JAKARTA (IndependensI.com) – Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim, mengizinkan dibukanya kembali sekolah tatap muka meski Pandemi Covid-19 belum berakhir. Tetapi, dia berpesan agar pembukaan sekolah disesuaikan dengan kesiapan daerah tersebut.
“Pemerintah pada hari ini melakukan penyesuaian kebijakan untuk memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah Kanwil kantor kewenangan untuk menentukan pemberian izin pembelajaran tatap muka di sekolah-sekolah. Di bawah kewenangannya ini bisa saja secara serentak ataupun bertahap, tergantung kepada kesiapan masing-masing daerah sesuai dengan deskripsi kepala daerahnya berdasarkan evaluasi kepala daerahnya mengenai mana yang siap, mana yang tidak,” kata Nadiem di sela bersama sejumlah menteri terkait Pengumuman Surat Keputusan Bersama Empat Menteri tentang Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran pada Tahun Ajaran 2020/2021 dan Tahun Akademik 2020/2021 di Masa Pandemi Covid-19, Jumat (20/11/2020).
Nadiem mengatakan kebijakan ini bisa diberlakukan mulai semester genap mendatang atau tahun ajaran 2020-2021.
“Jadinya bulan Januari 2021 jadi daerah dan sekolah diharapkan kalau siap untuk melakukan tatap muka kalau ingin mempertemukan harus segera meningkatkan kesiapannya untuk melaksanakan ini dari sekarang sampai akhir tahun,” pesan Nadiem.
Dia menambahkan, ada sejumlah hal yang menjadi pertimbangan kenapa akhirnya sekolah tatap muka diperbolehkan. Salah satunya, pembelajaran jarak jauh telah memberikan dampak negatif yang kalau terus-menerus dilaksanakan bisa menjadi suatu resiko yang permanen dan risiko pertama adalah ancaman putus sekolah, di mana banyak sekali anak-anak yang harus bekerja atau didorong sama orang tuanya untuk bekerja dan ini berhubungan dengan situasi ekonomi yang tidak memadai.
“Banyak juga orang tua yang tidak bisa melihat peranan sekolah dalam proses belajar mengajar, kalau ini dilakukan secara dari rumah dan ini juga menimbulkan banyak sekali orang tua yang persis bahwa ini adalah suatu hal yang benar-benar berperan dalam pendidikan anaknya, sehingga banyak anak dikeluarkan dari sekolah dan resikonya akan meningkat semakin lama,” kata Nadiem.
Selain itu, berbagai macam resiko kendala tumbuh dan kembang. Di mana, hasil pemantauannya, kondisi di setiap daerah tidak sama.
“Banyak kali anak-anak sekarang tidak sekolah dan tentunya risiko-risiko bahwa ada satu generasi di Indonesia anak-anak kita yang kesenjangan pembelajarannya dan harus mengejarnya dan mungkin sebagian akan ketinggalan dan tidak bisa mengejar kembali pada saat kembali sekolah,” sambungnya.
Hal lainnya, terkait dampak psikososial dan dampak stres pada anak-anak yang minim interaksi baik dengan teman-temannya maupun dengan guru.
“Yang menyebabkan tingkat stres di dalam rumah tangga, baik orang tua maupun anak-anak meningkat secara drastis dan ini akan punya dampak permanen juga kepada psikososial anak-anak dan ini menjadi salah satu pertimbangan kita yang terpenting,” sambungnya.
“Jadi total ada 2 prinsip dasar dari kebijakan ini adalah kesehatan dan keselamatan dan juga pertumbuhan dan perkembangan peserta didik menjadi konsiderasi kami untuk melaksanakan kebijakan ini, tidak bisa satu saja dari kedua prinsip ini yang diprioritaskan,” katanya.
Ditambahkan Nadiem, ada 3 pihak yang akan menentukan apakah sekolah itu boleh dibuka apa tidak. Pertama adalah pemda atau kantor Kemenag, kedua kepala sekolah harus menyetujui dan ketiga adalah perwakilan orang tua yaitu melalui komite sekolah.
“Jadi kalau 3 pihak ini tidak mengizinkan sekolah itu buka, sekolah itu tidak diperkenankan untuk dibuka tapi kalau tiga pihak itu setuju, berarti sekolah itu mulai boleh melaksanakan tatap muka ya,” tutup Nadiem.