JAKARTA (Independensi.com) – Di awal abad ke-20, Suku Dayak Apo Kayan, mengharumkan nama Bangsa Indonesia dari aspek ilmu pengetahuan, melalui keterlibatan mereka di dalam Ekspedisi Anton Willem Nieuwenhuis di Kalimantan dan Ekspedisi Hendrikus Albertus Lorentz di Papua.
Dalam Ekspesidi Anton Willem Nieuwenhuis dan Ekspedisi Hendrikus Albertus Lorentz, diakui keterlibatan Suku Dayak Apo Kayan di dalam mendukung aktifitas di lapangan, memang sangat mengesankan, karena tingkat kemampuan orang Dayak di dalam mengenal hutan dan alam sekitar.
Hendrikus Albertus Lorentz (lahir di Oudewater, Netherlands, 18 September 1871- dan meninggal dunia dalam usia 72 tahun di Klerksdorp, Uni Afrika Selatan, 2 September 1944), adalah penjelajah Belanda di Papua dan Diplomat Belanda untuk Uni Afrika Selatan.
Lorentz ikut serta dalam 3 ekspedisi di Papua. Ekspedisi pertama dilaksanakan pada tahun 1903 dengan dipimpin oleh C.E.A. Wichmann. Lorentz memimpin ekspedisi ke-1 dan 2 berturut-turut pada tahun 1907, 1909 dan 1910.
Seusai penjelajahan di Papua, Lorentz menempuh karier diplomatik. Sebelum ditempatkan di Uni Afrika Selatan dan meninggal di sana, Hendrikus Albertus Lorentz pernah ditugaskan di Denmark.
Taman Nasional Lorentz dan Sungai Lorentz di Papua, sebagai bentuk penghargaan terhadap penjelajahannya yang sangat berharga, karena kemudian ditemukan lokasi tambang emas dan tembaga di Tembagapura, Kabupaten Mimika, Provinsi Papua.
Dr dr Anton Willem Nieuwenhuis (kelahiran Netherlands, 22 May 1864 dan meninggal dunia dalam usia 89 tahun pada 21 September 1953), adalah seorang dokter tentara Hindia Belanda yang menjabat sebagai Residen Sambas di Provinsi Kalimantan Barat.
Anton Willem Nieuwenhuis adalah seorang penjelajah yang melakukan perjalanan secara ekstensif di Kalimantan Tengah pada tahun 1890-an, mencatat informasi etnografi berharga tentang orang Dayak dan membuat koleksi biologi, melalui ekspedisi melibatkan Suku Dayak Apo Kayan dari Pontianak (Ibu Kota Provinsi Kalimantan Barat) – Samarinda (Ibu Kota Provinsi Kalimantan Timur).
Hasil ekspedisi Anton Willem Nieuwenhuis, menjadi rujukan pemahaman ilmuwan luar terhadap kekayaan hayati dan kebudayaan Suku Dayak di Kalimantan.
Jean Jacques Dozy, salah satu anggota Tim Ekspedisi Hendrikus Albertus Lorentz di Papua, menulis, “Hidup bersama orang Dayak ternyata sangat menyenangkan. Mereka adalah orang-orang baik, serta merupakan kawan yang menyenangkan dan yang paling penting, mereka sangat ahli tentang kehidupan di hutan.”
“Orang Eropa yang paling ahli belukar pun, tidak dapat menandingi (penciuman) hidung mereka.” (Bill Collier & Nurhadi Sabirin, 2011. Tembagapura: The Mining Community, The Uniqueness and Natural Beauty of Our Surroundings. Jakarta: Aksara Buana).
Rumpun Dayak Apo Kayan
Suku Dayak Apo Kayan, salah satu rumpun Suku Dayak yang tersebar di Negara Bagian Sarawak, Federasi Malaysia, Provinsi Kalimantan Timur dan Provinsi Kalimantan Barat.
Rumpun Suku Dayak Apo Kayan berawal dari pinggiran Sungai Kayan, Kabupaten Bulungan, Provinsi Kalimantan Utara.
