Nur Setia Alam Prawiranegara

Refleksi Akhir Tahun 2020 “Quo Vadis Advokat Indonesia?”

Loading

Oleh: Nur Setia Alam Prawiranegara

USIA Bumi sudah menua, tetapi gairah dan hasrat manusia masih belia. Sepanjang tahun 2020, tak ubahnya Bumi kita seperti ulat yang menjadi kepompong karena adanya Pandemi Covid 19 berdiam diri, agar menjadi pahlawan bagi orang sekitarnya dan diri sendiri. Entah kapan kita berubah wujud menjadi Kupu-kupu yang berwarna indah menari di taman mencium bunga menuju matahari.

Begitu pula halnya Advokat di Indonesia sebagai salah satu penegak hukum sesuai UU Advokat No 18 tahun 2003, saat ini terlihat seperti kepompong yang masih menata hidupnya untuk terwujud dalam satu lembaga seperti para penegak hukum lainnya.

Organisasi Advokat itu selayaknya seperti mimpi kepompong yang berubah menjadi kupu-kupu yang indah. Mengapa demikian,, karena sepanjang 2020 semua yang menyatakan sebagai OA yang bernama Peradi walaupun ada 2 OA yang mempunyai nama panggilan tambahan untuk menjadikan dirinya pembeda, mencoba menata hidupnya dalam kepompong masing-masing.

Dengan gaya dan metode masing-masing, belum lagi OA yang lain dimana jumlahnya ada yang menyebutkan 32 atau bahkan 54. Mari kita simak kembali pada sejarah sekitar 17 tahun lalu, ada sebagian yang sudah Advokat tapi ada yang dinaturalisasi bahkan mendapatkan pemutihan, karena mulai bergabungnya seluruh lembaga Advokat sebanyak 8 menjadi KKAI akhirnya menjadi Peradi.

Bergulir selama kurang lebih 2 tahun dan menjelang tahun ke 3, membelah diri seperti amoeba yaitu KAI, walaupun pernah mendapatkan perlakuan yang berbeda baik dari pemerintah maupun penegak hukum lainnya, hingga sulit untuk ujian ataupun disumpah melalui KAI, tetapi tetap OA KAI ada, kemudian pada tahun 2012-2014 muncul proses verifikasi bagi anggota KAI menjadi anggota Peradi.

Sangat disayangkan setelah demo pada tahun 2014 dimana para advokat bersatu menolak RUU advokat di seluruh wilayah Indonesia, ternyata pada tahun 2015 perpecahan terjadi di Peradi pada Munas Makasar dan diakui semuanya baik oleh Pemerintah, instansi instansi lainnya termasuk masyaraka.

Bagi para advokat yang tidak pernah muncul di Peradi akhirnya bisa mendapatkan jatah jabatan, bahkan banyak menelurkan Advokat baru dan mau tidak mau menambah pundi keuangan untuk berjalannya roda organisasi.

OA bukan lah lembaga yang isinya adalah pegawai yang mendapat gaji dari uang rakyat melalui negara, akan tetapi Advokat adalah profesi yang mandiri dan independen dan uang nya tentu mencari sendiri tergantung kemampuan dan rejekinya.

Refleksi Akhir Tahun 2020 ini adalah terjadinya beberapa peristiwa di Organisasi Advokat yang mungkin saja mempunyai nilai, pada tanggal 9 September 2020 riak-riak gelora OA muncul kembali dimana 18 Advokat berasal dari DPC Jakarta Barat dibawah pimpinan Luhut Pangaribuan menyatakan kembali ke induknya, Peradi yang berkedudukan di Grand Slipi.

Pada tanggal 13 Nopember telah mendapatkan KTA dan diakui secara sah kembali sebagai anggota dan rata-rata semuanya adalah senior sehingga muka baru tapi stock lama, dimana mereka menyatakan mari bersatu karena lebih nyaman seperti dulu lagi.

Namun di akhir bulan September timbul gerakan adanya OA baru Peradi Pergerakan atau dikenal dengan Peradi Merah, eksodus ke dua dari Peradi di bawah Pimpinan Luhut Pangaribuan selain mendapatkan gugatan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat atas keabsahan atas pemilihan Ketua dari Munas lanjutannya.

