Pekanbaru, (Independensi.com) –Terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) nomor 26 tahun 2023 tentang pengolahan sedimentasi (pendalaman alur) laut, harus dimanfaatkan pemerintah daerah Provinsi Kepulauan Riau untuk menambah Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) bahkan jika dimungkinkan Penerimaan Daerah Bukan Pajak (PDBP). Karena, Provinsi Kepulauan Riau masih minim APBD.
Hal itu dikatakan Sahat Sianturi, Sekretaris Komisi II DPRD Provinsi Kepulauan Riau menjawab pertanyaan Independensi.com, Selasa, (6/6).
Dalam pelaksanaan ekspor pasir laut, sudah ada aturan pelaksanaannya, sesuai peraturan daerah (Perda) RZWP3K (Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil) di Provinsi Kepulauan Riau.
Pertambangan logam dan non logam sudah diatur dalam RZWP3K, disitu sudah disepakati 10 titik kawasan pertambangan strategis non logam (pasir laut).
Arena tambang ini tersebar di Kabupaten Karimun, Batam dan Lingga.
Luas laut yang dapat di kavling untuk kawasan eksplorasi pasir laut sudah tertera didalam Perda RZWP3K, yaitu 52.720,58 ha. Dari luasan itu bumi berazam, Karimun paling luas yakni 46.759,17 ha yang terdiri dari enam titik.
Di daerah Batam, yang menjadi lokasi pertambangan pasir laut sudah disepakati di daerah Galang dan Belakang Padang dengan luas 2.320,91 ha, sedangkan untuk Kabupaten Lingga hanya 1 titik yaitu seluas 3.640,90 ha.
Menindak lanjuti pelaksanaan PP 26 TAHUN 2023, pemerintah harus mengatur pemanfaatannya. Harus mengutamakan reklamasi di dalam negeri, karena masih banyak kawasan yang membutuhkan timbunan pasir laut.
Seperti Bandara Hang Nadim Batam masih butuh reklamasi pasir laut, termasuk pembangunan penambahan infrastruktur di Batam (Rempang).
Kalau sudah mencukupi di dalam negeri, apa salahnya di ekspor, ujar Sahat Sianturi mantan Ketua Pansus RZWP3K di DPRD Provinsi Kepri.
Menjawab pertanyaan Independensi.com terkait statemen tokoh masyarakat Kepri yang mengatakan bahwa pasir laut hasil sedimentasi adalah harta karun pemberian Tuhan yang harus dimanfaatkan Pemprov Kepri, Sahat Sianturi anggota dewan dari Partai PDI Perjuangan ini mendukungnya.
Masyarakat di Provinsi Kepulauan Riau harus memanfaatkan. PP 26 tahun 2023 mengatur secara nasional dan Pemprov Kepri harus menangkap kesempatan itu demi meningkatkan pendapatan daerah.
Hanya saja, kita di Provinsi Kepulauan Riau ini harus meminta pada pemerintah pusat, agar keuntungan penjualan ‘kue’ hasil ekspor pasir laut ini, lebih besar diberikan pada daerah.
Agar hasil sedimentasi dapat menambah PNBP hingga PDBP, termasuk dalam memikirkan ekonomi nelayan yang mungkin nanti terdampak.
Pemerintah harus memikirkan peningkatan pendidikan putra/putri nelayan supaya mendapatkan ilmu yang lebih tinggi, jangan dibiarkan mereka jadi nelayan secara turun temurun.
Pemerintah harus mendidik mereka menjadi nelayan modern dengan cara budi daya ikan, bila perlu dikasihkan modal usaha dari hasil pasir laut itu.
Terkait negara tujuan ekspor pasir laut, ada, diantaranya Singapore, Hongkong dan negara-negara lainnya. Pastinya, ekspor pasir laut lebih menguntungkan dari batubara dan bauksit. Karena pasir laut akan terisi kembali.
Dimana beberapa sungai di daratan sumatera merupakan penyumbang pembawa batuan atau pasir laut. “Artinya, walaupun dikeruk, pasti akan terisi kembali,” ujar Sahat.
Ditempat terpisah, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Provinsi Riau Boy Jery Even Sembiring saat diminta tanggapannya terkait PP 26 tahun 2023 dengan tegas menolaknya. Karena menurut Sembiring, terbitnya peraturan itu menunjukkan bahwa presiden Joko Widodo kurang mempedulikan keberadaan nelayan maupun masyarakat yang tinggal di daerah pesisir pantai.
Seperti nelayan Pulau Rupat yang pernah mengirim surat ke presiden bulan April 2022 lalu, menurut Sembiring, justru dijawab dengan sebaliknya.
Penerbitan PP 26 tahun 2023 itu memperlihatkan Presiden Joko Widodo mengabaikan aspirasi kelompok nelayan dan keselamatan wilayah pesisir dan pulau kecil, ujar Sembiring.
(Maurit Simanungkalit)