Menurut legenda pada masyarakat Dayak Apo Kayan, orang Kayan merupakan cikal bakal dari semua suku-suku kecil Dayak yang berada di sepanjang Sungai Kayan.
Apo artinya dari. Apo bisa juga berarti bagian dari. Kayan, adalah nama jenis kayu. Pengertian kayu kayan adalah lihat kayan. Kesimpulan kayu kayan adalah lihat kayan. Kayu kayan berasal dari kata dasar kayu.
Terdapat kurang lebih 64.900 jiwa yang saat ini di rumpun Suku Dayak Apo Kayan.
Adapun Suku-Suku Dayak yang termasuk dalam rumpun Apo Kayan adalah: Dayak Kayan (10 anak suku), Dayak Kenyah (24 anak suku) dan Dayak Bahau (26 anak suku).
Tiga rumpun Suku Dayak Kayan masih lagi terpecah menjadi 60 sub-sub suku yang tersebar pada 60 lokasi pemukiman yang ada di Kalimantan dan menjadi sub-sub suku paling kecil (Sedatuk), yang masih memiliki silsilah secara keluarga.
Adapun sub suku-suku Dayak yang termasuk rumpun Apo Kayan adalah: terdapat kurang lebih 64.900 jiwa yang saat ini dirumpun suku dayak Apo Kayan.
Secara geografis Apo Kayan dapat juga diartikan sebagai dataran tinggi yang berada di perbatasan Provinsi Kalimantan Timur, Provinsi Kalimantan Utara dengan Negara Bagian Sarawak, Federasi Malaysia. Termasuk dalam Kecamatan Kayan Hulu, Kabupaten Malinau, Provinsi Kalimantan Utara.
Daerah ini memiliki ketinggian antara 450 sampai 1.700 meter di atas permukaan laut.
Keunikan masyarakat Suku Dayak Apo Kayan adalah, baik laki-laki maupun perempuan, memakai anting dan memiliki tato di kaki dan tangan. Menurut kepercayaan leluhur, anting menandakan perbedaan antara manusia dan binatang.
Sementara, tato menandakan perbedaan derajat hidup. Menurut mereka, semakin banyak guratan tato di tubuh, semakin tinggi tingkat sosial di masyarakat. Namun, saat ini, tradisi memakai anting dan tato mulai ditinggalkan oleh generasi muda Suku Apokayan. Pasalnya, mereka merasa malu berada di tengah kemajuan zaman jika menerapkan tradisi tersebut.
Rumpun Suku Dayak Kenyah mencakup 24 anak suk, meliputi Kenyah, Bauh, Payah, Uma Klap, Nyibung (Saban), Lepo Maut, Ma Long, Ma Alim, Lepo Ko, Ma Badang, Ulun Nerau, Ulun, Lepo Tau, Lepo Jalan, Lepo Bam, Lepo Tukung, Lepo Aga, Lepo Bakung, Baka, Lepo Lepo, Lepo Lisan, Lepo Kayan, Ngure/Urik, Lepo Kulit.
Rumpun Suku Dayak Kayan meliputi 10 sub suku, yaitu Uma Pliau, Uma Puh, Uma Samuka, Uma Naving, Uma Lasung, Uma Daru, Uma Paku, Uma Bawang, Uma Juman dan Uma Leken.
Rumpun Suku Dayak Bahau meliputi 26 sub suku, yaitu Saputan, Pnihing, Kayan, Long Glat, Ma Suling, Long Mai, Uma Lohat, Hwang Ana, Hwang Tring, Segai, Modang, Melarang, Ma Belur, Ma Lowang, Ma Aging, Ma Pagung, Ma Bau/Uban, Uvan Dali, Bahau, Uwang Hurai, Uvang Mekan, Uvang Boh, Uvang Sirap, Uma Mehak, Uma Teliba, Tunjung Linggal (Tjilik Riwut, 1979. Kalimantan Membangun. Jakarta: Jayakarta Agung Offset; Marcus AS, 1997. Kehidupan Suku Dayak Apokayan. Ambon: Lontar Patimura).
