JAKARTA (Independensi.com) – Politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Henry Yosodiningrat, mengaku merasa malu mendengar perkataan seseorang yang mengaku bergelar habib, yaitu Mohammad Rizieq Shihab (MRS), karena baik perkataan dan perbuatannya sama sekali tidak menggambarkan kesejukan dan keadamaian dari seorang tokoh agamawan.
MRS adalah pentolan Front Pembela Islam (FPI), kabur ke Arab Saudi pada 26 April 2017 untuk menghindari proses hukum, terutama peristiwam memalukan berupa chat mesum dengan janda bahenol Firza Hussein dan kembali ke Jakarta, Selasa, 10 Nopember 2020
Dalam interaksi sosial dengan pendukugnya, 10 – 20 Nopember 2020, MRS, kembali menebar ujaran kebencian, penghinaan terhadap institusi Negara, Tentara Nasional Indonesia (TNI), Polisi Republik Indonesia (Polri), menyebut kata lonte terhadap artis Nikita Mirzani, di tengah ribuan massa pendukungnya di Petamburan, Jakarta dan di Megamendung, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat, dengan melanggar Protokol Kesehatan pada pandemi Corona Virus Disease-19 (Covid-19).
“MRS sudah kehilangan arah, sehingga hanya membuat malu umat Islam di Indonesia secara keseluruhan,” kata Henry Yosodiningrat, Sabtu, 5 Desember 2020.
“Saya diteror sudah sejak 21 tahun yang lalu, sejak saya mendirikan Granat, dan dengan pernyataan-pernyataan saya yang keras di hampir semua stasiun televisi, saya difitnah sebagai bagia dari sindikat narkoba,” tambah Hendry Yosodiningrat.
Mengaku dituduh komunis
Hendry Yosodiningrat, mengaku kalau sekarang diteror oleh sekelompok orang, bahkan ada yang mengancam hendak membunuhnya.
“Sekarang saya diteror oleh sekelompok preman-preman berkedok agama yang memaksakan kehendak. Bahkan mengancam akan membunuh saya, karena saya menggunakan hak saya, melaporkan orang atau pemilik akun instafram dan facebook yang menggunakan nama MRS, yang telah menghina saya dengan mengatakan saya sebagai politisi berhaluan komunis,” kata Henry Yosodiningrat.
Ketua Tim Task Force Forum Advokat Pengawal Konstitusi, Petrus Selestinus, mengatakan, publik menyambut gembira keterangan Kepala Polisi Metropolitan Jakarta Raya, Inspektur Jenderal Polisi Fadil Imran, untuk membuka kembali kasus pelanggaran hukum dilakukan MRS dan komplotannya. MRS diperiksa Polisi di Jakarta, Senin, 7 Desember 2020.
Fadil Imran, menegaskan, akan menindak tegas massa FPI apabila mendatangi Kantor Polisi Daerah Metropolitan Jakarta Raya, saat pemeriksaan MRS, Senin, 7 Desember 2020, karena masih di dalam status Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) untuk menekan meluasnya penularan Covid-19.
Menurut Petrus Selestinus, publik menyambut gembira bahkan mengapresiasi program prioritas Fadil Imran membuka kembali kasus-kasus pidana lama yang tertunda penanganannya, bahkan kasus-kasus lama MRS masuk dalam skala prioritas, untuk dibuka kembali penyidikannya.
Buktinya kasus dugaan makar yang dituduhkan kepada Egie Sudjana langsung dibuka dengan pemanggilan untuk diperiksa sebagai tersangka, dan akan disusul dengan penyidikan belasan kasus MRS, termasuk kasus chat mesum atau pornografi yang sudah keluara Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3), dibuka kembali.
Menurut Petrus Selestinus, pada hampir 4 tahun laporan asyarakat terhadap MRS tertunda-tunda penyidikanya bahkan 2 (dua) kasus pidana, yaitu kasus chat mesum di Polda Metro Jaya dan kasus penodaan Dasar Negara Republik Indonesia di Polisi Daerah Jawa Barat meskipun sudah ditetapkan sebagai tersangka, namun kasusnya di-SP3 dari Penyidik.
