Sultan Hamid II

Pahami Sultan Hamid II dan the Indonesian History Crimes Section

Loading

Oleh Aju

JAKARTA – Sultan Hamid II dan the Indonesian History Crimes Section (Sultan Hamid II dan Bagian Kejahatan Sejarah Indonesia), sebuah analogi di dalam mencermati perseteruan Presiden Indonesia, Soekarno (17 Agustus 1945 – 12 Maret 1967) dan Sultan Hamid II, Ketua Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB).

Kiprah keduanya harus dilihat secara berimbang sebagai perjalanan sejarah di Indonesia, dimana di dalam melihat titik masalahnya berdasarkan kebenaran formal (fakta hukum/fakta sejarah) dan kebenaran materiil (proses yang terjadi, serta kondisi politik internal, regional dan global pada saat itu).

Presiden Soekarno dilahirkan di Surabaya, 6 Juni 1901 dan meninggal dunia dalam usia 69 tahun di Jakarta, 21 Juni 1970. Sultan Hamid II dilahirkan di Pontianak, Provinsi Kalimantan Barat, 12 Juli 1913 dan meninggal dunia dalam usia 64 tahun di Jakarta, 30 Maret 1978.

Sultan Hamid II, adalah mendukung Republik Indonesia sebagai negara federal didasarkan hasil Perjanjian Meja Bundar di Denhaag, Belanda, 27 Desember 1949, dimana Indonesia diakui berbentuk Republik Indonesia Serikat (RIS) dengan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950.

Presiden Soekarno, mengharuskan Indonesia berbentuk negara kesatuan yang sekarang dikenal dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dengan ideologi Pancasila.

Dalam berbagai proses perundingan, Sultan Hamid II, disebut-sebut sebagai salah satu perancang Lambang Negara, Garuda Pancasila, dalam kapasitasnya sebagai Menteri Zonderfortofolio, mewakili Majelis Permusyawaratan Federal atau Bijeenkomst voor Federaal Overleg (BFO) adalah sebuah komite yang didirikan oleh Belanda untuk mengelola Republik Indonesia Serikat selama Revolusi Nasional.

Dalam perancangan Lambang Negara, Garuda Pancasila, maka tiga tokoh masyarakat Suku Dayak dari Provinsi Kalimantan Barat, yaitu Panglima Burung, Masuka Djanting Baroamas dan Johanes Chrisostomus Oevaang Oeray, masuk di dalam Tim Sultan Hamid II, memberikan masukan selama merancang Lambang Negara, Garuda Pancasila.

Masuka Djanting, anggota Dewan Pemerintahan Peralihan Kalimantan Barat berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri, Nomor 17 Tahun 1956, tanggal 28 Agustus 1956. Johanes Chrisostomus Oevaang Oeray, anggota Badan Pemerintahan Harian Daerah Istimewa Kalimantan Barat (BPH DIKB), 1946 – 1949, anggota Badan Konstituante, 1956 – 1959 dan Gubernur Kalimantan Barat, 1960 – 1966.

Panglima Burung, salah satu tokoh sentral Perang Majang Desa, antara orang Dayak dengan Jepang di Meliau, Kabupaten Sanggau, Provinsi Kalimantan Barat, 1944 – 1945.

Hal itu terungkap di dalam surat Sultan Hamid II kepada Solichin Salam, Wartawan Harian Pagi Berita Buana, Jakarta, 15 April 1967.

“Walaupun demikian, saja djuga meminta anggota dalam Panitia Lambang Negara untuk menjumbangkan pemikiran jang berhubungan dengan simbol-simbol ide Pantja-Sila, seperti pesan Paduka Jang Mulia Presiden Soekarno, ada jang menjarankan simbol keras, banteng, padi kapas, kemudian saja menambahkan Nur Tjahaja berbentuk bintang persegi lima atas masukan M. Natsir sebagai simbol ke-satu Pantja-Sila, djuga masukan dari R.M. Ng. Purbatjaraka, jakni Pohon Astana jang menurut keterangannya pohon besar sejenis pohon beringin jang hidup di depan Istana sebgai lambang pengajoman dan perlindungan untuk melambangkankan sila ke-tiga, karena menurut beliau Pohon Astana memaknai simbol menjatunja rakyat dengan istana itulah djuga hakekat Negara RIS jang sebagian besar ketika itu didirikan di luar di luar Negara Proklamasi RI, 17 Agustus 1945.”