Ekspedisi Anton Willem Nieuwenhuis
Keterlibatan Suku Dayak Apo Kayan di dalam ekspedisi di Kalimantan pada tahun 1898. Anton Willem Nieuwenhuis, berangkat dari Pontianak, Ibu Kota Provinsi Kalimantan Barat, pada 24 Mei 1898 dengan tujuan pehuluan Sungai Kapuas, sungai terpanjang di Indonesia, di mana mereka tiba di Putussibau, Ibu Kota Kabupaten Kapuas Hulu, Juni 1898.
Tetapi karena orang Kayan di Mendalam di Kabupaten Kapuas Hulu, Provinsi Kalimantan Barat, sibuk dengan kegiatan-kegiatan pertanian mereka, ekspedisi baru dapat meninggalkan Putussibau 18 Agustus 1898, dengan 25 sampan bersama Ahkam Igau dan 110 orang, kebanyakan Orang Kayan dan beberapa Bukat, Beketan, serta Punan.
Pada 15 September 1898, rombongan tiba di Pangkalan Howong atau Huvung, titik tolak jalan setapak utara, dari Sungai Mecai, sebuah cabang Sungai Bungan, ke Sungai Huvung di Mahakam.
Di situ mereka kehabisan makanan. Sesudah melakukan pekerjaan topografi singkat di daerah perbatasan, rombongan menuju Desa Aoheng terdekat, di mana mereka tiba 24 September 1898.
Nieuwenhuis beserta rombongannya berdiam selama delapan bulan di wilayah Mahakam Hulu, mempelajari adat istiadat serta bahasa-bahasa penduduk setempat, fauna dan flora, serta mendaki gunung-gunung untuk disurvai. Hasilnya antara lain adalah peta daerah itu dan Kamus Busang-Belanda, karya Barth. Koleksi kerajinan rakyat juga dikumpulkan (Aju: 2015).
Akhirnya ekspedisi menghiliri Sungai Mahakam dan mencapai Samarinda, 9 Juni 1899. Barth beserta para pengawal, dan kedua kolektor tanaman, diberangkatkan lebih dulu ke Jawa. Contoh-contoh tanaman dikirim ke Buitenzorg, dan koleksi fauna ke museum di Leiden.
Tidak lama kemudian, 17 Juni 1899, Nieuwenhuis berangkat lagi menuju Desa Long Bluu, pemukiman Koeng Irang ditemani Bier, Demmeni, Doris, Midan, dan lima serdadu Melayu dan empat pembantu Melayu.
Dari situ Anton Willem Nieuwenhuis mengorganisir perjalanan survai ke sumber Mahakam dan ke Lasan Tuyan sebuah sela gunung di perbatasan Sarawak, mulai 30 September 1899. Dalam perjalanan pulang dari situ, salah satu sampan terbalik di tengah jeram, untung hanya mengakibatkan kerugian material.
Perjalanan Nieuwenhuis ke Apo Kayaan, yang telah dijadwalkan untuk 1900, ternyata merupakan usaha yang rumit dan berkepanjangan. Sebagai wakil pemerintah kolonial Belanda ia melakukan kunjungan resmi kepada Sultan Kutai, yang menyatakan berkeberatan tehadap bagian kedua itu dari ekspedisinya.
Dari Oktober 1899 sampai April 1900, Nieuwenhuis menantikan pembicaraan lanjutan dengan Kutai untuk mencapai hasil yang memuaskan, tetapi sultan bertekad untuk memanfaatkan bermacam-macam alasan untuk menghalangi perluasan pemerintahan Belanda sampai ke Borneo Tengah.
Lagi pula, karena suku-suku di Mahakam Hulu dan Suku Kenyah di Apo Kayaan sedang bermusuhan, ternyata sulit sekali mendapatkan pemandu untuk memudiki Sungai Boh sampai ke dataran Apo Kayaan.
Dalam Mei 1900, Nieuwenhuis menempatkan rombong-annya di kamp perintis di Long Boh, di mana kemudian Bier dan Demmeni bergabung. Setelah terjadi pertengakaran, Bier diperintahkan pulang. Namun Nieuwenhuis masih harus menunggu tiga bulan lagi.