Empat Belas Laporan Polisi
Petrus Selestinus, mengatakan, paling tidak ada 14 laporan kepolisian dari masyarakat, sebelum MRS kabur selma 3,5 tahun ke Arab Saudi.
Pertama, Laporan Polisi No. LP/967/XI/2015/ Jabar, tanggal 24 November 2015, dari Sdr. Denda Alamsyah dari Angkatan Muda Siliwangi (AMS) terhadap Rizieq Shihab, terkait dugaan penghinaan terhadap budaya Sunda dengan ucapan “campurasun” menjadi “campuracun” di Polda Jawa Barat.
Kedua, Laporan Polisi No. LP/1077/X/2016/ Bareskrim, tanggal 27 Oktober 2016, dari Ibu Sukmawati Sukarno terhadap Rizieq Shihab terkait dugaan Penodaan Dasar Negara Pancasila dan Penghinaan terhadap Proklamator Bung Karno di Bareskrim Mabes Polri.
Ketiga, Laporan Polisi No. LP/6344/XII/2016/ PMJ/Dit.Reskrimsus, Polda Metro Jaya tanggal 26 Desember 2016, dari PMKRI terhadap Rizieq Shihab, atas dugaan Penodaan Agama Kristen, saat ceramah di Pondok Kelapa, Jakarta Timur, Minggu 25 Desember 2016 di Polda Metro Jaya.
Keempat, Laporan Polisi No.LP/6367/XII/2016/ PMJ/Dit.Reskrimsus, tanggal 27 Desember 2016, dari Doddy Abbdallah (Student Peace Institut), terhadap Rizieq Shihab atas dugaan Penodaan Agama, terjadi tanggal 26 Desember 2016, di Polda Metro Jaya.
Kelima, Laporan Polisi No. : LP/6422/XII/PMJ/ Dit.Reskrimsus tanggal 30 Desember 2016, dari Forum Mahasiswa Lintas Agama (Rumah Pelita) terhadap Rizieq Shihab atas dugaan Penodaan Agama di Polda Metro Jaya.
Keenam, Laporan Polsi No.LP/510/I/2017/PMJ/ Dit.Reskrimsus, tanggal 30 Januari 2017, soal Chat Mesum atau Pornografi oleh Aliansi Mahasiswa Anti Pornografi, terhadap Rizieq Shihab di Polda Metro Jaya.
Ketujuh, Laporan Polisi No. : LP/248/VI/2017/ Bali/SPKT, Tanggal 8 Juni 2017, dari Priyadi atau Patriot Garuda Nusantara, melaporkan Rizieq Shihab ke Polda Bali, karena dugaan Penistaan Agama Hindu di Polda Bali.
Kedelapan, Laporan Polisi No.: LP/6422/XII/PMJ/ Ditreskrimsus tanggal 30 Desember 2016, dari Forum Mahasiswa Lintas Agama (Rumah Pelita) terhadap Rizieq Shihab atas dugaan Penodaan Agama di Polda Metro Jaya.
Kesembilan, Laporan Polisi No.: LP/46/I/2017/ Bareskrim, tanggal 16 Januari 2017, dari Khoe Yanti Kusmiran, warga Kelapa Gading, terhadap Rizieq Shihab atas dugaan Penodaan Agama Kristen, di Bareskrim Mabes Polri.
Kesepuluh, Laporan Polisi No.: LP/92/I/2017/PMJ /Ditreskrimsus, tanggal 8 Januari 2017, dari Jaringan Intelektual Muda Anti Fitnah, terhadap Rizieq Shihab atas dugaan fitnah soal gambar Palu Arit pada uang kertas rupiah baru di Polda Metro Jaya.
