Imam Hidayat SH MH

Refleksi Penegakan Hukum Menjelang Hari Kemerdekaan RI Ke-75

Loading

Oleh : Imam Hidayat SH MH

Di masa Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-75 ini, Penegakan Hukum masih dirasa belum sepenuhnya maksimal. “Law inforcement” belum bisa direalisasikan dan diaplikasikan dalam praktek-praktek dengan baik, bahkan cenderung semakin ‘amburadul’ dalam penegakannya dan menimbulkan kegaduhan yang luar biasa di Negara Hukum (rechtstaat) ini.

Kita pahami bersama bahwa berjuang melawan para penjajah jauh lebih muda dari pada berjuang dalam menegakkan hukum pasca kemerdekaan yang ke-75 ini, karena yang kita hadapi adalah bangsa kita sendiri.  Yaitu para penegak hukum yang cenderung mengabaikan rasa keadilan (law by design) dan menggunakan instrument hukum sebagai alat kekuasaan, baik bagi penguasa atau bagi golongan-golongan masyarakat tertentu yang mempunyai kekuatan, baik finansial, jabatan, relasi, dan kekuatan lainnya.

Prihatin? Pasti. Melihat situasi yang terus terjadi dengan penegakan hukum akhir-akhir ini. Masih hangat dalam ingatan kita Kasus Djoko S. Tjandra, yang menampar muka kita semua sebagai bangsa yang mengklaim sebagai negara hukum, tetapi begitu rapuh menghadapi godaan seorang Djoko S. Tjandra. Bahkan didalamnya terlibat banyak para penegak hukum antara lain jaksa, advokat, dan polisi.

Belum hilang dalam ingatan kita kasus Setya Novanto dengan kasus bakpaonya atau kasus-kasus lain yang tidak jauh dalam penanganan menimbulkan kegelian kita semua.

Apa sebenarnya yang terjadi dengan bangsa ini setelah 75 Tahun Merdeka, tetapi belum sepenuhnya penegakan hukum mencerminkan “hukum sebagai panglima”? Pada kenyataannya hukum sebagai panglima tidak dapat dilaksanakan dan dirasakan dengan baik, bahkan justru disimpangi dan tidak sesuai dengan harapan “law for justice”.

Masih hanya dalam angan-angan persamaan hukum (equality before the law) bagi masyarakat kita semua, tercermin dengan masih adanya diskriminasi, kriminalisasi, obscur of justice, corruption of justice dan sebagainya. Ketahanan nasional kita rapuh, bisa dipermainkan oleh lurah, institusi Polri dengan pangkat Brigjen dan oknum Jaksa bergelar Doktor dan Advokat.

Tingginya pangkat dan gelar “ter” yang dimilikinya tidak memperkuat dan tidak menjamin ketahanan hukum kita lebih baik sebagai bangsa, artinya ada yang perlu diperbaiki.

Advokat sebagai guard of constitusion sekaligus memiliki peran yang sangat dominan mulai dari penyelidikan sampai dengan upaya hukum luar biasa Peninjauan Kembali (PK) untuk penegakan hukum yang “vital”, sudah seharusnya menjalankan profesi sesuai dengan Kode Etik Advokat Indonesia demi menjaga marwah profesi yang terhormat (officium nobile), tidak sekedar popularitas dan uang yang dikejar, tetapi melaksanakan penegakan hukum dan memperjuangkan keadilan bagi masyarakat pencari keadilan sesuai dengan tujuan utama profesi advokat ini ada.

Penulis adalah praktisi hukum dan Direktur di Law Firm & Legal Consultans Imam Hidayat & Partners