Akhirnya, Juni 1900, ada telegram bahwa wilayah Mahakam Hulu secara resmi telah ditempatkan di bawah pemerintahan Belanda, dan Barth akan ditugaskan di Desa Long Iram sebagai kontrolir. Pada 6 Agustus 1900, ekspedisi akhirnya bertolak dari Long Boh dengan Koeng Irang.
Kali ini pun ekspedisi mengalami kekurangan beras sekali lagi di dalam perjalanan. Dengan demikian, pernyataan Smythies yang memuji Nieuwenhuis sebagai seorang penjelajah yang efieisn dan sukses, perlu dipertanyakan, karena kekurangan beras merupakan masalah yang sangat berat bagi suatu ekspedisi, yang pasti mengakibatkan situasi yang gawat.
Ekspedisi berdiam selama dua bulan di wilayah Apo Kayaan. Banyak data dikumpulkan tentang orang Kenyah dan sejarah mereka. Karena sering diusik oleh serbuan Suku Iban dari Sarawak.
Orang Kenyah sangat responsif terhadap tawaran Nieuwenhuis untuk mendapat perlindungan Belanda. Namun mereka cemas bahwa hal itu akan menimbulkan amarah Rajah Brooke, dan mereka minta agar Nieuwenhuis menulis surat kepadanya.
Rajah menjawab bahwa, karena Nieuwenhuis sudah berada di sana, ia tidak lagi ada urusan dengan Apo Kayaan. Ekspedisi memulai perjalanan kembali ke hilir Sungai Boh, 4 November 1900, tiba di Long Iram 3 Desember 1990 dan di Batavia 31 Desember 1900. Kemudian Nieuwenhuis diangkat menjadi penasihat pemerintah untuk urusan Borneo.
Beberapa tahun kemudian, 1903, seorang kontrolir lain EWF van Walchren, memudiki Sungai Berau sampai Apo Kayan, di mana ia berdiam enam bulan, ia kembali lagi 1906 untuk menyelesaikan perseteruan antar Suku Kenyah.
Dalam 1906 terdengar kabar bahwa Nieuwenhuis akan kembali ke Apo Kayan, namun ternyata Kapten LS Fischer yang datang Juni sampai Oktober 1907, mungkin untuk mempersiapkan pos perintis militer pemerintah yang akan didirikan di Long Nawang.
Ekspedisi-ekspedisi Nieuwenhuis memenuhi tujuan-tujuan politiknya yang berjangka panjang dengan menghasilkan berdirinya Pax Neerlandica di wilayah-wilayah ini yang diusik oleh perang dan pengayauan (Anton Willem Nieuwenhuis, 1994. Di Pedalaman Borneo: Perjalanan dari Pontianak ke Samarinda, 1894. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama & Borneo Research Council Indonesia Office).
Riwayat Anton Willem Nieuwenhuis
Anton Willem Nieuwenhuis (22 Mei 1864 – 21 September 1953) adalah seorang penjelajah dan dokter Belanda yang melakukan perjalanan secara ekstensif di Kalimantan Tengah pada tahun 1890-an, mencatat informasi etnografi berharga tentang orang Dayak dan membuat koleksi biologi.
Nieuwenhuis belajar kedokteran di Universitas Leiden dari tahun 1883 sampai 1889 dan meraih gelar doktor dari Universitas Freiburg pada tahun 1890. Tahun 1890, Nieuwenhuis bergabung dengan angkatan bersenjata untuk menjadi petugas medis di Tentara Kerajaan Hindia Belanda, ditempatkan pada tahun 1892 di Sambas, Kalimantan Barat.
Nieuwenhuis berpartisipasi dalam tiga ekspedisi besar ke beberapa bagian Kalimantan yang saat itu tidak berada di bawah kendali Belanda, yang pertama dilakukan di bawah kepemimpinan Gustaf Adolf Frederik Molengraaff pada tahun 1893–1894.
Nieuwenhuis kemudian menjadi orang Eropa pertama yang melintasi Kalimantan dari barat ke timur (atau sebaliknya), dari Pontianak ke Samarinda , pada tahun 1896–1897. Ekspedisi ketiga terjadi pada tahun 1898–1900.
