Oleh NS Alam Prawirangara SH MK.n
Hakikat dan fungsi peraturan perundang-undangan dalam konsep negara hukum menjadi bahan pemikiran dan pembahasan, antara lain: Pertama, salah satu unsur negara hukum adalah setiap tindakan pemerintah/pemerintahan harus berdasarkan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
Kedua, bahwa jika dikaitkan dengan pemerintah mempunyai kewenangan yang sangat luas untuk ikut serta aktif campur tangan dalam segala bidang sosial budaya dan ekonomi, maka jika tidak dipagari dengan aturan-aturan hukum yang baik dan adil, serta pengawasan penggunaan kewenangan yang ketat dapat menimbulkan kesewenang-wenangan dari pemerintah. Oleh karena itu, Pembentukan peraturan perundang-undangan akan menjadi suatu keniscayaan.
Ketiga, secara umum tujuan pembentukan perundang-undangan adalah mengatur dan menata kehidupan dalam suatu negara supaya masyarakat yang diatur oleh hukum itu memperoleh kepastian, kemanfaatan dan keadilan didalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat.
Persoalan yang kita hadapi sekarang ini adalah bagaimana kita dapat membuat peraturan perundang-perundangan termasuk UU yang mencerminkan kehendak rakyat, kebutuhan rasa keadilan dan kepastian hukum bagi masyarakat.
Hal ini akan tergantung sejauh mana kita dapat menerapkan dan/atau menanamkan hakikat dan fungsi peraturan perundangan kedalam pembentukan peraturan perundang-undangan, sehingga Negara diselenggarakan tidak atas kemauan semata sang penguasa, tetapi negara diperintah berdasarkan hukum yang sudah dibuat dan disediakan sebelumnya serta penguasa tunduk pada hukum tersebut.
Dinamika RUU disahkan menjadi UU tidak terlepas dari unsur legislatif saja, akan tetapi disini peran eksekutif hadir. Mengapa hal ini terungkap, karena proses pengesahan UU tidak bisa diproses dengan cepat akan tetapi harus mempunyai pertimbangan dan masukan baik secara akademis maupun empiris yang dapat mewakili segala aspek.
Hal ini dapat dilihat dari RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sejak tahun 2014 telah digulirkan hingga dikeluarkan dari Prolegnas 2020 dan diharapkan bisa masuk pada prolegnas 2021, dimana keberpihakan legislatif dan eksekutif dapat dikatakan hampir tidak ada, padahal RUU P-KS ini diminta segera disahkan untuk memperoleh kepastian, kemanfaatan dan keadilan dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat khususnya bagi korban baik perempuan, anak maupun kaum disabilitas.
Berbeda dengan RUU Omnibus Law Cipta Kerja yang masih seumur jagung pada hari Senin tanggal 5 Oktober 2020 telah disahkan oleh DPR, padahal masih banyak yang harus dilengkapi, dibahas dan dipertimbangkan serta membutuhkan masukan secara akademis maupun empiris atas isi UU tersebut, karena UU Omnibus Law mempunyai tujuan sebagai metode yang digunakan untuk mengganti dan/atau mencabut ketentuan dalam Undang-undang atau mengatur ulang beberapa ketentuan dalam Undang-undang ke dalam satu Undang-undang (tematik).
RUU Cipta Lapangan Kerja (Cilaka) mempunyai pengertian yaitu Cipta Kerja sebagai upaya penciptaan kerja melalui usaha kemudahan, perlindungan, dan pemberdayaan, usaha mikro, kecil, dan menengah, selanjutnya peningkatan ekosistem investasi dan kemudahan berusaha, dan investasi Pemerintah Pusat dan percepatan proyek strategis nasional.
Pada intinya, Omnibus Law CiLaKa memberikan manfaat baik terhadap perekonomian Indonesia, para pelaku usaha, maupun para pekerja. Dengan adanya Omnibus Law Cipta Lapangan kerja ini, diharapkan dapat tercipta lapangan kerja yang produktif.
Jika sebagian orang memberikan pandangan tidak setuju isinya UU dapat menggunakan proses Judicial Review melalui Mahkamah Konstitusi bukanlah suatu jalan keluar yang terbaik. Mengapa demikian?
Karena dapat dilihat RUU lainnya seperti RUU KUHP selain RUU P-KS, yang membutuhkan waktu lama untuk melalui proses pengkajian dan berbelit-belit, bahkan terus dibahas untuk mendapat masukan bahkan penyangkalan dari draft isi RUU tersebut, agar saat disahkan menjadi UU telah siap dan memaknai atas kepastian, kemampaatan dan keadilan bagi masyarakat.
RUU P-KS telah mengalami 2 kali kalah seksi dibandingkan RUU lainnya, yang pertama tahun lalu disahkannya UU KPK dan saat ini UU Omnibus Law Cipta Kerja, dimana RUU KPK dan RUU Omnibus Law Cipta Kerja dalam proses menjadi UU begitu cepat dikerjakan oleh Anggota Dewan yang terhormat, maka sangat terlihat sekali atas perbedaan dimana UU Air Mata dan UU Mata Air.
Penulis adalah Ketua Indonesian Feminist Lawyers Club (IFLC)