Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Yasonna Laoly

Pembubaran FPI Wujud Resolusi DK-PBB Berantas Terorisme

Loading

JAKARTA (Independensi.com) – Surat Keputusan Bersama (SKB) 6 Menteri/Pejabat Tinggi Negara pada 30 Desember 2020, tentang larangan kegiatan, penggunaan simbol dan atribut, serta penghentikan kegiatan Front Pembela Islam (FPI), wujud dari Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK-PBB).

DK PBB Nomor 2560, dikeluarkan pada Selasa, 29 Desember 2020, tentang Perbaikan Metode Kerja Komite Sanksi 1267 yang diprakarsai Indonesia dan Amerika Serikat (AS).

Komite Sanksi 1267 yang diketahui Indonesia, merupakan badan subsider DK-PBB yang bertanggung jawab menetapkan, dan mengawasi implementasi sanksi terhadap individu dan entitas yang berafiliasi dengan kelompok The Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) dan Al Qaida.

Indonesia menjadi Anggota Tidak Tetap pada Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK-PBB) periode 2019 – 2020. Pada 8 Juni 2018, Indonesia telah terpilih menjadi Anggota DK-PBB untuk periode 2019 – 2020, bersama Jerman, Afrika Selatan, Belgia dan Republik Dominika.

Surat Keputusan Bersama (SKB) tanggal 30 Desember 2020, ditandatangani Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia, Prof. Yasonna Hamonangan Laoly, S.H., M.Sc., Ph.D, Menteri Komunikasi dan Informatika, Johny G Plate, Jaksa Agung S.T. Burhanudin, Kepala Polisi Republik Indonesia, Kepala Polisi Republik Indonesia Jenderal Polisi Idham Aziz, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komisaris Jenderal Polisi Boy Rafly Amar.

Surat Keputusan Bersama (SKB) pada Rabu, 30 Desember 2020, tentang larangan kegiatan, penggunaan simbol dan atribut, serta penghentikan kegiatan Front Pembela Islam (FPI) dibacakan Wakil Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia, Prof Dr Edward Omar Sharif Hiariej SH, MH.

Dalam SKB, Rabu, 30 Desember 2020, disebutkan, alasan pelarangan FPI, karena organisasi yang berkolerasi dengan organisasi terorisme internasional, di antaranya The Islamic State of Iraq dan Syuria (ISIS), sudah tidak diperpanjang Surat Keterangan Terdaftar (SKT) di Kementerian Dalam Negeri sejak 21 Juni 2019.

Di dalamnya disebutkan, sebanyak 35 orang anggota FPI terlibat tindak pidana terorisme, dimana 29 orang di antaranya telah dijatuhi hukuman pidana penjara, 206 orang terlibat tindak pidana umum, dimana 106 orang di antaranya telah dijatuhi hukuman pidana.

Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan Republik Indonesia, Prof Dr Mahfud MD, menegaskan, SKB pada 30 Desember 2020, sudah melalui kajian matang, termasuk di antaranya masukan dan pendapat dari kalangan masyarakat, demi keutuhan NKRI, agar Pemerintah Republik Indonesia, bersikap terhadap Mohammad Rizieq Shihab (MRS) dan FPI.

MRS dan 5 pentolan FPI, telah ditetapkan sebagai tersangka di Polisi Daerah Metropolitan Jakarta Raya, atas kasus hate speech, kebencian dan permusuhan terhadap Negara.

MRS dan FPI selalu berupaya mengganti ideologi Pancasila dengan ideologi Islam garis keras, yaitu khilafah. MRS kabur ke Arab Saudi sejak 26 April 2017 dan kembali ke Indonesia, pada Selasa, 10 Nopember 2020. MRS tersangkut 14 laporan masyarakat di Polisi Daerah Metropolitan Jakarta Raya, Polisi Daerah Jawa Barat dan Polisi Daerah Bali.

“Melalui adopsi resolusi tersebut, Indonesia menjadi negara Anggota Tidak Tetap DK-PBB pertama, yang berhasil mendorong pengesahan resolusi terkait Komite Sanksi DK PBB dalam penanggulangan terorisme,” tegas Retno P Marsudi, Menteri Luar Negeri Republik Indonesia.

Dilansir Voice of America, Rabu, 30 Desember 2020, dukungan penuh dari seluruh anggota DK-PBB merupakan cerminan kepercayaan dan pengakuan atas pengalaman dan rekam jejak Indonesia dalam penanggulangan terorisme, khususnya sebagai Ketua Komite Sanksi 1267 dalam dua tahun terakhir ini.