Pada tahun 1904, Nieuwenhuis diangkat sebagai profesor geografi dan etnologi di Universitas Leiden dan menjadi editor jurnal Internationales Archiv für Ethnographie.
Nieuwenhui pensiun pada Mei 1934 dan meninggal di kampung halaman barunya pada tahun 1953. Dalam sebuah berita kematian, Bertram E Smythies memanggilnya “a Borneo Livingstone “.
Jan Cartensz tahun 1623
Berawal dari catatan harian Jan Cartensz tahun 1623 yang menyatakan bahwa ia melihat sebuah puncak gunung yang tertutupi salju di sebuah kepulauan yang disebut orang Eropa “Ihlos dos Papuas”— dalam pelayarannya di selatan pulau tersebut.
Sebuah catatan yang menjadi olok-olok dan bahan tertawaan masyaraket Eropa saat itu yang menganggap bahwa gletser di garis katulistiwa adalah sebuah kemustahilan.
Sebuah kemustahilan yang ternyata, dari sisi lain—para petualang dan pendaki gunung menjadi sangat terobsesi menjadi saksi sekaligus orang yang pertama mencapai puncak salju tersebut. Berbagai kegiatan ekspedisi mulai dilakukan untuk pembuktian tersebut.
Walau pun dalam masa kolonial Belanda, pihak kerajaan sendiri sempat tidak tertarik dan enggan mengeluarkan biaya untuk pengembangan daerah tersebut karena luasnya yang terlalu besar, hampir tiga kali lipat pulau Jawa dan tidak dianggap menjunjukan prospek ekonomis yang menguntungkan bagi Kerajaan.
Bahkan penduduk lokal yang dianggap masih suka melakukan kekerasan, diperkirakan akan menjadi beban biaya bagi kerajaan saja. Ditambah catatan banyaknya musibah dan kesulitan dalam ekspedisi menuju puncak salju tersebut yang menyebabkan Belanda lebih baik membiarkan daerah tersebut dalam pengurusan Kesultanan Tidore.
Namun, semenjak Jerman mengklaim kepemilikan sebelah barat kepulauan Papua yang disebut “Kaiser Wilhelsmland” pada tahun 1883 sebagai bagian dari kegiatan pencarian daerah koloni baru Jerman membuat Belanda gerah dan memicunya melakukan kegiatan penelitian dan pemetaan di kepulauan tersebut.
Dan benar, mulai tahun 1904—Pemerintah kolonial Belanda mulai mengirimkan pihak militer yang dipimpin kapten angkatan daratnya yang mernama Meyes dan De Rochemont untuk survey awal dan berhasil menemukan sungai yang merupakan lelehan pegunungan bersalju di daerah Asmat yang dinamakan Sungai Noord (utara).
Misi dilanjutkan dengan mengirim Hendrikus Albertus Lorentz pada tahun 1907 untuk menyusuri hulu Sungai Noord untuk mendaki pegunungan salju. Sayang sekali, ekpedisi ini gagal.
Setelah kegagalan tersebut, pihak kolonial pada tahun 1907 baru menggelontorkan dana 5,5 juta Gulden untuk pembuatan peta dengan skala 1:1 juta yang selesai pada tahun 1915.
Tujuh tahun dari awal ekspedisi pemetaannya. Itupun telah merenggut 79 orang meninggal dari 800 orang tim yang dikirim dalam ekspedisi.
Libatkan Suku Dayak
Untuk membayar kegagalannya, Hendrikus Albertus Lorentz kembali melakukan ekspedisi susulan tahun 1909. Cerdiknya, untuk mensiasati hambatan alam berupa hujan yang turun hampir 300 hari setahunnya serta alam tropis yang liar, Lorentz membawa tim khusus untuk ekpedisi ini.
Tim khusus ini ternyata adalah 82 orang dari Suku Dayak Kalimantan yang terkenal dengan kemampuan navigasi alamnya, serta beberapa orang Suku Kamoro dari pesisir Papua untuk ekpedisi susur sungai sampai kaki bukit terdekat.