“Oleh keradjaan-keradjaan dan simbol selanjutnya tali rantai bermata bulatan melambangkan perempuan dan bermata persegi melambangkan laki-laki jang sambung menjambung berjumlah 17 sebagai simbol regenerasi jang terus menerus. Mengenai simbol ini inspirasinya saja ambil dari tanah Kalimantan, jakni kalung dari Suku Dayak, demikian djuga untuk perisainja, setelah bertukar pikiran dengan para Panglima Suku Dayak di Hotel Des Indes, awal Februari 1950 jang saja ajak ke Djakarta ketika itu”.

“Salah satunya Panglima Burung, Masuka Djanting, J.C. Oevaang Oeray, sahabat saja di Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB), lambang lain kepala banteng, sebagai sila keempat ini, sumbangan sebagai lambang dasar kerakjatan/tenaga rakjat padi-kapas lambang sila-kelima sumbangan dari Ki Hadjar Dewantara sebagai perlambang ketersediaan sandang dan papan/simbol tudjuan kemakmuran, semua itu saja bitjarakan di Hotel Des Indes yang merupakan tempat saja membuat gambar lambang negara sekaligus saja tinggal sementara di Djakarta sebagai Menteri Negara RIS sampai dengan 5 April 1950, saja ditangkap atas Perintah Jaksa Agung jang akhirnja saja ‘terseok’ dalam perdjalanan sedjarah sebagai anak bangsa. Itu mungkin tjiptaan saja terpendam mudah-mudahan pendjelasan kepada Saudara Salam, mendjadi terang adanja,” tulis Sultan Hamid II dalam suratnya kepada Solichin Salam, Wartawan Berita Buana, di Jakarta, 15 April 1967.

Sultan Hamid II, alumni Akademi Militer Belanda, Koninklijk Militaire Academie (KMA) Breda, Belanda, dengan pangkat terakhir mayor jenderal, berpegang kepada tujuan utama Belanda kembali masuk ke Indonesia, pasca Jepang menyerah kepada Sekutu di bawah kendali Amerika Serikat dalam Perang Dunia II, 1941 – 1945.

Kehadiran NICA

Jepang menandatangani menyerah tanpa syarat kepada Sekutu, 2 September 1945, bersamaan terus menguatnya desakan dunia internasional, agar bekas koloni dari berbagai negara, supaya dimerdekakan (Ide Anak Agung Gde Agung: 1983).

Tapi bekas koloni Hindia Belanda di Nusantara, sudah memerdekakan diri pada 17 Agustus 1945, melalui corong radio oleh Proklamator Soekarno – Muhammad Hatta, dimana kemudian Soekarno menjadi Presiden pertama dan Muhammad Hatta menjadi Wakil Presiden pertama di dalam sejarah ketatanegaraan di Indonesia.

Kendati Indonesia sudah memerdekaan diri, Belanda diwajibkan dunia internasional untuk bertanggungjawab di dalam proses mempersiapkan sebuah negara di Indonesia. Maka kedatangan Belanda ke Indonesia, pasca Jepang menyerah kepada Sekutur, 2 September 1945, disebut dengan Nederlandsch Indië Civiele Administratie atau Netherlands-Indies Civiele Administration, NICA (Ide Anak Agung Ge Agung: 1983; Aju: 2018).

Belanda kembali ke Indonesia pasca kemerdekaan Indonesia, dalam bentuk NICA, bukan bertujuan menjajah kembali Indonesia, melainkan semata-mata mematuhi desakan dunia internasional, agar Belanda bertanggungjawab terhadap kehidupan kenegaraan di wilayah bekas koloninya itu (Aju: 2018).

