Jack Ma

Kemarahan China, Jack Ma Tidak Beretika

Loading

JAKARTA ( Independensi.com) – Pegiat media sosial dan pelaku bisnis yang banyak berhubungan dengan pengusaha China, Erizely Bandaro, menilai, Jack Ma (Ma Yun) pengusaha telekomunikasi digital yang sekarang berusia 56 tahun, dinilai tidak beretika, sehingga menimbulkan kemarahan Presiden Xi Jinping dan Partai Komunis China.

Hal itu dikemukakan Erizely, Senin pagi, 4 Januari 2021, menanggapi Kantor Berita Nasional China, Xinhua.com, Kamis, 24 Desember 2020, bahwa China memulai penyelidikan praktik monopoli dilakukan grup perusahaan Jack Ma.

Sejumlah media massa di Amerika Serikat, Israel, Inggris, Rusia dan Jerman, mengklaim, memang semenjak akhir Oktober 2020, Jack Ma, sudah tidak lagi tampil di layar televisi, untuk talk show, setelah mengkritik kebijakan ekonomi Partai Komunis China.

Banyak spekulasi muncul di balik Jack Ma menghilang dari publik. Di antaranya tidak menutup kemungkinan sudah ditahan otoritas militer, sebuah langkah yang lumrah dilakukan bagi politisi dan pelaku ekonomi yang tidak sejalan dengan kebijakan Partai Komunis China, demi terjaminnya stabilitas politik, ekonomi dan keamanan di dalam negeri.

Jack Ma, memang pada tahun 2013, pernah diperingatkan People’s Daily, media corong Partai Komunis China. Karena tetap keras kepala, maka People’ Daily, menurunkan berita pemecatan Jack Ma dari Partai Kominis China tahun 2018.

“Melalui jaringan televisi di rubrik talk show, Jack Ma, sengaja membuat dirinya menjadi terkenal. Hal ini tidak lazim dalam sistem politik dan ekonomi yang harus sejalan dengan kebijakan Partai Komunis China,” kata Erizely Bandaro.

Jack Ma dikreditkan sebagai bapak modernisasi China dari dunia yang terfragmentasi menjadi dunia digital yang sepenuhnya terhubung melalui internet dan mengubah China menjadi masyarakat tanpa uang tunai, tentunya dia tidak bisa menjadi orang jahat.

Tapi yang tidak diketahui banyak orang adalah Jack Ma, melalui kelompok usaha Alibaba sebenarnya 33% dikendalikan Softbank Jepang dan 22% oleh Wall street United State of America (USA) Yahoo finance, Jack Ma hanya memiliki sedikit 5,67% saham di Alibaba.

Kalau di negara lain, hal ini tidak masalah. Tapi menjadi problem serius di China, karena kebijakan politik dan ekonomi harus sejalan dengan langkah yang digariskan Partai Komunis China. Ini membuat banyak kalangan sebagai skandal spionase ekonomi terbesar di abad ke-21.

Diungkapkan Erizely Bandaro, Pada tahun 1999 sehari sebelum China bergabung dalam organisasi perdagangan dunia, World Trade Organization (WTO), Jack Ma  (Ma Yun) mendirikan Alibaba di Hangzhou.

Jack Ma diuntungkan dari adanya liberalisasi ekonomi di bawah Jiang Zemin. Jack Ma bisa leluasa megembangkan Alibaba tanpa ada restriksi berlebihan dari pemerintah China.

Tahun 2004, Jack Ma mendirikan Alipay, sebuah aplikasi pembelian dan pembayaran online di e commerce Alibaba. Tentu berdampak luas terhadap Alibaba. Bukan hanya e commerce tetapi juga menjadi aplikasi pembayaran raksasa bagi pengguna selular.

Melayani lebih dari 1,3 miliar user global. Dari Alipay itu dia mendirikan anak perusahaan Ant Financial Group. Ant juga sebagai provider tekhology untuk fintec bagi perusahaan asuransi dan perbankan.

Sebetulnya raksasa e commerce dan alat pembayaran online, bukan hanya Jack Ma tetapi ada juga Pony Ma pendiri Tencent. Namun nama Pony Ma tidak setenar Jack Ma. Kalau Pony Ma lebih memilih diam dan terkesan misterius.

“Namun Jack Ma sengaja membuat dirinya terkenal dan menjadi pusat perhatian dunia. Ia bagaikan superstar yang tampil  dipanggung dunia. Menjadi pusat perhatian pada pertemuan pengusaha kelas dunia di Davos,” ujar Erizely.

Kebetulan Bahasa Inggris dari Jack Ma, bagus dibandingkan pengusaha China lainnya, sehingga dia benar-benar menjadi orator hebat. Juga motivator bagi kalangan bisnis pemula di bidang Informasi Teknologi (IT). Setidaknya dengan itu, Jack Ma adalah satu satunya pengusaha China yang dapat pengakuan international.

Diungkapkan Erizely, sebatas itu tidak ada masalah bagi pemerintah China. Namun menjadi lain ketika Jack Ma sudah mulai berani mengkritik Pemerintah. Dengan lantang Jack Ma menyindir otoritas China yang masih menerapkan aturan jadul yang sehingga menghambat proses inovasi IT.

Tapi Jack mendapat angin segar dari rakyat China dan dunia. Bahwa Jack Ma membawa pesan pembaharuan. Bahwa FinTech adalah era Jack Ma. Bicara tentang FinTech tidak lepas dari Jack Ma. Tentu keadaan ini membuat Pemerintahan Presiden China, Xi Jinping, menjadi sangat gerah.

