Musisi Jerinx SD diadili dalam kasus dugaan pencemaran nama baik

Hormati IDI, Patuhi WHO, Bebaskan Musisi “Jerinx SID”

Loading

Oleh : Omo Aulia

Independensi.com – ADA beberapa hal menarik yang terjadi pada proses peradilan musisi Jerinx di Pengadilan Negeri Denpasar, Bali.  Pertama,  adalah bahwa dalam sidang hari Selasa 3 November 2020 yang lalu.  Jaksa dalam sidang pengadilan ini menuntut Jerinx yang bernama asli I Gede Ari Astina, dengan hukuman 3 tahun penjara dan denda Rp 10 juta.

Dalam sidang yang mendapat perhatian luas dari masyarakat ini, terdakwa Jerinx dituduh melanggar Undang-undang  Informasi & Transaksi Elktronik (UU ITE) pasal 7 ayat 3 tentang Penghinaan dan Pencemaran Nama Baik terhadap institusi Ikatan Dokter Indonesia (IDI).

Kedua adalah pernyataan Prof Andi Hamzah, ahli hukum pidana senior di negeri ini pada hari yang sama, di malam harinya, yang beliau berikan dalam sebuah acara talk show di salah satu stasiun televisi swasta di Jakarta tentang UU ITE yang kontroversial ini.

Dalam acara tersebut, Prof Andy Hamzah menegaskan bahwa UU ITE ini bukan hukum Pidana, tapi hukum Administratif, dengan ancaman hukuman yang ringan tidak lebih dari 6 bulan penjara.

Sebagai konseptor dan penyusunan UU tersebut, sejak masih berupa Rancangan (RUU), beliau mengatakan tidak pernah memasukkan kan pasal-pasal Penghinaan / Pencemaran Nama Baik dalam RUU ITE tersebut.  Karena UU ini memang dibuat untuk mengatur segala bentuk transaksi elektronik.

Pasal 7 ayat 3 tersebut tiba-tiba  saja ada UU ITE ini sejak disahkan oleh DPR RI tahun 2002, tanpa beliau ketahui. Kita semua paham bahwa pasal tersebut adalah penjelmaan kembali pasal-pasal  155/ 156 KUHP, yang dulu.

Selain menggunakan UU ITE yang kontroversial, Jaksa tidak bisa membuktikan adanya niat jahat atau “mens rea” dari pihak terdakwa untuk lakukan penghinaan/pencemaran nama baik seperti yang dituduhkan.

Testimoni saksi ahli bahasa yang diajukan hanya sebatas terjemahan makna kata-kata “bangga jadi kacung WHO” dari sisi linguistik saja.

Kata-kata  atau ucapan Jerinx yang dikategorikan oleh Jaksa sebagai hinaan ini adalah semata-mata  manifestasi dari simpati dan rasa solidaritas Jerinx kepada ibu-ibu  hamil yang mengeluh atas ketidaknyamanan yang mereka alami dalam menjalankan prosedur protokol kesehatan selama masa pandemi covid 19 ini.

“Hinaan” Jerinx tersebut bukan ekspresi yang keluar dari hati seorang Jerinx, tapi sekedar kutipan dari ekspresi yang sering diucapkan oleh ibu-ibu hamil tersebut, sebagai pelampiasan kekesalan para ibu-ibu tersebut.

Sementara kekesalan ibu-ibu tersebut timbul karena proses sosialisasi tentang protokol kesehatan yang tidak berjalan efektif.

Kasus ungkapan (“hinaan”) berupa kutipan ini mengingatkan kita pada kasus Nurul Izzah, anggota DPR Malaysia, putri Anwar Ibrahim, yang pernah dituduh sebagai pengkhianat bangsa karena melakukan penghinaan/pencemaran  nama baik pada negara Malaysia karena membuat pernyataan di Kompas tahun 2010 silam tentang ‘kapal selam Malaysia yang tidak bisa ‘menyelam’.

Ketiga,  untuk membuktikan bahwa ucapan atau ‘hinaan’ Jerinx ini bukan ekspresi pribadi, tetapi kutipan dari ucapan-ucapan ibu-ibu hamil yang kesal dan  kecewa, bukan hal yang  sulit bagi penasihat hukum untuk menghadirkan saksi-saksi  yang bisa membenarkan bahwa ucapan-ucapan kekesalan itu memang sering terdengar.

Keempat; untuk diketahui, Malaysia membeli kapal selam jenis Scorpene buatan Perancis, dimana transaksi pengadaannya penuh dengan skandal korupsi. Nurul Izzah akhirnya bebas karena pernyataannya adalah kutipan dari penjelasan Menhan Malaysia Ahmad Zahid Hamidi di depan DPR Malaysia tentang hal tersebut.

Kelima, dari analisis di atas dapat disimpulkan bahwa apa yang dilakukan oleh Jerinx bukan seperti yang dituduhkan oleh Jaksa.

Oleh karena itu sebaiknya Jerinx segera mencabut pernyataannya yang sudah nimbul kan masalah tersebut, segera meminta maaf secara terbuka, sekaligus perlihatkan bahwa ia tidak punya motivasi/niat untuk melakukan penghinaan, apalagi mencemarkan nama baik IDI. Dan untuk itu pula, Jerinx tidak layak untuk di penjara atas kasus tersebut. (Omo Aulia, pemerhati masalah sosial, tinggal di BSD Serpong)