Presiden Soekarno (kiri) dan Sultan Hamid II (kanan)

Dalam buku sejarah di Indonesia, disebutkan selama kehadiran NICA ada dua kali diklaim melakukan agresi militer Belanda di Indonesia, semata-mata sebagai aksi balasan dari Belanda terhadap berbagai serangan sporadis dilakukan para pejuang kemerdekaan Indonesia bentukan Presiden Soekarno, melalui operasi intelijen Letkol Zulkifli Lubis dibiayai Jepang (Moeljanto: 1988; Aju: 2018).

Pihak Belanda melalui NICA, kemudian mengeluhkan, selama proses mempersiapkan kemerdekaan Indonesia dalam bentuk negara federal, para pejuang Indonesia, sibuk melobi sejumlah negara untuk mendapatkan pengakuan kemerdekaan (1988).

Sebagai salah satu negara Sekutu di bawah kendali Amerika Serikat, maka Belanda, menginginkan sebuah sistem pemerintahan yang relevan di Indonesia, yaitu berbentuk federal, dimana Indonesia menjadi beberapa negara bagian (Ide Anak Agung Gde Agung: 1983; Moeljanto: 1988; Aju: 2018).

Maka Wakil Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Hubertus van Mook mengadakan Konferensi Malino di Kelurahan Malino, Kecamatan Tinggimoncong, Kabupaten Gowa, Provinsi Sulawesi Selata, 15 – 25 Juli 1946, sebagai pemantapan Indonesia berbentuk negara federal yang ditindaklanjuti pertemuan di sejumlah tempat di kemudian hari.

Dalam proses pertarungan Indonesia berbentuk negara federal dengan Indonesia berbentuk negara kesatuan, maka muncul insiden penyerangan Pasukan Kapten Pierre Raymond Westerling dari Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) terhadap Sidang Kabinet Republik Indonesia Serikat (RIS) di Pejambon, Jakarta, 24 Januari 1950.

Dalam penyerangan, Menteri Pertahanan Sultan Hamengkubuwono IX, mengalami luka di bagian kaki. Sementara dalam proses penyelidikan, Menteri Zondertortofolio, Sultan Hamid II disebut-sebut berada di balik penyerangan, sebagai bentuk ketidakpuasan terhadap susunan Kabinet RIS, karena hanya diberi kursi kabinet yang tidak memiliki tugas khusus, selain mempersiapkan ruangan sidang dan merancang Lambang Negara, Garuda Pancasila (Aju: 2018).

Maka pada 5 April 1950, Sultan Hamid II, ditangkap di Hotel Des Indes, Jakarta, dan tiga tahun kemudian diseret ke pengadilan. Pledoi dibacakan pada 23 Maret 1953 dalam persidangan di Jakarta, Sultan Hamid II, mengatakan, “Dalam keadaan yang demikianlah saya menyatakan kesanggupan saya kepada Westerling untuk memegang opercomando, apabila Westerling memenuhi syarat-syarat sebagai yang telah saya uraikan di atas”.

“Dengan pikiran yang tak dapat dipandang rasional pula saya memerintahkan penyerbuan sidang Dewan Menteri dan Pembunuhan tiga Pejabat Tinggi itu. Percayalah bahwa pikiran penyerbuan itu timbul pada ketika pembicaraan patdengan Westerling 24 Januari 1950 siang. Sebelumnya sama sekali tak ada maksud untuk melakukan penyerbuan itu. Kebenaran keterangan saya ini dapat dinyatakan dengan tiadanya persiapan sama sekali untuk melakukannya, sebagai juga diterangkan oleh saksi Najoan.”

“Akan tetapi syukurlah alhamdullilah, serentak saya agak tenang, ialah sesuah mandi insyaflah saya akan perbuatan saya yang tidak patut itu. Maka oleh karena itu saya mengambil putusan untuk mengambil tindakan-tindakan yang perlu guna menjaga dengan sampai perintah saya itu dijalankan.”