Terbukti, dengan dibantu oleh orang-orang Dayak dan Kamoro inilah, Lorentz berhasil menyusuri Sungai Noord dan membelah hutan untuk mencapai puncak yang dinamakannya Wilhelmina.
Salah satu puncak tertinggi di Irian Jaya dengan ketinggian 4.730 meter. Atas keberhasilan tim yang dipimpin oleh Lorentz inilah, akhirnya Sungai Noord digubah namanya menjadi Sungai Lorentz.
Sedangkan puncak Wilhelmina, pada era Soekarno, digubah namanya menjadi puncak Trikora.
Kehebatan navigasi alam dan hutan Suku Dayak yang misterius dan sampai kini belum ada rujukan akademisnya, ternyata tetap menjadi pilar dalam ekpedisi-ekspedisi selanjutnya (Bill Collier & Nurhadi Sabirin, 2011).
Hal itu terbukti lagi saat ekpedisi yang dilakukan oleh Jean Jaquest Dozy—seorang ahli geologi muda Belanda sekaligus fotographer geologi pertama dunia bersama manager operasinya bernama Dr. Anton H. Colijn mendapat tugas melakukan survey Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM), sebuah anak perusahaan Royal Dutch/Sheel pada than 1936.
Pada awalnya, survey ini bertujuan untuk mencari lokasi sumber minyak baru dari hasil konsesi 100.000 kilometer persegi yang didapatkan oleh konsorsium Nederlands Nieuw Guinnea Petroleum Maatschappij (NNGPM) dari pemerintah kolonial Belanda. Dimana BPM sendiri mempunyai porsi saham 40% dari konsorsium tersebut.
Kali ini, untuk menghemat dan mengefisienkan ekpedisi, tim dibuat sangat ramping. Selain Colijn dan Dozy, tim hanya membawa 8 orang Dayak Apo Kayan dan seorang pilot penerbang angkatan laut bernama Frits J. Wissel untuk bagian pengiriman barang.
Jean Jacques Dozy agak lebih baik dari era ekspedisi sebelumnya. Saat tahun 1936 tersebut sudah tersedia pesawat terbang jenis Sikorsky (Bill Collier & Nurhadi Sabirin, 2011).
Dalam catatan lain, orang Dayak-lah yang membuat teknik memanjat tebing dari pohon dan membuat tangga kasar. Serta hanya dengan menggunakan indera dan intuisinya—jalan perintis menuju puncak salju terbentuk.
Bahkan ketika muncul masalah menjatuhkan barang bekal ekspedisi lewat pesawat, usai ujicoba beberapa barang hancur atau menggelinding jauh, orang Dayak pula yang mengingatkan Jean Jacques Dozy agar memakai kain selebar 4×4 meter yang diikat tiap ujungnya untuk dijadikan parasut. Ide yang sangat menghemat biaya.
Bayangkan, saat itu pembelian parasut asli harganya 500 gulden dan bisa menjadi hanya sekitar 10 gulden. Itu pun mendapat manfaat lebih, yaitu kain tersebut bisa menjadi terpal penutup dan pelindung barang ketika sudah jatuh di darat.
Bersama orang-orang Dayak inilah yang ahirnya ditemukan jalur pendakian puncak salju yang lebih efisien, sekaligus terdapat bukit yang berbau tembaga.
Di dalam lama faktafreeport.blogspot.com, disebutkan, sebuah bukit yang berwarna hijau kebiru-biruan yang akhirnya oleh Jean Jacques Dozy disebut sebagai “Gunung Bijih” atau dalam bahasa Belanda disebut Erstberg (Bill Collier & Nurhadi Sabirin, 2011).
Gunung Biji Besih (Bahasa Belanda: Ertsberg) adalah gunugn setinggi 3.600 meter di Papua dan berada di wilayah Indonesia. Gunung didaki oleh Jean Jacques Dozy, Anton Colijn, dan Frits Julius Wissel pada tahun 1936.
Pada tahun 1973, perusahaan Freeport-McMoRan dari Amerika Serikat memulai aktivitas pertambangan di wilayah ini. Pada tahun 1988, hampir seluruh bagian gunung ini digali.
