Firman Bintang: Alangkah Baiknya Pembukaan Gedung Bioskop Ditunda

Loading

JAKARTA (Independensi.com) – Rencana Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk membuka kembali gedung Bioskop mendapat tentangan dari banyak pihak. Kali ini tentangan itu justru datang dari pelaku industri Film itu sendiri.

H Firman Bintang, produser film yang juga wartawan senior saat menjadi narasumber diskusi daring yang mengusung tema “Saatnya Bangkit Bersama” yang digelar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI dan Komunitas Pewarta Hiburan Indonesia (KOPHI), Jakarta, Rabu (2/9/2020).

“Karena kondisi Wabah Pandemi Covid 19 belum reda dan masih zona merah. Alangkah baiknya kalau pembukaan gedung bioskop ditunda dulu. Ini demi kepentingan bersama” ujar Firman Bintang. Mantan ketua Persatuan Produser Film Indonesia (PPFI) ini menegaskan dampak pagebluk ini, sangat luar biasa sekali. Sangat besar. Tidak pernah terpikirkan sebelumnya.

Bukan hanya bagi pelaku Industri film saja, tapi seluruh pelaku Industri hiburan di Indonesia, juga dunia. Karena pagebluk Covid-19 tidak hanya membuat iklim dan ekosistem industri, teristimewa industri film Indonesia terpapar, tapi terkapar.

Karena sudah menjadi rahasia bersama, jauh sebelum Covid-19 datang, perfilman Indonesia kondisinya sudah seperti terdampak pandemi. Dengan beberapa alasan tertentu, seperti sistem tata edar perfilman nasional, yang ditimbang masih menjadi persoalan laten. Yang seperti tidak akan pernah selesai dalam waktu dekat.

Serta beberapa persoalan tak kalah penting lainnya. Seperti pajak tontonan, yang sayangnya tidak atau belum kembali ke ekosistem dunia perfilman peruntukannya. Serta pertanyaan turunannya, yang membuat industri perfilman Kita kalah jauh dengan ekosistem perindustrian di Korea Selatan, misalnya.

Yaitu persoalan strategi kebudayaan, yang belum menempatkan film pada tempat yang seharusnya. Pada persoalan tata edar misalnya. Sebagai produser film, persoalan laten ini menjadi batu sandungan terbesar yang sepertinya tidak atau sulit diselesaikan dalam waktu dekat ini.

Karena pemilik bioskop mempunyai kecenderungan bekerja sesuai seleranya sendiri. Yang berpunggungan atau bahkan berseberangan dengan selera pembuat dan pemilik film (produser). Dan biasanya, pemilik film akan kalah jika berhadapan dengan pemilik bioskop. Akibatnya, filmnya mendapatkan pembagian layar yang tidak Adil, atau bahkan tidak dapat ditayangkan sama sekali.

Meski sebenarnya UU menjamin, jika film telah mendapatkan Surat Tanda Lulus Sensor (STLS) dari Lembaga Sensor Film (LSF) dia (sebuah film) berhak ditayangkan di bioskop. Tapi apakah prakteknya semudah itu? Anda bisa menjawab sendiri.

Nah, saat ini, ketika bioskop ditutup atas nama menegakkan protokol kesehatan, cobaan produser film, juga pemilik bioskop, makin besar. Tapi ini semua sudah terjadi. Tidak Ada ruang lagi untuk meratapi.

Kita harus bergandengan bersama, dan saling membangkitkan, demi tetap bertahan di kondisi yang sangat tidak mudah ini. Sekaligus momentum Covid-19 ini jadikan cerminan, jangan sampai kita kehilangan semangat, sekaligus kreatifitas. Karena mata uang yang sebenarnya dalam industri ini adalah kreatifitas.

Sedangkan jualannya, saat sekarang tidak melulu via bioskop. Bisa lewat media baru lainnya. Dari streaming hingga TV langganan berbayar. Serta OTT (Over The Top). Atau media yang mengacu pada konten dalam bentuk audio, video, dll yang ditransmisikan via Internet tanpa mengharuskan pengguna untuk berlangganan layanan TV kabel atau satelit tradisional seperti Comcast.

Juga via, TV Everywhere atau Kita mengenalnya sebagai video-on-demand terautentikasi atau (streaming terautentikasi).