“Tindakan-tindakan apa yang akan saya ambil itu telah diuraikan dalam Sidang Mahkamah Agung. Berhubung dengan itu, di dalam sidang-sidang Mahkamah Agung tak pernah saya merasa gelisah (“van mijn stuk gebracht) kecuali waktu saksi Mr Wahab Sekretaris Dewan Menteri didengar sebagai saksi mengenai waktu berakhirnya sidang Kabinet pada tanggal 24 Januari 1950.” (Persadja: 1953).

“Di sini saya menyatakan dengan tegas, bahwa saya mengenal Mr Wahab sebagai orang yang jujur dan integre. Dari sebab itu saya yakin, bahwa keterangan beliau yang bertentangan dengan keterangan saya itu diberikan dengan kejujuran yang mutlak (“absoluut ter goeder trouw).”

“Mengenai soal waktu berakhirnya sidang Kabinet tadi selanjutnya saya serahkan kepada pembela saya untuk mengupasnya. Saya hanya mau menyatakan, bahwa hingga kini saya berkeyakinan, bahwa sidang itu telah berakhir sebelum jam 19.00.”

“Sdr Ketua … Meskipun atas perintah saya tadi tak terjadi apa-apa, sekalipun secara yuridis tak berasa salah, akan tetapi secara moral dosa saya itu saya rasakan seberat-beratnya Seumur hidup tak akan saya lupakan.”

“Sdr Ketua … Dengan penuh perhatian saya telah mendengarkan uraian Jaksa Agung di dalam requwsitornya. Saya maklum benar-benar, bahwa kedudukan Jaksa Agung dalam perkara ini saya ini agak sulit …. (Persadja: 1953).

Pada 8 April 1953, Sultan Hamid II divonis 10 tahun penjara dan baru keluar tahun 1958. Tapi Sultan Hamid II, kemudian berurusan lagi dengan hukum. Pada tanggal 18 Agustus 1961, Raja Gianjar, Anak Agung Nugrah Agung, ayah kandung dari Ide Anak Agung Gde Agung, mangkat dan akan digelar Upacara Ngaben (pembakaran jenazah) di Gianyar, Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali. Ide Anak Agung Gde, mengundang sejumlah temannya, Sutan Sjahrir, Mohammad Hatta, Mohammad Roem, Subadio dan Sultan Hamid II, bersama undangan lainnya.

Beberapa hari kemudian, Kepala Badan Pusat Intelijen, Soebandrio, membuat laporan rahasia kepada Presiden Soekarno bahwa di Ubud, Gianyar, Bali, ada komplotan yang berkonspirasi membicarakan tindakan subversif terhadap negara.

Presiden Soekarno segera menerima laporan itu dan memerintahkan diadakan penyelidikan. Ide Anak Agung Gde Agung yang semula hanya mengundang teman sejawat, dan tidak mengundang Presiden Soekarno segera menyadari dan mengirimkan undangan tambahan kepada Presiden Soekarno.

Akan tetapi, Presiden Soekarno, menurut keyakinan Ide Anak Agung Gde Agung, sudah merasa kecewa dan menolak untuk datang pada acara ngaben. Sultan Hamid II kembali ditangkap tanpa proses peradilan, dan baru menghirup udara bebas, setelah Presiden Soekarno meletakkan jabatan pada 12 Maret 1967.

RIS dibubarkan Soekarno

Republik Indonesia Serikat (RIS), tidak berumur panjang. Usia RIS tidak lebih dari enam minggu (Januari – Februari 1950), karena setelah itu selalu didemonstrasi dan perlawanan bersenjata para pejuang bentukan Presiden Soekarno, melalui operasi intelijen Letnan Kolonel Zulkifli Lubis dibiayai Jepang (Moeljanto: 1988; Aju: 2018).

Pasca penangkapan Sultan Hamid II di Jakarta, 5 April 1950, Pemerintahan Belanda, sudah tidak lagi campur terlalu jauh tentang sistem pemerintahan di Indonesia. Keinginan Belanda menjadikan Indonesia berbentuk negara federal, selalu mendapat perlawanan bersenjata yang kemudian di dalam sejarah di Indonesia diklaim sebagai perang kemerdekaan.

