Independensi.com – Buronan paling dicari Djoko Tjandra akhirnya ditangkap di Malaysia. Dengan tertangkapnya buronan Djoko Soegiarto Tjandra. ia akan menjalani hukumannya sesuai putusan Mahkamah Agung dan mempermudah untuk mengajukan Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung.
Sebelumnya, Djoko Tjandra adalah buronan yang melarikan diri untuk tidak menjalani hukuman dua tahun dan denda Rp 15 juta serta uang sebesar Rp 546 miliar dirampas untuk negara Juni 2009.
Sehari sebelum putusan MA, terpidana, melarikan diri ke Port Moreby, Papua Nugini dan tahun 2012 menjadi warga negara PNG, namun tidak melalui prosedur sesuai peraturan.
Djoko Tjandra masuk daftar pencarian orang (DPO) atau red notice Interpol tahun 2009, karena tidak ada permintaan perpanjangan dari Kejaksaan Agung RI setelah lima tahun otomatis terhapus dari layar monitor/catatan Imigrasi (tahun 2014), saat peralihan pemerintahan Soesilo Bambang Yudhoyono ke Presiden Joko Widodo.
Hubungan baik terpidana dengan oknum penegak hukum dan pemerintahan di Indonesia mempermudah dirinya memperdaya peraturan perundang-undangan mencari celah-celah hukum serta kelengahan aparat melalui kolega dan kuasa hukumnya masuk ke Indonesia
Tanpa tersendus penegak hukum dan intelijen dia keluar masuk ke Indonesia tanpa terdeteksi bahkan dia ditemui oknum Kejaksaan Agung di Kuala Lumpur dan sembilan kali ke luar negeri tanpa ijin atasan.
Terpidana yang telah memiliki kewarganegaraan PNG itu juga masih bisa memperoleh KTP dari Kelurahan Grogol Selatan, Jakarta Selatan; mengajukan PK ke Mahkamah Agung melalui Pengadilan Negeri Jakarta Selatan; membuat passport di Kantor Imigrasi Jakarta Utara.
Setelah terpidana kabur, Jaksa Agung baru “sadar”, Sanitiar Burhanuddin ketika Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi III DPR (29/6/2020) mengungkapkan kekesalannya , ternyata Djoko Tjandra sudah tiga bulan di Indonesia dan ia merasa sakit hati.
Belakangan diketahui terpidana meninggalkan Jakarta dikawal oknum pati Polri ke Pontianak dengan surat jalan sebagai konsultan Bareskrim dengan dibekali surat kesehatan dari Dinas Kesehatan Polri.
Kemudian bermunculan berbagai peristiwa dan dokumen yang diduga merusak tatanan hukum oleh berbagai pihak yang mengabdi untuk kepentingan hukum terpidana, seperti surat menyurat antar institusi, foto-foto kuasa hukumnya dengan Ketua MA, dengan oknum jaksa serta surat-surat yang dianggap palsu dari pejabat yang tidak berwenang.
Sidang PK di PN JakSel yang didaftarkan sendiri oleh terpidana, tidak dilanjutkan karena pemohon sebagai syarat utama tidak menghadiri sidang, berada di Malaysia dalam keadaan sakit, dan memohon sidang dilanjutkan dengan telekonprence.
Majelis hakim yang diketuai Nazar Effriandi SH tersebut meminta tanggapan Jaksa Penuntut Umum, dalam tanggapannya JPU meminta Majelis menolak permohonan PK terpidana dan menyatakan tidak dapat diterima serta berkas perkara tidak dilanjutkan ke MA. Sempat timbul keraguan, sebab Ketua Majelis mengatakan akan memutus sesuai undang-undang artinya bisa ditafsirkan berkas akan dikirim ke MA.
Namun Ketua PN Jaksel mengeluarkan penetapan tanggal 28 Juli 2020 bahwa permohonan PK terpidana Djoko Soegiarto Tjandra tidak dapat diterima dan berkas perkaranya tidak dilanjutkan ke MA.
Dengan tertangkapnya Djoko Tjandra, menjadi karpet merah memuluskan pengajukan PK sebab yang sebelumnya hanya tidak dapat diterima dan bukan ditolak sehingga memungkinkan diajukan kembali.
Menjadi penting peringatan Menkopolhukan Prof. Mahfud MD yang mengatakan: “Masyarakat yang harus memelototi pengadilan ini apakah begitu beraninya, begitu teganya, masih main-main dengan ini pengadilan ya, sudah ditangkap dengan begitu susahnya ya” (Kompastv Kamis, 30;7/2020).
Hal itu dikemukakan Mahfud mengantisipasi kemungkinan Djoko Tjandra mengajukan PK, setelah ia di Indonesia. Kekhawatiran akan integritas lembaga peradilan mencuat setelah beredarnya foto Ketua MA dan isteri dengan Kuasa Hukum Djoko Tjandra, Dr. Ir, Anita Dewi Anggraini Kolopaking SH MH dan suami yang menurut Humas MA Andi Samsan Nganro SH adalah dalam rangka silaturahmi pada saat lebaran Idul Fitri lalu.
Selama oknum-oknum penegak hukum bermain-main dengan tugas, fungsi dan tanggungjawabnya, kecurigaan masyarakat tidak akan hilang, kekhawatiran gurubesar dan Menkpolhukam Prof. Mahfud tersebut tidak berlebihan. Untuk itu penegak hukum Polri, Kejaksaan, Pengadilan dan Advokat harus dibenahi, agar semua memiliki integritas moral serta taat pada sumpah jabatannya. (Bch)