Kesebelas, Laporan Polisi No.: LP/193/I/2017/PMJ /Dit.Reskrimsus, tanggal 9 Januari 2017, oleh Eddy Soetono, melaporkan Rizieq Shihab menghina Hansip dan Jenderal M. Iriawan, pangkat Jenderal otak Hansip di Polda Metro Jaya.
Keduabelas, Laporan Polisi No.: LP/93/I/2017/ Bareskrim, tanggal 26 Januari 2017, dari Pendeta Max Evert Tangkudung, terhadap Rizieq Shihab soal ancaman pembunuhan terhadap Para Pendeta, dengan dugaan melanggar, pasal 156 jo pasal 28 ayat (2) jo pasal 45a UU ITE di Bareskrim Mabes Polri.
Ketigabelas, Laporan Polisi No.: LP/529/I/2017/ PMJ/Dit.Reskrimsus, 31 Januari 2017, dari Henry Yosodiningrat terhadap Rizieq Shihab atas dugaan penghinaan di Polda Metro Jaya.
Keempat belas, Laporan Polisi No.: LP/125/I/2017/PMJ /Dit.Reskrimsus, tanggal 10 Januari 2017, dari Solmet terhadap Rizieq Shihab soal logo Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam desain uang rupiah baru di Polda Metro Jaya.
Ekseptasi Publik
Petrus Selestinus, mengatakan, dari 14 Laporan Polisi yang tersebar di beberapa Polisi Daerah di Indonesia, 12 Laporan Polisi penanganannya dipusatkan di Polisi Daerah Metropolitan Jakarta Raya, karena tempat kejadian perkaranya di wilayah hukum Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta, sedangkan 2 lainnya ditangani Polisi Daerah Jawa Baratt dan 1 kasus di Polisi Daerah Bali.
Dijelaskan Petrus Selestinus, sikap tegas dan konsistensi Pimpinan Polisi Republik Indonesia (Polri) dan jajarannya dalam kasus MRS dan komplotannya saat ini, akan sangat menentukan pada pemulihan kepercayaan publik terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia, sekaligus berdampak memberikan legitimasi kuat kepada Polri dengan dukungan publik semakin meluas.
Ekspektasi publik adalah Polri harus bisa tunjukan kehadiran Negara di tengah MRS dan kelompoknya tidak menghargai hukum dan institusi hukum. Polri harus mampu tegakan hukum dan tidak terjebak pada manuver apapun dari MRS dan kelompoknya di lapangan.
“Negara harus hadir 24 jam atau selama lamanya untuk melindungi segenap warga negara dan seluruh tumpah darah Indonesia termasuk MRS dan kelompoknya dalam frame NKRI, demi menegakan wibawa, harga diri, kehormatan dan keutuhan NKRI,” kata Petrus Selestinys.
Polri harus berani terapkan upaya paksa, yaitu jadikan tersangka, tahan di Rumah Tahanan Negara (Rutan), hingga membawa MRS ke hadapan persidangan Pengadilan sebagai terdakwa untuk mendapatkan keadilan dan kepastian hukum, agar prinsip bahwa setiap orang sama di muka hukum benar-benar terwujud.
“MRS tidak boleh berpandangan bahwa upaya menegakan hukum atas sejumlah Laporan Masyarakat, sebagai tindakan balas dendam dan menzolimi dirinya. Melainkan ini merupakan ruang atau sarana untuk mendapatkan keadilan dan kepastian hukum bagi MRS dan masyarakat atau kita semua,” kata Petrus Selestinus.
Menanggap Kasta Superior
Intelektual muda Islam dan pegiat media sosial, Rani Kurnia, mengatakan, oknum dari kalangan habib memandang dirinya kasta “superior” dan pribumi sebagai bangsa “inferior” yg punya kewajiban melayani habib sebagai pembawa darah suci.
Di masa kolonial sistem kasta tersebut mendapat tempat dalam politik rasis apertheid yang dijalankan oleh pemerintah penjajah Belanda.
