Oleh Nur Setia Alam Prawiranegara, S.H.,M.Kn.
Negara Indonesia menjamin hak warga negaranya untuk memiliki suatu. Salah satunya adalah hak milik atas tanah. Penjaminan ini lahir atas dasar hak menguasai negara yang dianut dalam Pasal 2 Undang Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960.
Hukum Agraria yang diterapkan di Indonesia mempunyai sifat dualisme, dengan berlakunya hukum adat disamping hukum agraria yang didasarkan pada hukum barat. Hal itu bertujuan untuk kepastian hukum dengan tidak mengabaikan unsur-unsur yang bersandar dan menjadi pedoman bagi masyarakat seperti hukum agama, hukum adat, budaya dan sosial selain hukum itu sendiri.
Rakyat Indonesia mempunyai hak-hak atas tanah, air dan ruang angkasa yang diberikan oleh Negara, kecuali untuk kepentingan umum termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, maka hak-hak atas tanah dapat dicabut dengan mendapat ganti kerugian yang layak dan sesuai ketentuan yang diatur dengan Undang-Undang.
Rakyat dapat memperoleh kepemilikan hak-hak atas tanah melalui proses pendaftaran tanah yang meliputi pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah, yang dinamakan Surat Ukur/Gambar Situasi dan Buku Tanah, dimana mereka memperoleh Salinan Sertipikat Hak atas Tanah seperti Hak Milik, HGU, HGB, Hak Pakai dan Hak Pengelolaan.
Proses untuk memperoleh kepemilikan tanah tersebut tidak terlepas dari sejarah perolehan hak atas tanah tersebut dan peralihan hak yang benar sesuai data yuridis dan data fisik.
Mengapa ada kalimat “yang benar sesuai data fisik dan data yuridis?” Karena sering terjadi perolehan dan peralihan hak diperoleh dengan cara melawan hukum dan dapat dibuktikan melalui gugatan di Pengadilan Negeri.
Terkadang timbul permasalahan adanya tumpang tindih alas hak pada sebidang tanah, Contoh: alas hak atas tanah antara “Girik melawan Sertipikat” sudah barang tentu ada yang melakukan perbuatan melawan hukum dengan mengakali proses perolehan hak atas tanah tersebut.
Dalam hal pengadilan membuktikan kepemilikan hak atas tanah tersebut benar demi hukum, dengan menyatakan data fisik dan data yuridis tanah tersebut alas haknya Girik.
Pembuktian hukum dengan cara melihat sejarah tanah yang ada pada bidang tanah tersebut dan sekitarnya, karena akan saling berkaitan satu sama lain serta tidak mungkin berdiri sendiri dalam hal penunjukkan tanah tersebut, sehingga demi hukum “Girik dapat Membatalkan Sertipikat !”.
Pemegang Sertipikat tidak boleh merasa kecewa jika ada pihak lain yang menggugat, maka buktikan bahwa perolehan haknya benar dengan cara memperlihatkan dari mana penunjukan dan atau perolehan sertipikat termasuk Surat Ukur/Gambar Situasi-nya.
Sehingga data yang tercantum dalam buku tanah dan surat ukur/Gambar Situasi sesuai dengan yang dipegang oleh Kantor Pertanahan. Kebenaran data yang disajikan memang tidak dijamin oleh Negara, karena Negara menggunakan sistem publikasi negatif walaupun tidak secara murni, sehingga pemilik/pemegang sertipikatlah yang harus menjamin kebenaran datanya bukan Negara.
Pendaftaran tanah adalah untuk menjamin kepastian hukum, bertujuan kepada para pihak untuk membuktikan alas hak nya secara seimbang untuk memberikan kepastian hukum kepada pihak yang beritikad baik dalam hal menguasai tanah.
Sepanjang dapat dibuktikan terbalik, dengan serta merta dicabut dan batal demi hukum Sertipikat Hak atas tanah milik seseorang tersebut.
Peristiwa hukum atas Girik dapat membatalkan Sertipikat, biasanya Girik yang lahir telah lama dan terdata baik buku maupun peta rincikannya. Akan tetapi, saat ini berdasarkan Surat Direktur Jenderal Pajak, tanggal 27 Maret 1993, Nomor : SE-15/ PJ.G/1993, tentang Larangan Penerbitan Girik/Petuk D/Kekitir/Keterangan Obyek Pajak (KP.PBB II), maka Girik yang muncul setelah tahun 1993 maka hanya akan dianggap sebagai Fiskal Kadaster atau pembayaran Pajak bukan sebagai bukti hak kepemilikan atas tanah.
Kesimpulannya alas hak atas tanah terkadang muncul karena terjadinya tumpang tindih antara Girik dengan Sertipikat. Akan tetapi sertipikat dapat dibatalkan haknya jika dapat diketahui secara data juridis dan data fisik jika perolehannya tidak benar, karena mengacu pada Pasal 19 ayat 2 UUPA No. 5 tahun 1990 jo. Pasal 32 PP No. 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah, karena Sertipikat hanya merupakan tanda bukti hak yang kuat bukan MUTLAK.
Penulis adalah pemerhati hukum pertanahan