Beberapa hal utama dalam Resolusi 2560 yang diloloskan dalam sidang terakhir DK-PBB 2020: mendorong peningkatan keadilan dan efektivitas fungsi dan metode kerja komite sanksi tentang terorisme, menekankan pentingnya mekanisme sanksi sebagai bagian dari upaya menanggulangi terorisme, mendorong negara untuk mengimplementasikan sanksi, dan memutakhirkan daftar sanksi, menekankan pentingnya menjunjung tinggi hak asasi manusia, penghormatan pada Piagam PBB dan hukum internasional.

Resolusi menugaskan Tim Pemantau Komite 1267 untuk mempersiapkan rekomendasi guna memperbaiki aturan dan prosedur di komite itu. Resolusi menutup keanggotaan tidak tetap Indonesia di Dewan Keamanan PBB Periode 2019-2020.

Siaran pers Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, menambahkan, selama dua tahun menjadi Anggota Tidak Tetap DK-PBB, Indonesia dipercaya memimpin tiga badan subsider DK PBB: Komite Sanksi 1267, Komite Sanksi Afghanistan, dan Komite Non-Proliferasi Senjata Massal.

Indonesia memprakarsai dua resolusi penting DK PBB yaitu Resolusi 2538 tentang Perempuan Dalam Misi Perdamaian PBB dan Resolusi 2560 tentang Perbaikan Metode Kerja Komite Sanksi 1267.

“Pengesahan resolusi ini merupakan kado akhir tahun 2020 diplomasi Indonesia sekaligus menandai berakhirnya keanggotaan Indonesia di DK PBB sejak tahun 2019,” lanjut Retno P Marsudi kepada Voice of America.

Karena itu, upaya pemberantasan aksi radikalisme dan intolerans seperti pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017, tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas), dan larangan aktifitas FPI pasca Surat Keputusan Bersama (SKB) 6 Menteri/Pejabat Tinggi Negara, Rabu, 30 Desember 2020, akan diadopsi dunia internasional di dalam pemberantasan terorisme global.

“Tanggal 30 Desember 2020 masyarakat bangsa Indonesia merasa lega, karena mendapat hadiah berupa kebebasan dari rasa takut yang mencekam selama ini,” kata Jenderal Purn Abdullah Mahmud Hendropriyono (75 tahun), mantan Kepala Badan Intelijen negara (BIN), Rabu, 30 Desember 2020.

Menurut A.M. Hendropriyono, FPI dalam kiprahnya selama ini cenderung jaug dari nilai-nilai kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai dengan Pancasila.

“Kegiatan FPI telah dilarang oleh pemerintah, karena semakin jauh dari kehidupan masyarakat Pancasila yang toleran terhadap perbedaan,” ujar Hendropriyono.

Hendropriyono berharap dengan dibubarkannya ormas yang menggunakan label keagamaan tersebut bisa membuat masyarakat Indonesia bisa lebih tenang dalam menjalankan kehidupan sehari-harinya.

“Rakyat kini bisa berharap hidup lebih tenang di alam demokrasi yang bergulir sejak reformasi 1998,” ungkap Hendropriyono.

Selama ini kata Hendropriyono, FPI sering kali melakukan aksi-aksi anarkisme di kalangan masyarakat, beberapa di antaranya adalah penggerebegan orang-orang yang tengah menjalankan peribadatannya yang bukan sealiran dan seagama dengannya. Termasuk melakukan sweeping yang sebetulnya adalah ranah aparat keamanan dan penegak hukum.

“Tidak akan ada lagi penggerebegan terhadap orang yang sedang beribadah, terhadap acara pernikahan, melarang mnghormat bendera merah putih, razia di cafe-cafe, mini market, toko-toko obat, warung makan, mall dan lain-lain kegiatan yang main hakim sendiri,” ungkap Hendropriyono.

Mantan Kepala Badan Intelijen (BIN) tersebut menilai bahwa masyarakat Indonesia setidaknya bisa merasakan lega karena ormas yang selalu melabeli diri sebagai pembela Islam namun sering melalukan melakukan pelanggaran hukum itu kini telah dibubarkan dari Indonesia.

“Kegiatan kriminal yang terorganisir dengan kedok agama kini telah dihentikan pemerintah demi tegaknya hukum sekaligus disiplin sosial,” kata Hendropriyono.

“Hanya dengan disiplin kita bisa mencapai stabilitas dan hanya dengan stabilitas kita dapat bekerja untuk mencapai keamanan dan kesejahteraan bersama,” ucap Hendropriyono.

Hendropriyono memberikan pesan keras kepada siapapun organisasi yang terafiliasi secara tidak langsung dengan FPI agar menjadikan pembubaran ormas tersebut sebagai pembelajaran.

“Jika tidak, maka bisa jadi mereka akan mendapatkan gilirannya untuk dibubarkan. Organisasi pelindung eks FPI dan para provokator tunggu giliran,” ancam Hendropriyono. (Aju)