Belanda membagi kasta berdasarkan ras, imigran Hadramaut selaku Timur asing mendapat posisi di kasta kedua “Timur Asing” di atas “Pribumi”. Dan didalam kalangan imigran Hadramaut pun dibentuk sub sub kasta yg terdiri dari; Kasta sayyid, Kasta masyaikh, Kasta qabili, dan Kasta abid.
Rasisme tersebut mendapat perlawanan dari kalangan pejuang kemerdekaan.
Sementara itu di kalangan internal imigran Hadramaut pun timbul perlawanan dari kalangan yang direndahkan hanya karena keturunan tanpa memandang prestasi.
Perseteruan antara kalangan Sayyid dengan kalangan Qabili memuncak ditandai dengan pecahnya Jamiatul Khair, organisasi imigran Arab Hadramaut, yang kemudian kalangan qabili mendirikan organisasi al Irsyad.
Kalangan sayyid bersikukuh bahwa kasta dan rasisme adalah ajaran nabi, sementara kalangan qabili berpendapat bahwa kemuliaan manusia berdasarkan ketaqwaannya bukan karena keturunannya.
Kalangan sayyid mendapat dukungan dari Vanderplas, seorang pejabat Hindia Belanda, karena sejalan dengan eugeunitika rasis yang dijalankan oleh penjajah Belanda, hingga Vanderplas merestui bahkan mendorong didirikannya lembaga swadaya masyarakat rasis Rabithah Alawiyyin.
Untuk itu nantinnya tidak aneh jika ada Sultan yang lebih memilih jadi Koninklijke Nederlands(ch)-Indische Leger (KNIL) atau berpihak pada Republik Indonesia Serikat (RIS) daripada Repulbik Indonesia nantinya.
Selain karena punya ideologi rasisme yang sama, kalangan sayyid pun merupakan sekutu setia yang sangat berjasa mendukung penjajahan, di antaranya saat bersekutu meruntuhkan kerajaan di Gresik, persengkokolan dengan Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) saat meruntuhkan Kesultanan Banten dan yang terbesar adalah peran habib mufti Betawi dalam memadamkan perlawanan Aceh dan perlawanan pejuang tarekat Banten Jawa Madura. Jasanya yang lain memvonis tarekat dan tasawuf sebagai ajaran sesat.
“Atas jasanya yang luar biasa tersebut mufti Betawi tersebut mendapat bintang jasa tertinggi dari penjajah Belanda, bintang oranye dari Ratu Wilhelmina,” ungkap Rani Kurnia.
Marak Sejak Era SBY
Menurut Rani Kurnia, ajaran rasis yang didalili sempat mati suri, tetapi bangkit lagi pada jaman pemerintahan Presiden Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono (20 Oktober 2004 – 20 Oktober 2014). Sebutan ahwal terhadap pribumi sebagai sekedar “saudara ibu” ibarat “second nation” menjadi marak.
“Oknum-oknum keturunan imigran Hadramaut berkampanye rasis. Mereka menempatkan diri sebagai manusia termulia yang harus diistimewakan, dengan dalil yang tidak jelas, mereka mengklaim satu-satunya pembawa darah suci keturunan nabi. Sementara kalangan ahwal, wajib untuk memuliakannya,” ungkap Rani Kurnia.
“Tapi sayang mereka ini mengemis minta penghormatan tapi dengan merendahkan manusia lainnya. Tidak ada rasa hormat mereka terhadap yang lainnya, tak perduli itu ulama atau umara, karena bagi mereka hanya merekalah yang paling mulia. Mereka punya jargon, awamnya sayyid punya derajat 70 kali lebih tinggi dibandingkan ulamanya non sayyid,” tambah Rani Kurnia.
Ironisnya, menurut Rani Kurnia, ajaran rasis tersebut banyak ditelan mentah-mentah oleh kalangan ahwal yang notabene derajatnya direndahkan. Ironisnya lagi justru lebih fanatik dan lebih rasis.
Dikatakan Rani Kurnia, yang terpengaruh ajaran rasis tersebut memang kebanyakan dari kalangan yang dulunya di jaman penjajahan masuk di kasta inlander yang sudah biasa di-sudra-kan dan direndahkan.