Penangkapan Sultan Hamid II di Jakarta, 5 April 1950, simbol keruntuhan RIS. Belanda seakan tidak peduli lagi. Dalam kondisi ini, maka pada 17 Agustus 1950 (berarti empat bulan setelah penangkapan Sultan Hamid II), Presiden Soekarno, melalui corong Radio Republik Indonesia (RRI) secara sepihak membubarkan RIS dan Indonesia dinyatakan kembali menjadii negara kesatuan (Aju: 2018).

Untuk mempersiapkan Indonesia sebagai negara kesatuan, maka pasca Pemilihan Umum (Pemilu) 1955, Presiden Soekarno membentuk Badan Konstituante, dengan tugas menyiapkan Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Karena beberapa kali menggelar pertemuan, Badan Konstituante tidak memenuhi suara bulat di dalam menentukan dasar negara, maka pada 5 Juli 1959, Presiden Republik Indonesia, Indonesia, mkengumumkan Dekrit Preden, yaitu kembali kepada Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

Tidak ditemukan kata sepakat di dalam mementukan undang-undang dasar di Indonesia, karena terjadinya tiga pertarungan kepentingan, yaitu nasionalis, komunis dan Islam. Dalam takaran tertentu, Partai Komunis Indonesia (PKI) mendompleng kelompok nasionalis, sehingga membuat Presiden Soekarno seringkali merasa risih sehingga secara bulat menerbitkan Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959, untuk kembali kepada UUD 1945 (Aju: 2018).

Jatidiri bangsa hilang

Dalam sejarah pula terungkap, selama menjadi Presiden di Indonesia selama hampir 22 tahun (17 Agustus 1945 – 12 Maret 1967), Ir Soekarno, tidak luput dari perongrongan pihak luar, terutama dari kelompok Amerika Serikat dan Sekutu-nya yang masuk di dalam penganut ideologi global, yaitu ideologi liberalis kapitalis.

Dalam banyak dokumen, terbukti pemberontakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera, pemberontakan Persatuan Rakyat Semesta (Permesta) di Sulawesi, Darul Islam Indonesia (DII), Tentara Islam Indonesia (TII) di Jawa dan Kalimantn Selatan, dibiayai Central Inteligence Agency Amerika Serikat (CIA AS).

Bahkan Sabah dan Sarawak di Pulau Borneo, dijadikan base camp oleh Amerika Serikat dan Inggris di dalam mensuplai kebutuhan logistik bagi para pemberontak PRRI, Permesta, DII, dan TII di Indonesia (A.M. Hendropriyono: 2013).

CIA AS berhasil menumbangkan Presiden Soekarno melalui Gerakan 30 September (G30S) 1965 di Jakarta, dengan membiayai kudeta yang dilakukan Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad) Letnan Jenderal TNI Soeharto (John Roosa: 2007). G30S 1965, bukti kemenangan ideologi liberalis kapitalis melawan ideologi sosialis komunis di Indonesia.

Soeharto menjadi Presiden Indonesia selama 31 tahun (1 Juli 1967 – 21 Mei 1998), membuat situasi berubah drastis. Jatidi bangsa Indonesia berideologi Pancasila, dimana harus mencintai kebudayaan asli dari berbagai suku bangsa di Indonesia, berubah total menjadi semangat anti komunisme.

Demi mencari muka kepada Amerika Serikat, Presiden Soeharto, didukung Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI –AD), dengan memperalat sejumlah organisasi keagamaan, melakukan pembunuhan massal terhadap sejumlah pihak yang mencapai jutaan orang yang dituduh sepihak terlibat Partai Komunis Indonesia (PKI), 1965 – 1966 (John Roosa: 2007, 2012, 2020).

Pengusiran dan pembunuhan massal ribuan etnis Tionghoa dari pedalaman dan perbatasan Provinsi Kalimantan Barat, September – Desember 1967, dengan memperalatan Suku Dayak, dalam rangkaian operasi penumpasan Pasukan Gerilya Rakyat Sarawak/Pasukan Rakyat Kalimantan Utara (PGRS/Paraku), 1966 – 1974, bukti lain sebagai upaya Presiden Soeharto mencari muka kepada Amerika Serikat (Aju: 2017).