Sedangkan Peradi dibawah Pimpinan Juniver Girsang sudah jauh-jauh hari Munas, tepatnya bulan Pebruari 2020 tetap kembali ketua nya terpilih Juniver Girsang. Yang menarik, Peradi yang berkedudukan di Grand Slipi, dari Fauzi Hasibuan kembali untuk ketiga kalinya kepada Otto Hasibuan, hal tersebut pun tetap ada riak kecil, akan tetapi sebagian besar masih percaya dengan suara 1027 untuk kembali memimpin Peradi.

Otto Hasibuan mempunyai misi dan visi kembali menyatukan perpecahan dimana sudah agak sulit jika melalui pucuk pimpinan dan gayung bersambut dengan 18 Advokat yang berani menyatakan perpindahan nya, karena banyak juga yang lebih memilih diam-diam pindah karena rasa kenyamanan sebagai bentuk pertemanan, bahkan akhirnya mempunyai beberapa kartu, sehingga harus diseleksi di catatan laporan Mahkamah Agung, Advokat tersebut terdaftar dimana.

Kembali di awal Desember tiba-tiba muncul lagi OA baru DPN Indonesia. Yang menjadi pertanyaan besar ada lembaga pendidikan menyertainya. Apakah nanti akan membuka ujian bagi calon Advokat.

Renungan atas hal tersebut adalah mengapa begitu berat untuk bersatu dan mengapa begitu mudah membuat OA dengan mengantongi Akta pendirian, mengapa pemerintah khususnya dirjen ahu Menkumham. Kenapa OA yang ada untuk kembali bersatu pasti ada hal yang mengganjal?

Hal itu terjadi karena sangat mustahil jika tidak bicara jabatan, uang yang sudah keluar, kedudukan tidak mau dibawah dari seseorang, tidak mau kehilangan jabatan yang selama ini mempunyai kekuasaan, alhasil semua masih angan-angan atau mimpi indah untuk bersatu.

Pada awal tahun 2020 ada campur tangan menteri yang berharap bisa sebagai pemersatu, ternyata jawabannya sulit. Mengapa demikian, mungkin karena Advokat adalah ahli hukum sehingga hasilnya tidak pernah eksakta, 1+1 bukanlah 2 tapi bisa 11 atau lebih dengan segala kemungkinannya.

Lalu bagaimana bisa mengurus orang lain, lembaga sendirinya pun tak mampu, sampai kapan adanya introspeksi diri dari masing-masing advokat, dimana tidak hanya butuh kepintaran tapi butuh hati nurani.

Yang paling penting adalah tanggungjawab kepada para advokat baru untuk menjadikan Advokat nobile officio. Jangan sampai kalimat seorang mantan Ketua Mahkamah Agung yang menyatakan akan terseleksi oleh Alam, akhirnya menjadi bumerang bagi Advokat itu sendiri maupun OA nya.

Karena akan bosan sendiri kalau tidak punya uang untuk perputaran roda organisasi dan anggota sedikit sehingga tidak ada kegiatan, mau bergabung malu tapi bubar pun tak mau akhirnya mati suri.

Mari kita lakukan bersama-sama kepada para Advokat Indonesia khususnya Peradi untuk melakukan Refleksi Akhir Tahun 2020 Quo Vadis Advokat Indonesia? Semoga tahun 2021 dimana Pandemi Covid 19 berangsur-angsur hilang ditelan oleh Vaksin yang sedang dipersiapkan, sama halnya dengan OA yang ada berangsur-angsur dengan kesadaran diri dari Advokatnya menjadi kembali berupaya membangun OA kembali menjadi satu.  Peradi dengan segala metode bersatu mungkin sama halnya dengan mendapatkan Vaksin OA single Bar. Refleksi Akhir Tahun 2020 Quo Vadis Advokat Indonesia Bersatu kita teguh bercerai kita jangan tempuh.(*)

Penulis adalah Ketua Indonesian Feminist Lawyers club (IFLC)