Sekretaris Jenderal Dayak International Organization (DIO) Dr Yulius Yohanes, M.S

DIO: Presiden Diminta Fokus Bangun Karakter dan Jatidiri Bangsa

Loading

JAKARTA (Independensi.com) – Sekretaris Jenderal Dayak International Organization (DIO) Dr Yulius Yohanes, M.Si, meminta Pemerintahan Presiden Joko Widodo (20 Oktober 2014 – 20 Oktober 2024) lebih fokus kepada pembangunan karakter dan jatidi bangsa di dalam pengamalan ideologi Pancasila, berlandaskan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan Bhineka Tunggal Ika.

“Pembangunan infrastruktur yang massif, tidak akan ada artinya kalau pembangunan karakter dan jatidiri bangsa tidak segera dieksekusi ke dalam takaran teknis dari Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, serta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan,” kata Yulius Yohanes di Jakarta, Senin pagi, 14 Desember 2020.

Menurut Yulius Yohanes, di awal Pemerintahan Presiden Joko Widodo, publik senang mendengar program revolusi mental. Revolusi mental sedianya ditujukan kepada penjabaran hal-hal teknis di dalam pembangunan karakter dan jatidiri bangsa, sesuai Konsepsi Trisaksi, yaitu berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi dan berkarakter secara budaya.

Sehubungan dengan itu, maka digelar seminar nasional di Kementerian Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) di Jakarta, Selasa, 4 April 2017, dengan kesimpulan, pembangunan di Indonesia di masa mendatang, mesti melalui akselerasi kapitalisasi modernisasi kebudayaan asli Indonesia, mengingat hal serupa menjadi kemajuan utama di bidang ekonomi dan teknologi inovasi di China, Jepang dan Korea Selatan.

Pada 27 April 2017, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) mengesahkan undang-undang pemajuan kebudayaan. Dimana dikenal dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017, tentang Pemajuan Kebudayaan.

Kemudian, pada 7 Nopember 2017, penetapan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, tentang keberadaan aliran kepercayaan di Indonesia yang lahir dari kebudayaan asli Indonesia. Seterusnya, pada Minggu, 9 Desember 2018, Presiden Joko Widodo, menerima naskah akademis strategis pembangunan kebudayaan Indonesia dari Kementerian Pendidikan dan kebudayaan.

“Pada tataran payung hukum dan langkah strategis Pemerintah Indonesia, sudah betul. Tapi dalam aplikasi teknisnya, tidak didukung dalam program Kementerian Koordinasi Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Republik Indonesia, serta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Sehingga dari aspek nation building, Pemerintahan Presiden Joko Widodo, gagal,” ujar Yulius Yohanes.

Menurut Yulius Yohanes, permasalahan dihadapi Indonesia sekarang sudah sangat serius, karena tengah terjadi genocide culture, bertujuan mengganti ideologi Pancasila yang lahir dari kebudayaan asli Indonesia, menjadi ideologi khilafah sebagaimana dilakukan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang sudah dibubarkan berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017.

Hate speech terhadap pihak yang tidak sejalan dan atau atas kelompok minoritas, penghinaan terhadap lembaga Negara, Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Polisi Republik Indonesia (Polri) tumbuh marak dilakukan Mohammad Rizieq Shihab (MRS) dan Front Pembela Islam (FPI), sehingga yang bersangkutan dipaksa menyerahkan diri di Markas Polisi Daerah Metropolitan Jakarta Raya (Polda Metro Jaya), Sabtu, 12 Desember 2020.

Menurut Yulius Yohanes, MRS dan FPI, sebagai salah satu aktor dari genocide culture di Indonesia, dimana memaksa Indonesia berperilaku kearab-araban dan menganut ideologi khilafah.

“Tapi tindakan hukum terhadap MRS dan FPI, sifatnya hanya memadamkan api di permukaan. Akar permasalahan ranah psikologis masyarakat harus dibenahi. MRS dan FPI, itu, masalah ideologi. Tidak semudah yang dibayangkan dengan hanya melakukan penegakan hukum. Di samping tindakan hukum, genocide culture ini harus dilawan melalui langkah kontra genocide culture, melalui gerakan kembali kepada karakter dan jatidiri bangsa, yaitu mencintai dan merawat kebudayaan sendiri,” ujar Yulius Yohanes.

Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI), Petrus Selestinus, mengatakan, penahanan MRS di Polisi Daerah Metropolitan Jakarta Raya, Sabtu, 12 Desember 2020, bukanlah suatu perisitiwa yang luar biasa, tetapi yang luar biasa adalah sikap tegas, berani dan konsisten dari Polri memenuhi janji.

Publik berharap semoga sikap tegas, berani dan konsisten dari Polri, tidak hanya berhenti pada kasus MRS dan FPI dan hanya dilakukan oleh Polda Metro Jaya. Akan tetapi harus menjadi sikap dan ciri khas Polri untuk semua kasus di masa yang akan datang.

Penegakan hukum terhadap MRS harus menjadi langkah awal Negara/Pemerintah menempatkan hukum sebagai panglima, karena selama ini posisi hukum sebagai panglima hanya sebatas slogan kosong.

Menurut Petrus Selestinus, rasa keadilan publik, ketenteraman dan kenyamanan publik dalam tertib sosial masyarakat sebagai hukum tertinggi atau “Salus Populi Suprema Lex” harus diwujud-nyatakan mulai dari sekarang dan untuk selama-lamanya.

Dengan demikian, ke depan siapapun pimpinan Penegak Hukum, maka sistem hukum yang sudah baku harus ditegakkan secara konsisten, harus satunya kata dan perbuatan terutama terkait pelayanan keadilan bagi rakyat banyak.

“Institusi TNI dan Polri berada dalam legitimasi yang tinggi karena kepuasan publik atas kemauan politik pemerintah menegakan hukum. Sehingga TNI dan Polri mendapat kepercayaan dan dukungan penuh dari masyarakat dalam tindakan nyata yaitu menjaga NKRI dan Menegakan Hukum,” kata Petrus Selestinus.

MRS menjadi salah seorang yang saat ini menghadapi peristiwa Penangkapan dan Penahanan setelah sebelumnya sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh Penyidik Polda Metro Jaya.

Pasal pelanggaran yang disangkakan adalah melanggar pasal 93 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan dan pasal 160 jo pasal 216 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dan pada tanggal 12 Desember 2020 dilakukan Penangkapan, disusul dengan Penahanan.

Petrus Selestinus, mengatakan, ratio legis dari penahanan terhadap seseorang, adalah karena alasan obyektif berdasarkan pasal 21 ayat (4) KUHAP, juga pada alasan subyektif sesuai pasal 21 ayat (2) KUHAP yaitu terdapat “keadaan yang menimbulkan kekhawatiran” bahwa tersangka akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti atau mengulangi Tindak Pidana.

Penyidik memiliki alasan obyektif yaitu ancaman pidana pasal 160 KUHP adalah 6 (enam) tahun penjara dan alasan subyektif untuk menahan MRS adalah timbul kekhawatiran MRS melarikan diri yang didasarkan pada beberapa fakta yang beralasan hukum untuk melakukan penahanan, antara lain sebagai berikut.

Pertama, pada 26 April 2017 saat dipanggil Penyidik Polda Metro Jaya sebagai saksi dan/atau tersangka dalam kasus chat whatsapp mesum dengan janda baheno Firza Hussein, MRS tidak datang memenuhi panggilan. Bahkan ketika hendak dijemput paksa Penyidik pada Mei 2017, MRS sudah meninggalkan Indonesia dengan alasan Umroh dan tidak segera kembali ke Indonesia.

Kedua, MRS masih akan menghadapi proses penyidikan terhadap belasan Laporan Masyarakat terhadap MRS terkait dugaan tindak Pidana Penodaan Agama, Ujaran Kebencian, Penghinaan dan lain-lain yang prosesnya tidak berjalan selama 4 tahun karena MRS lari dari proses pidana.

Ketiga, begitu tiba kembali di Indonesia (setelah menghindar dari penyidikan beberapa kasus pada tahun 2017), MRS langsung melakukan perbuatan lain yang disangkakan sebagai melanggar Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan dan pasal 160 jo pasal 216 KUHP yang menyebabkan MRS ditahan.

Keempat, lanjut Petrus Selestinus, karena pada tahun 2003 MRS pernah divonis dengan pidana penjara 7 (tujuh) bulan, dan pada Juni 2008 dalam peristiwa pidana yang lain MRS pernah dihukum dengan pidana penjara 1 (satu) tahun dan 6 (enam) bulan penjara sehingga status MRS adalah residivis. (Aju)