Indonesia baru bisa kembali kepada karakter dan jatidiri, setelah diterbitkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017, tanggal 24 Mei 2017, tentang Pemajuan Kebudayaan, dan kemudian terbit keputusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, tanggal 7 Nopember 2017, tentang pengakuan aliran kepercayaan, dimana dimaknai pula pengakuan terhadap agama asli berbagai suku bangsa di Indonesia, dengan sumber doktrin legenda suci, mitos suci, adat istiadat dan hukum adat berbagai suku bangsa asli Indonesia.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017, tentang Pemajuan Kebudayaan dan putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 7 Nopember 2017, sebagai panduan bangsa warga negara Indonesia di dalam mengamalkan ideologi Pancasila, karena ideologi Pancasila disarikan dari kebudayaan berbagai suku bangsa di Indonesia.

Sebelum terbitnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 dan putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 7 Nopember 2017, Kantor Kementerian Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menggelar seminar di Kantor Kementerian Bappenas di Jakarta, Selasa, 4 April 2017.

Dalam seminar disebutkan, mengingat kemajuan signifikan China, Jepang dan Korea Selatan, sebagai simbol kemajuan ekonomi dan teknologi inovasi, dan kebangkitan Benua Asia pada abad ke-21 mengalahkan hegemoni Amerika Serikat pada abad ke-20, karena tiga negara ini secara konsisten melakukan akselerasi kapitalisasi modernisasi budaya di dalam pembangunan nasional.

Kantor Kementerian Bappenas di dalam seminar di Jakarta, Selasa, 4 April 2017, menegaskan, pembangunan di Indonesia di masa mendatang, harus melalui akselerasi kapitalisasi modernisasi berbagai kebudayaan asli di Indonesia di dalam penjabaran pembangunan nasional (Bisnis.com, Selasa, 4 April 2017).

Pengakuan Uni Eropa

Senin, 25 Mei 2020, Kantor Berita Nasional Federasi Rusia, berbasis di Moscow, Telegrafnoie Agentsvo Sovietskavo Soyusa (TASS) Russian News Agency, dengan judul: World witnessing US century ceding to Asian one, says EU foreign policy chief, dan The Guardian.com, berbasis di London Inggris, dengan judul: European Union, Dawn of Asian century puts pressure on EU to choose sides, says top diplomat, mengutip pernyataan Perwakilan Tinggi Uni Eropa untuk Urusan Luar Negeri dan Kebijakan Keamanan, Josep Borrel, dimana sekarang dunia tengah menyaksikan kemunduran Amerika Serikat (AS) dan kebangkitan satu Asia.

“Kita hidup di dunia tanpa pemimpin di mana Asia akan semakin penting – dalam hal ekonomi, keamanan dan teknologi. “Para analis telah lama berbicara tentang akhir dari sistem yang dipimpin Amerika Serikat dan kedatangan abad Asia. Ini sekarang terjadi di depan mata kita,” kata Josep Borrel dalam konferensi video dengan kepala misi diplomatik di Jerman.

Meluasnya penyebaran Corona Virus Disease-19 (Covid-19) di Amerika Serikat dan sejumlah negara di Eropa, dapat dilihat sebagai semacam akselerator dari proses ini. Jika abad ke-21 berubah menjadi abad Asia, karena abad ke-20 adalah abad Amerika Serikat, Covid-19 dapat dikenang sebagai titik balik dari proses ini. “Permintaan untuk kerja sama multilateral tidak pernah lebih besar,” kata Josep Borrell.

Josep Borrel, mengatakan, “Tetapi pasokan masih tertinggal. Ini adalah krisis besar pertama dalam beberapa dekade dimana Amerika Serikat tidak memimpin respons internasional. Mungkin mereka tidak peduli, tetapi di mana-mana kita melihat meningkatnya persaingan, terutama antara Amerika Serikat dan China.”