“Tidak ada yang disebut era Ma Yun, tetapi Ma Yun adalah bagian dari era China… tidak peduli apakah itu Ma Yun, Ma Huateng, Elon Musk, atau kita orang biasa, mereka yang mencapai potensi terbesar mereka adalah mereka yang merebut peluang yang disediakan oleh pemerintah China,“ ujar Erizely, mengutip pernyataan Presiden Xi Jinping di sejumlah media massa dari banyak negara pada tahun 2019 dan 2020.

Demikian kata juru bicara Parta Komunis China sebagaimana dikutip oleh People’s Daily online. “Itu sinyal keras. Bahwa pemerintah China tidak suka dengan cara dan sikap Jack Ma,” ujar Erizely Bandaro.

Ada yang dilupakan oleh Jack Ma. Bahwa Jack Ma bisa berkembang karena regulasi yang longgar dari Pemerintah China dalam rangka mendukung inovasi financial technologi.

Tujuan pemerintah China tentu berharap dengan kemajuan FinTech ini bisa memberikan akses kepada rakyat China mendapatkan jasa perbankan dan lembaga keuangan dengan mudah dan murah.

Namun yang jadi masalah. Kemajuan Alipay tidak seperti philosofi Pemerintah China terhadap Fintech.  Sistem alat pembayaran Alipay telah menjadi rentenir yang memeras rakyat kecil. Tidak ada trasparansi. Kalau bunga pinjaman dijanjikan 0%, ternyata rakyat dibebani di atas 15%.

Belum lagi soal tabungan lewat Fintech yang tidak jelas tingkat bunga dan jaminan resiko. Lama lama sudah menjelma menjadi bisnis Ponzy.

Di samping itu tidak ada upaya Jack Ma secara serius mendorong kewirausahaan dibidang IT di China. Bahkan keberadaan Alipay dan Alibaba mematikan kompetisi. Apa yang dia katakan tentang kepedulian kepada dunia usaha kecil China, tidak sesuai dengan kenyataan.

Ternyata penyebabnya adalah Jack Ma sendiri bukanlah pengedali atas saham Alibaba dan Alipay ( Ant Financial Group).

Jack Ma hanya menguasai segelintir saham. Sisanya dikuasai oleh konglomerat venture capital wallstreet dan Jepang. Mereka menjadi pengendali. Jack Ma hanya boneka dari konglomerat hedge fund.

“Menurut teman di Beijing” Jack Ma pernah bicara di depan forum wirausahaan. Dia mendukung protes di Hong Kong khususnya dalam memilih pemimpin Hong Kong. Ini sangat sensitif di China,” kata Erizely Bandaro.

Sebelum rencana Ant Financial Group (Alipay), penawaran umum perdana, Initial Public Offering (IPO), otoritas bursa di Shanghai sudah minta keterbukaan informasi kepada Jack Ma dan petinggi Alipay. Namun sampai menjelang IPO, belum juga ada laporan keterbukaan yang memuaskan otoritas. Itu sebabnya dua hari menjelang IPO, otoritas membatalkan rencana IPO Alipay.

Jack Ma  meradang. Berbicara dihadapan publik, “Seharusnya otoritas tidak hanya bicara tentang aturan diatas kertas. Tetapi membuat aturan yang memberikan solusi untuk berkembang.”

Otoritas China tidak terpengaruh dengan omongan Jack Ma itu.

Justru, setelah pembatalan IPO Alipay, beberapa hari kemudian, China meluncurkan aturan baru tentang antitrust, yang memangkas miliaran dolar dari kapitalisasi pasar Alibaba, dan Desember 2020 regulator melakukan penyelidikan antimonopoli ke group perusahaan Jack Ma.

“Cukup? Belum.  Pada hari Minggu (27 Desember 2020), Bank Sentral China mengumumkan bahwa mereka telah memerintahkan eksekutif Ant financial group untuk merombak bisnisnya guna mengatasi masalah kepatuhan berkaitan dengan kredit, asuransi, dan kekayaan.”

“Dan tidak boleh terlibat dalam skema pinjaman arbitrase, Tuntutan tersebut dapat mengarah pada restrukturisasi besar-besaran dari unicorn fintech Alibaba dan alipay. Dan pasti akan menjatuhkan saham Alibaba di bursa NY.”

“Menurut saya, apa yang terjadi pada Jack Ma, tak lebih bagian dari politik nasionalisme China, yang melihat resiko atas kehadiran perusahaan IT yang dimodali dari AS, Jepang, Eropa dan India. Resiko terbesar yang dikawatirkan adalah terjadinya Shock FinTech yang bisa berdampak sistemik terhadap moneter China,” kata Erizely.

Misal, pinjaman publik dan skema pembayaran kepada pihak ketiga lewat fintech dengan aturan arbitrase, itu sangat beresiko terhadap gagal bayar publik, dan ini bisa memaksa negara bailout.

Fintech tetap harus melakukan skema non arbitrase. Tidak boleh secara hukum memaksa orang membayar utang. Jack Ma masuk terlalu jauh dalam bisnis keuangan. Itu sudah melanggar hukum.  Karena Jack Ma hanyalah perusahaan penyedia tekhnologi untuk alat bertransaksi dan pembayaran.

Jack Ma harus belajar bijak sebagai orang China. Yang mengutamakan kerendahan hati dan patuh kepada politik negara. Dia harus belajar dari Pony Ma yang tak pernah menyebut dirinya “ Aku “ tetapi “ kami “.

Atau seperti Zhong Shanshan sang taipan Cina, orang terkaya nomor 1 di ASIA dan nomor 11 di dunia yang tak pernah bersuara di hadapan publik dan terkesan penyendiri. Budaya China adalah kebersamaan,dan kejujuran.(Aju)