Apalagi mereka punya ketakutan mendapat karomah habib, takut kualat, karena dalam biografi habib selalu diceritakan jika ada habib yang tersinggung kemudian habib tersebut marah, lalu mengeluarkan karomahnya.
Dimana dengan karomah tersebut siapapun yang pernah menyinggung habib akan mendapat bala bencana, ada yang rumahnya kebakaran, ada yg jadi buta, ada yg anaknya mati, ada yg kecelakaan hingga cacat dan lain-lain (jauh beda dg karomah wali yang justru menyelamatkan).
Tetapi banyak juga yang tidak termakan sekte habibisme tersebut. Namun itu menjadi pemicu kemarahan sekte habibisme. Oleh karenanya di panggung-panggung majelis habib beredarlah fitnah-fitnah terhadap kiai dan ulama.
Sembunyikan Dalil Ahwal
Oknum habib berkata bahwa bahwa para kiai dan ulama menyembunyikan dalil-dalil tentang kewajiban ahwal memuliakan ahlbait, dan yang dimaksud sebagai ahlulbait tersebut adalah habib bukan yang lain (padahal habib tdk termasuk dlm Ahlul Bait dlm Hadis Tsaqalain dan Al Kisa).
Namun kalangan habib rasis terhenyak saat melihat fakta sejarah bahwa dzuriyah nabi, yg selama ini jadi alasan untuk merendahkan manusia lain, sudah lebih dahulu ada di Nusantara ini, bahkan sdh banyak yang dalam posiisi sbg sultan” yang salah satu gelarnya “Sayidin Panatagama”.Jadi bukan hanya mereka.
Dzuriyah yg awal datang ke Nusantara adalah para pengungsi Hadramaut di zaman Belanda dan ternyata telah banyak bertebaran yang diantaranya menikahi putri raja-raja setempat, hingga keturunannya menjadi bangsawan pribumi. Dzuriyah yg lain menjadi tokoh-tokoh agama yg mendirikan perguruan dan pesantren Islam.
Alih-alih merasa gembira karena ternyata ada kerabat, kalangan habib yang panik kalah pamor dan berusaha menyambungkan kekerabatan dan persaudaraan tetapi malah mendiskreditkan bahwa nasab keraton palsu, nasab para kiai putus, dan Walisongo abtar.
Apalagi tidak ada julukan habib sebelumnya, padahal kosa kata “Habib” sendiri baru mengemuka di Yaman setelah generasi ke-23 – 25 atau dititik tertinggi pada generasi walisanga kalau di nusantara. Sebagai awal leluhur mereka menitikberatkan pada “akhlaqul” karimah sehingga gelaran mereka umumnya adalah “al Imam”, bukan malah cuman “nasabul karimah”
Tentu saja sikap demikian menimbulkan ketersinggungan kerabat keraton, kiai dan kerabat Walisongo yang kemudian mendirikan lembaga nasab Rabithah Azmatkhan, termasuk yang lebih khusus telah ada pencatatan pd kasultanan” nusantara. Hanya sayangnya akibat adanya lembaga tersebut malah menjadi ashobiyah baru dan beberapa oknum malah ikut ikutan rasis.
Banyak kalangan yang sengak dengan kelakuan oknum habib, makin sengak lagi saat berlindung dengan dalil bahwa mereka dzuriyah nabi yang seakan diberi keistimewaan untuk bertindak kurang ajar dan rasis.
“Karena muak dengan kelakuan oknum habib tersebut hingga masyarakat bertanya-tanya apa benar habib keturunan nabi dan apa benar nabi mengajarkan rasisme?
Padahal dlm Al-Quran ditegaskan: ‘Sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah adalah orang paling bertakwa di antara kalian)’ (QS. Al-Hujurat: 13). Jadi bukan habib, sayyid atau syarifnya tetapi takwanya, akhlaknya,” kata Rani Kurnia. (Aju)