Persaingan Amerika Serikat dan Cina juga memiliki pengaruh besar, seringkali melumpuhkan pada sistem multilateral: di Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Government-20 sebuah sebutan untuk 20 negara maju di dunia dimana sering disingkat G20, World Health Organization (WHO) dan di tempat lain ada lebih banyak ketidaksetujuan dan veto dan lebih sedikit perjanjian.

Terlepas dari itu, Covid-19 menunjukkan bahwa dunia menjadi lebih digital, tetapi juga lebih didorong oleh negara. Masalah siapa yang akan mengendalikan jaringan digital dan siapa yang akan menetapkan aturan dan standar.

“Model globalisasi kami di bawah tekanan. Kami membutuhkan pendekatan yang lebih strategis untuk mengelola kerentanan dan ketergantungan,” ujar Josep Borrel, “Dan yang terakhir, risiko dunia menjadi kurang bebas, kurang sejahtera, lebih tidak setara, lebih terfragmentasi.”

Kebangkitan Asia di abad ke-21, menurut Uni Eropa, adalah China, Jepang dan Korea Selatan. Bagi tiga negara, ini sistem religi dalam kebudayaan berbagai suku bangsanya dijadikan filosofi etika berperilaku, melalui akselerasi kapitalitasi modernisadi budaya di dalam pembangunan nasionalnya (Bisnis.com, Selasa, 4 April 2017).

Kejahatan sejarah

Kendati Indonesia, sudah resmi kembali kepada karakter dan jadiri, melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017, di dalam pengamalan ideologi Pancasila, karena Pancasila disarikan dari kebudayaan asli berbagai suku bangsa di Indonesia, tapi konstitusi di Indonesia, sampai sekarang tidak sinkron yang bisa dikategorikan sebagai praktik kejahatan sejarah.

Malah pembentukan 4 provinsi di Kalimantan (Provinsi Kalimantan Barat, Provinsi Kalimantan Tengah, Provinsi Kalimantan Timur dan Provinsi Kalimantan Selatan), bagain dari kejahatan sejarah (Crime Section of Indonesian History), dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.

Karena empat provinsi dimaksud, masih berstatus Negara Bagian dari Republik Indonesia Serikat (RIS), lantaran dibentuk didasarkan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950, sebelum dikeluarkan Dekrit Presiden Soekarno, 5 Juli 1959.

Sementara pembentukan Provinsi Kalimantan Utara berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2012, tanggal 16 Nopember 2012, menjadi perdebatan panjang, karena Provinsi Kalimantan Utara pemekaran dari Provinsi Kalimantan Timur yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1959, tanggal 26 Juni 1959.

Indonesia mengalami dua kali perubahan undang-undang dasar, sebagai sumber hukum dalam mengarahkan kita kepada kehidupan yang tertib dan teratur untuk mencapai kesejahteraan, dengan menetapkan ideologi Pancasila sebagai filosofi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Periodisasi bentuk negara Indonesia yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdasarkan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, yaitu periode 17 Agustus 1945 sampai dengan 16 Agustus 1950, dan Republik Indonesia Serikat (RIS) dimana wilalayah Pemerintah Provinsi berstatus Negara Bagian berdasarkan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950 yaitu periode 17 Agustus 1950 sampai dengan 4 Juli 1959.

Bentuk negara Indonesia, kembali lagi dari bentuk Republik Indonesia Serikat (RIS) kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia, terhtung 5 Juli 1959 sampai sekarang, sebagai konsekeunsi logis dari Presiden Indonesia, Soekarno, mengeluarkan Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959.

Isi Dekrit Presiden Soekarno, 5 Juli 1959, adalah pembubaran Badan Konstituante hasil Pemilihan Umum (Pemilu) 1955, karena Badan Konstituante dinilai gagal mensepakati dasar negara, dan penggantian undang-undang dasar dari Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 17 Agustus 1950 kepada Undang-Undang Dasar (UUD) 17 Agustus 1945.

