Jannus Th Siahaan

 Apa Manfaat bagi Indonesia Jika Buka Hubungan Diplomatik dengan Israel 

Loading

Oleh: Dr Jannus TH Siahaan

Baru saja muncul pemberitaan di sejumlah media internasional dan Indonesia bahwa Arab Saudi dan Uni Emirat Arab berusaha merayu Indonesia untuk mengikuti langkah mereka menormalisasi hubungan diplomatik dengan Israel. Pertanyaannya, ada apa dibalik Arab Saudi dan Uni Emirat Arab membujuk Indonesia membuka hubungan diplomatik dengan Israel?

Normalisasi diplomasi Israel dengan Indonesia akan bernilai “jual” yang tinggi di pentas Internasional, terutama untuk Israel dan Arab Saudi karena Indonesia adalah negara berpenduduk muslim terbesar di Dunia.

Sekitar 209,12 juta jiwa atau sekitar 87% dari total populasi Indonesia beragama Islam. Jika hal itu terjadi maka Israel akan sangat diuntungkan dari sisi pencitraan. PM Israel Benyamin Netanyahu pun demikian. Seluruh dunia akan tersentak jika pemerintahan Netanyahu berhasil merayu Indonesia untuk membuka hubungan diplomatik.

Sebenarnya normalisasi ini secara nilai geopolitiknya lebih penting untuk Israel, ketimbang Indonesia. Israel bermasalah di Timur Tengah, tapi bukan di Asia Tenggara. Jika mayoritas negara di kawasan Timur Tengah terus-menerus bermusuhan dengan Israel, maka Israel akan selalu menjadi target serangan dan tidak aman.

Dan potensi-potensi serangan tersebut justru sangat besar dari negara-negara Timur Tengah sendiri karena faktor geografis dan geopolitik, sementara nyaris nihil dari negara-negara berpenduduk muslim di kawasan Asia Tenggara

Sementara bagi Arab Saudi, jika berhasil mendorong Indonesia condong ke Israel, maka Arab Saudi akan punya celah mengembalikan pamornya di Timur Tengah karena semakin dipandang sebagai pemimpin negara-negara muslim yang berhasil memediasi kepentingan negara-negara muslim, baik dengan lawan maupun dengan kawan.

Lantas bagaimana dengan Indonesia? Jika normalisasi dicetuskan dan direalisir maka penolakan dipastikan akan muncul, sebagaimana biasanya. Karena ketika terkait dengan Israel, maka rerata penduduk muslim Indonesia akan mendadak menjadi syiah dan Iran, yakni melihat Israel sebagai negara yang harus dimusnahkan.

Tapi peluang normalisasi itu untuk Indonesia tetap ada karena konstelasi politik dalam negeri telah membuktikan bahwa apapun yang ingin dilakukan pemerintah, atau jika pemerintah menghendaki sesuatu sebagai kebijakan maka akan terwujud meskipun diawali dengan banyak penolakan.

Tapi pada akhirnya resistansi itu dalam kenyataannya hilang sendiri. Lihat saja kasus reformasi KPK dan Omnibus Law, pemerintah bisa dengan santai menafikan semua penolakan. Jadi jika Saudi, UEA, dan Israel bisa membujuk pemerintah Indonesia untuk menormalisasi hubungan dengan Israel, maka Pemerintah berpeluang untuk mewujudkannya.

Tapi tentu Indonesia harus cerdik dalam mewujudkannya merujuk pada istilah tak ada makan siang gratis. Indonesia harus bisa bernegosiasi dengan keempat pihak, baik dengan Saudi, UEA, Israel, dan Amerika Serikat.

Indonesia bisa menjadikan Lembaga Pengelola Investasi sebagai instrumen tawar-menawar dengan Saudi dan UEA, di mana kedua negara harus mengalokasikan sejumlah dana yang besar untuk diinvestasikan di dana abadi Indonesia (LPI), bisa beberapa miliar dollar untuk masing-masing.

Lantas dengan Israel, Indonesia bisa bernegosiasi untuk mendapatkan teknologi misil dan drone, teknologi intelijen, teknologi canggih untuk sektor pertanian seperti yang telah lama sukses diaplikasikan Israel di gurun Negev di Israel, serta investasi dari capital-capital ventura Israel untuk bisnis start up-start up Indonesia.

Dan terakhir kepada Amerika Serikat, Indonesia tentu bisa mewujudkan keinginan untuk segera memiliki pesawat tempur canggih sekelas F35 dan F35s dan komitmen investasi di laut Natuna yang notabene berarti adanya jaminan Amerika Serikat untuk mempertahankan Natuna tetap berada di wilayah kedaulatan Republik Indonesia sampai kapan pun, karena selama ini sudah sering terjadi gangguan dari China. Dan banyak lagi model negosiasi strategis lainnya yang bisa diajukan.

Tapi, apakah pemerintah mau dan mampu mengatasi persoalan yang akan muncul di dalam negeri jika keputusan luar biasa itu direalisasikan? Jawabannya sangat tergantung pula kepada para elit di dalam koalisi pemerintahan sendiri. (*)

Penulis adalah Pengamat Pertahanan dan Keamanan, tinggal di Bogor, Jawa Barat