemajuan sebuah suku bangsa, apabila sistem religi dari suku bangsa yang bersangkutan, dijadikan filosofi di dalam etika berperilaku masyarakatnya, sementara agama yang dianut sebagai sumber keyakinan iman, sehingga keduanya harus dimaknai dalam konteks yang berbeda, agar tidak dituding mencampur-adukkan ajaran agama,” ujar Yulius Yohanes.

Yulius Yohanes, mengutip pernyataan Paus Fransiskus, Kepala Negara Vatican, sebagaimana dilansir Vaticannews.va, Senin, 17 Februari 2020. Paus Fransiskus mengutip kembali pernyataannya saat pidato pada Akademi Kepausan Kepausan pada Juni 2015, “Misi yang akan Anda laksanakan suatu hari nanti akan membawa Anda ke semua bagian dunia.”

“Eropa membutuhkan kebangkitan; Afrika haus akan rekonsiliasi; Amerika Latin haus akan makanan dan interioritas; Amerika Utara bertekad menemukan kembali akar identitas yang tidak didefinisikan dengan pengecualian; Asia dan Oseania ditantang oleh kapasitas untuk berfermentasi dalam diaspora dan untuk berdialog dengan luasnya budaya leluhur,” ujar Yulius Yohanes, mengutip pernyataan Paus Fransiskus, sebagaiman dilansir Vaticannews.va, Senin, 17 Februari 2020.

Diungkapkan Yulius Yohanes, sebagai bagian dari masyarakat di Benua Asia, kehidupan masyarakat Suku Dayak penuh dengan ritualiasi. Karena itulah, upacara syukuran selepas panen padi yang disebut Gawai di Provinsi Kalimantan Barat dan Sarawak, Pesta Kaamatan di Sabah, dan Isen Mulang di Provinsi Kalimantan Tengah, setara dengan Perayaan Natal di lingkungan Agama Katolik, Perayaan Idul Fitri di lingkungan Agama Islam.

Peradaban kebudayaan agraris masyarakat di Benua Asia, ternyata bisa menjadi negara maju di bidang ekonomi dan teknologi seperti China, Jepang dan Korea Selatan, setelah secara konsisten dilakukan akselerasi kapitalisasi modernisasi kebudayaan ke dalam pembangunan nasionalnya.

The Guardian.com dan TASS Russian News Agency, Senin, 25 Mei 2020, mengutip mengutip Perwakilan Tinggi Uni Eropa untuk Urusan Luar Negeri dan Kebijakan Keamanan, Josep Borrel, dimana sekarang dunia tengah menyaksikan kemunduran Amerika Serikat (AS) dan kebangkitan satu Asia.

Josep Borrel, Perwakilan Tinggi Uni Eropa untuk Urusan Luar Negeri dan Kebijakan Keamanan.

“Kita hidup di dunia tanpa pemimpin di mana Asia akan semakin penting – dalam hal ekonomi, keamanan dan teknologi. “Para analis telah lama berbicara tentang akhir dari sistem yang dipimpin Amerika Serikat dan kedatangan abad Asia. Ini sekarang terjadi di di depan mata kita,” kata Josep Borrel dalam konferensi video dengan kepala misi diplomatik di Jerman.

Meluasnya penyebaran Corona Virus Disease-19 (Covid-19) di Amerika Serikat dan sejumlah negara di Eropa, dapat dilihat sebagai semacam akselerator dari proses ini. Jika abad ke-21 berubah menjadi abad Asia, karena abad ke-20 adalah abad Amerika Serikat, Covid-19 dapat dikenang sebagai titik balik dari proses ini. “Permintaan untuk kerja sama multilateral tidak pernah lebih besar,” kata Josep Borrell.

Josep Borrel, mengatakan, “Tetapi pasokan masih tertinggal. Ini adalah krisis besar pertama dalam beberapa dekade dimana Amerika Serikat tidak memimpin respons internasional. Mungkin mereka tidak peduli, tetapi di mana-mana kita melihat meningkatnya persaingan, terutama antara Amerika Serikat dan China.”

Persaingan Amerika Serikat dan Cina juga memiliki pengaruh besar, seringkali melumpuhkan pada sistem multilateral: di Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Government-20 sebuah sebutan untuk 20 negara maju di dunia dimana sering disingkat G20, World Health Organization (WHO) dan di tempat lain ada lebih banyak ketidaksetujuan dan veto dan lebih sedikit perjanjian.

Terlepas dari itu, Covid-19 menunjukkan bahwa dunia menjadi lebih digital, tetapi juga lebih didorong oleh negara. Masalah siapa yang akan mengendalikan jaringan digital dan siapa yang akan menetapkan aturan dan standar akan muncula.

“Model globalisasi kami di bawah tekanan. Kami membutuhkan pendekatan yang lebih strategis untuk mengelola kerentanan dan ketergantungan,” ujar Josep Borrel, “Dan yang terakhir, risiko dunia menjadi kurang bebas, kurang sejahtera, lebih tidak setara, lebih terfragmentasi.”

The Guardian.com, mengatakan, langkah nyata Uni Eropa di dalam menghadapi ekspansi kekuatan ekonomi dan tekonologi China, selalu terhalang sikap Presiden Amerika Serikat, Donald John Trump.

Perubahan penting terjadi pada musim semi 2019 ketika, frustrasi dengan kesulitan mengakses pasar China dan khawatir dengan arahan nasionalis Presiden China, Xi Jinping, Uni Eropa menyebut China “saingan sistemik yang mempromosikan model pemerintahan alternatif” dalam sebuah makalah strategi penting.

Menurut The Guardian.com, Beijing sendiri ingin menghentikan kemerosotan hubungan, menyatakan tahun 2020 akan menjadi tahun Eropa dengan dua puncak besar dan banyak penandatanganan seremonial.

China juga terus mendekati Eropa timur dalam apa yang dikenal sebagai kelompok 17 + 1. Philippe Le Corre, seorang warga nonresiden di Carnegie Endowment for International Peace, mengatakan Covid-19 telah menjadi “game-changer” yang akhirnya mengubah persepsi orang Eropa tentang China.

“Diplomasi China menjadi bumerang. Itu tidak mengakui bantuan awal yang diberikan Eropa ke China, mungkin karena rezim merasa tidak nyaman oleh orang asing yang memberikan bantuan. Ada video palsu di Roma, dimana terlihat orang Italia menyanyikan lagu kebangsaan China. Itu sangat aneh,” kata Josep Borrel, Perwakilan Uni Eropa Bidang Luar Negeri kepada The Guardian.Com. (Aju)