Konferensi Meja Bundar

Keberadaan Undang-Undang Dasar Sementara 17 Agustus 1950 (UUDS 1950) sebagai konsekuensi logis dari Kerajaan Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia berdasarkan Konferensi Meja Bundar di Denhaag, yaitu berbentuk Republik Indonesia Serikat (RIS) pada 27 Desember 1949.

Berdasarkan periodisasi di atas, maka 4 dari 5 pemerintahan provinsi di Kalimantan berstatus Negara Bagian dari Republik Indonesia Serikat, karena dibentuk berdasarkan undang-undang dasar sebelum Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959 (UUDS 1950), yaitu Provinsi Kalimantan Barat berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1956, tanggal 7 Desember 1956.

Kemudian, Provinsi Kalimantan Tengah berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1957, tanggal 10 Mei 1957; Provinsi Kalimantan Timur berdasarkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1959, tangal 26 Juni 1959; Provinsi Kalimantan Selatan berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1956, tanggal 29 Nopember 1956.

Sementara dalam kenyataanya, salah satu sumber hukum pembentukan produk Peraturan Daerah (Perda) dan Peraturan Gubernur (Pergub), tetap mengacu kepada undang-undang di dalam sistem Negara Bagian dari Republik Indonesia Serikat (RIS) sebagai payung hukum pembentukan empat provinsi yang bersangkutan di Kalimantan.

Status Negara Bagian dari sebuah provinsi di Indonesia, karena dibentuk didasarkan undang-undang sebelum Dekrit Presiden, 5 Juli 1959, diakui Gubernur Bali, I Wayan Koster.

Gubernur Bali, I Wayan Koster, tiba-tiba membuat geger kalangan politisi dan praktisi hukum, sehubungan manuver politiknya dalam rapat kerja dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), Jakarta, Jumat, 7 Februari 2020.

“Saya harap DPR RI segera membahas Rancangan Undang-Undang Provinsi Bali atau RUU Provinsi Bali, karena payung hukum undang-undang sebelumnya lemah, masih mengacu kepada Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950, tanggal 17 Agustus 1950,” ujar Wayan Koster.

“Jadi Undang-Undang Nomor 64 Tahun 1958, tanggal 11 Agustus 1958, tentang pembentukan Provinsi Bali, sudah tidak relevan. Saat itu, Republik Indonesia Serikat (RIS), misalnya nama kami masih Sunda Kecil dan Ibu Kotanya di Singaraja,” tambah Wayan Koster.

Menurut Wayan Koster, ”Ibu Kota Provinsi Bali sekarang adalah Denpasar. Sekarang kami kan NKRI, Bali bagian NKRI. Jadi kalau pakai Undang-Undang Nomor 64 Tahun 1950, Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT) kan Negara Bagian. Jadi Undang-undang ini harus diubah.”

Lucunya, menurut I Wayan Koster, selain tidak sesuai UUD 1945 dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), sejumlah produk hukum daerah seperti Peraturan Daerah dan Peraturan Gubernur Bali dalam konsiderannya masih mengacu pada Undang-Undang Nomor 64 Tahun 1958 yang sebetulnya sudah tidak berlaku.

Karena itu, wacana pemberlakukan Otonomi Khusus Kalimantan, memperteguh kembali status Negara Bagian dari Republik Indonesia Serikat, atas Provinsi Kalimantan Barat, Provinsi Kalimantan Timur, Provinsi Kalimantan Tengah, dan Provinsi Kalimantan (serta Provinsi Kalimantan Utara sebagai pemekaran dari Provinsi Kalimantan Timur).

Pasal 225 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang sudah diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014, tentang Pemerintahan Daerah, yang menyebutkan bahwa daerah-daerah yang memiliki status istimewa dan diberikan otonomi khusus, dalam kaitan Kalimantan berbatasan laut dan darat langsung dengan Federasi Malaysia dan Kerajaan Brunei Darussalam. **

Aju, Wartawan, dan Divisi Pelayanan Publik, Data dan Informasi Dayak International Organization (DIO) dan Majelis Hakim Adat Dayak Nasional (MHADN) di Pontianak.