PT Freeport dikuasai Indonesia
Dalam sejarah Indonesia, Suku Dayak Apo Kayan, dicatat, ikut menemukan lokasi pertambangan PT Freeport Indonesia di Tembagapura, Kabupaten Mimika, Provinsi Papua, salah satu perusahaan pertambangan terbesar di dunia. Tahun 2018, Indonesia menjadi pemegang saham mayoritas di PT Freeport Indonesia.
PT Freeport Indonesia, merupakan perusahaan tambang mineral afiliasi dari Freeport-McMoRan (FCX) dan Mining Industry Indonesia (MIND ID). PTFI menambang dan memproses biji menghasilkan konsentrat yang mengandung tembaga, emas dan perak.
PTFI memasarkan konsentrat ke seluruh penjuru dunia dan terutama ke smelter tembaga dalam negeri, PT Smelting. PTFI beroperasi di dataran tinggi terpencil di Pengunungan Sudirman, Kabupaten Mimika, Provinsi Papua, Indonesia.
Tambang di kawasan mineral Grasberg, Papua – Indonesia merupakan salah satu deposit tembaga dan emas terbesar di dunia. PTFI menambang pada fase akhir tambang terbuka Grasberg.
PTFI tengah mengerjakan beberapa proyek pada kawasan mineral Grasberg sehubungan dengan pengembangan beberapa tambang bawah tanah berkadar tinggi yang berskala besar dan berumur panjang.
Secara total, semua tambang bawah tanah ini diharapkan menghasilkan tembaga dan emas skala besar sehubungan dengan peralihan dari tambang terbuka Grasberg.
Freeport-McMoRan (FCX) merupakan suatu perusahaan tambang internasional terkemuka dengan kantor pusat di Phoenix, Arizona, Amerika Serikat. FCX mengoperasikan aset yang besar, berumur panjang yang tersebar secara geografis, dengan cadangan tembaga, emas dan molybdenum yang signifikan.
Portofolio aset FCX meliputi kawasan mineral Grasberg di Papua, Indonesia, hingga gurun-gurun di Barat Daya Amerika Serikat, dan operasi penambangan yang signifikan di Amerika Utara dan Amerika Selatan, termasuk kawasan mineral Morenci yang berskala besar di Arizona dan operasi Cerro Verde di Peru.
FCX merupakan perusahaan publik penghasil tembaga terbesar di dunia. Saham FCX diperdagangkan di New York Stock Exchange dengan symbol “FCX”
MIND ID, merupakan Holding Industri Pertambangan Indonesia, dengan PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) (Inalum), PT ANTAM Tbk, PT Bukit Asam Tbk, PT Timah Tbk, dan PT Freeport Indonesia sebagai anggota holding.
“Saya baru saja menerima laporan dari seluruh menteri yang terkait dari Direktur Utama PT Inalum dan dari CEO dari Direktur Utama PT Freeport Indonesia. Disampaikan bahwa saham PT Freeport Indonesia sudah 51,2 persen sudah beralih ke PT Inalum dan sudah lunas dibayar,” kata Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo di Istana Negara, Jakarta, Jumat, 21 Desember 2018.
Ini merupakan momen yang bersejarah, setelah PT Freeport berorasi di Indonesia sejak 1973 dan kepemilikan mayoritas ini digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Sah jadi milik Inalum, Kontrak Karya PT Freeport berubah jadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009, tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba).
INALUM telah membayar 3,85 miliar dollar AS kepada Freeport McMoRan Inc. (FCX) dan Rio Tinto, untuk membeli sebagian saham FCX dan hak partisipasi Rio Tinto di PTFI sehingga kepemilikan INALUM meningkat dari 9,36% menjadi 51,23%.
Kepemilikan 51,23% terdiri dari 41,23% untuk INALUM dan 10% untuk Pemerintah Daerah Provinsi Papua. Saham Pemerintah Daerah Provinsi Papua, dikelola PT Indonesia Papua Metal dan Mineral (IPMM) yang 60% sahamnya dimiliki oleh INALUM dan 40% Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). (Aju)