JAKARTA (IndependensI.com) – Jika kita mengacu kepada pengalaman para ulama terdahulu dari mulai generasi Wali Songo hingga hari ini, mereka ini sebenarnya memiliki konsep koridor berdakwah yang sangat luar biasa. Karena mereka menggunakan metode dakwah kultural, yaitu dakwah yang menggunakan pendekatan kultur dan budaya nusantara.
Instruktur Pendidikan Kader Penggerak Nahdlatul Ulama (PKPNU) Nasional, Dr Adnan Anwar, MA, mengatakan bahwa budaya Nusantara terkenal dengan adi luhung, yang mana mengandalkan etika dan moral. Dan itulah yang di pakai oleh ulama dari sejak jaman Walisongo hingga hari ini. Inilah yang kemudian menyebabkan terjadi Harmoni dalam beragama.
“Di Nusantara ini terjadi Harmoni beragama itu karena starategi yang tepat yakni dakwah kultural itu. Meskipun di dalam konteks Islam dikenal ada Amar ma’ruf nahi mungkar, Yang mana Amar ma’ruf itu menyiarkan perbuatan yang baik dan nahi mungkar itu mencegah kejahatan yang kemungkaran. Tapi nahi mungkar nya juga dengan ilmu bil Ma’ruf . Mencegah kemungkaran dengan cara-cara yang baik dan santun,” ujar Adnan Anwar di Jakarta, Kamis (10/12/2020).
Lebih lanjut, Adnan mencontohkan bahwa pada jaman Alm. KH. As’ad Syamsul Arifin yang merupakan Pengasuh Pondok Pesantren (Ponpes) Salafiyah Syafi’iyah di Situbondo, kemudian alm. KHi Ali Ma’shum (Rais Aam Syuriyah PBNU 1980-1984) itu ketika mengkritik pemerintahan jaman Soeharto itu tidak menggunakan metode terbuka. Tapi langsung Tabbayun mendatangi pak Harto.
“Mereka datang langsung bersilaturahmi dengan Pak Harto dan ber-Tabbayun terhadap masalah yang berkembang di masyarakat Indonesia. Jadi mereka itu tidak mau melakukan konfrontasi terbuka terhadap pemerintah. Karena tahu betul bahwa fatwanya ulama itu memiliki pengaruh luar biasa terhadap umat,” jelas Tokoh Pemuda NU itu.
Menurutnya, dengan cara-cara seperti itu membuat stabilitas negara tetap terjaga dengan baik. Sayangnya ia menyebut bahwa metode tabbayun yang tertutup ini sudah mulai ditinggalkan apalagi oleh orang-orang atau kelompok yang mengaku sebagai ulama tapi tidak menggunakan cara-cara ulama yang benar di dalam menyelesaikan masalah itu.
“Merka ibaratnya sekarang ini menggunakan metode jalanan. Sehingga situasi negara dan bangsa itu menjadi ruwet dan rusuh pada hari ini karena mereka yang mengaku sebagai ulama ini tidak menggunakan cara-cara ulama yang benar, sehingga tidak menyelesaikan masalah,” ucapnya.
Selain itu, mantan Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) PBNU ini juga menyampaikan bahwa kalau ada ulama yang menyelesaikan masalah kepada orang yang awam dengan menggunakan cara-cara atau pidato yang menyebarkan kebencian tentunya hal itu tidak benar. Karena ia menyebut bahwa ulama ini memiliki kedudukan yang sangat tinggi, sebagai Al Ulama Warosatul Anbiya atau pewaris para Nabi.
“Nah para ulama kita inilah yang pada saat negara ini merdeka, mereka bersepakat dengan para pendiri bangsa untuk mendirikan negara yang berbasis negara Pancasila. Tidak memilih negara berbasis agama tetapi negara berbasis Pancasila dan UUD 1945,” tutur salah satu pendiri situs NU Online itu.
Ia menyebut bahwa ini sangat luar biasa, karena dengan itu dapat menghargai seluruh kelompok-kelompok yang ada. Sehingga setiap kelompok baik kelompok keagamaan atau yang lain ini memiliki kedudukan yang sama di depan hukum negara. Ia menyebut bahwa dengan ideologi Pancasila, maka secara otomatis kita mengedepankan prinsip-prinsip moderasi dalam masyarakat serta prinsip-prinsip dalam hubungan yang bersifat keragaman dan sebagainya
“Karena memang para ulama itu sadar bahwa realitas dan entitas kita sebagai negara bangsa itu memang sudah berbeda sejak dulu. Tidak kita memaksakan kehendak untuk satu kelompok ini. Dan inilah hasil kita pada hari ini bisa bertahan karena pikiran-pikiran besar ulama kita pada waktu itu sampai hari ini,” kata pria yang juga pernah manjadi peneliti di Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) itu.
Pria yang juga diutus sebagai pengembang organisasi NU di kawasan Timur Tengah itu juga menuturkan bahwa dakwah yang paling baik dan dianjurkan oleh Rasulullah yaitu dakwah Bil Hal dan bil Akhlak, yang mana merupakan dakwah dengan amal perbuatan yang baik dengan akhlakul karimah. Yang melarang seorang Alim untuk menyebarkan cacian dan kebencian secara membabi-buta di ruang publik.
“Yang mana di dalam ruang publik dan ruang privat itu ulama harus berhati-hati dalam menyampaikan dakwahnya. Karena bisa saja menimbulkan sentimen anti agama dan memicu konflik yang dapat menimbulkan konflik agama seperti di Timur Tengah,” tuturnya.
Terlebih Adnan menyebut dengan adanya sosial media, isu seperti ini bisa tidak terkendali dan dapat memicu konflik horisontal. Maka harus menyuarakan kembali kepada dakwah yang Bil hal dan Bil akhlak supaya tidak terjerembab kepada ancaman konflik horizontal berbasis agama. Menurutnya dakwahnya harus dalam rangka menjaga ketertiban umum.
“Karena kalau ribut atau konflik tentunya kita juga tidak bisa beribadah. Jadi seperti itu strategi beliau-beliau ini dalam menyampaikan dakwah yang santun. Maka masyarakat juga harus paham bahwa beragama itu harus memiliki Sanad keilmuan yang jelas. Ilmunya nyambung dari kita hari ini sampai kepada zaman Rasulullah,” ujar alumni Universitas Airlangga Surabaya ini
Sanad keilmuan menurut Adnan yakni para guru-gurunya harus jelas. Misalnya dari KH Hasyim Ashari, nyambung diatas gurunya KH Hasyim Ashari dan terus menyambung sampai Rasulullah. Dari Syekh Muhammad Mahfudz at-Tarmasi menyambung ke guru-gurunya sampai langsung ke Rasulullah. Jika sudah seperti itu Adnan menyebut bahwa sanad keilmuannya tidak menyimpang.
“Jadi tafsir yang melenceng itu karena menafsirkan agama secara sendiri, tidak dengan guru dan ilmu yang mumpuni. Inilah yang akhirnya menyebabkan kesesatan yang dapat membahayakan kepentingan masyarakat luas,” ujarnya mengakhiri.