Presiden China Xi Jinping

Jack Ma, China dan Kesalahpahaman Dunia

Loading

Oleh: Aju

JAKARTA – China dalam perkembangan terakhir menjadi sangat hati-hati berhadapan dengan Jack Ma alias Ma Yun (56 tahun), manusia terkaya kedua di China, pasca pengumuman Kantor Berita Nasional China, Xinhuanet.com, Kamis, 24 Desember 2020.

Ketika Kantor Berita Nasional Xinhuanet.com, mempertegas peringatan People’s Daily, corong Partai Komunis China tahun 2013, dan akhirnya pada 2018, Jack Ma dikeluarkan dari keanggotaan partai, awalnya China sangat agresif.

Agresifitas Presiden China, Xin Jin Ping, pengendali tunggal Partai Komunis China, bisa dilihat melalui pernyataan media massa luar negeri, mengutip sumber yang tidak bersedia disebutkan namanya di lingkungan Pemerintahan China, mengklaim sudah tidak ada tempat bagi Jack Ma.

Ini memperkuat spekulasi dari kalangan analis, tidak menutup kemungkinan Jack Ma sudah dibunuh, mengingat para pengusaha China yang sebelumnya diperiksa otoritas berwenang, setelah menghilang sudah tidak jelas lagi nasibnya sampai sekarang.

Namun ketika pemegang saham mayoritas perusahaan digital terkemuka Alibaba dan Alipay (milik Jack Ma) dari India, Jerman, Jepang dan Amerika, beraksi keras, dengan menuding China melakukan kriminalisasi, China sudah mulai melunak.

Saat Partai Komunis China memeriksa praktik monopoli Alibaba dan Alipay, atas tekanan dunia internasional, akhirnya sumber anonim (lumrah di China), mengatakan, Jack Ma disembunyikan pada sebuah tempat, untuk tidak boleh berhubungan dengan dunia luar, hingga pemeriksaan berakhir.

Jack Ma

Jack Ma, bisa saja mendapat simpati di lingkungan dunia internasional yang berpengaruh dengan kelangsungan investasi China di luar negeri. Tapi pengusaha nyentrik yang memiliki jaringan luas di luar negeri, akan mendapat masalah besar di dalam negeri.

Paling tidak Jack Ma akan menghadapi masalah perpajakan, melalui investigasi praktik monopoli, dengan konsekuensi hukumnya. Karena masalah pajak dan praktik monopoli merupakan hal yang sangat sensitif.

Apalagi Jack Ma, sudah dikeluarkan dari Partai Komunis China sejak tahun 2018, sehingga tidak ada kelembagaan politik yang melindungi. Partai Komunis China, adalah partai politik tunggal di China.

Geostrategi China
Sistem politik di China, adalah berlandaskan partai komunis, tapi di dalam aplikasinya sudah dimodifikasi sedemikian rupa, karena konsep geosgtragi di dalam menjalankan geopolitik China disesuaikan dengan kebudayaan China.

Karena masalah inilah banyak banyak orang beranggapan China itu tidak ada demokrasi. Itu karena mereka melihat di sana hanya ada satu partai.

Sebetulnya Partai Komunis China tidak lebih dari simbol pemersatu bangsa saja. Di sinilah masih terjadi kesalahpahaman dunia di dalam melihat China, terutama dari Negara Barat dan Amerikat Serikat.

Sementara kekuasaan sebenarnya adalah Kongres Rakyat Nasional (KRN atau kalau di Indonesia, Majelis Permusyawaratan China (MPR).

“Jumlah anggota KRN itu ada 3000 orang. Anggota KRN merupakan wakil propinsi, wilayah administrasi khusus, kota khusus, daerah otonomi dan militer. Setiap perwakilan terdiri dari 34 utusan,” kata Erizely Bandaro, pelaku bisnis asal Indonesia yang banyak berkomunikasi dengan pengusaha China.

Menurut Erizely Bandaro, delegasi dipilih berjenjang lewat Pemilihan Uum (Pemilu). Artinya pemlihan tingkat kelurahan untuk bertarung ditingkat kecamatan. Tingkat kecamatan bertarung di tingkat kabupaten dan akhirnya provinsi. Yang lolos dapat ticket ke tingkat nasional.

Karena pemilihan langsung dari tingkat terendah. Maka jelas rekam jejak calon utusan itu sangat mudah dikenal oleh rakyat. Hebatnya rakyat memilih berdasarkan attitude. Bukan berdasarkan keahlian atau pendidikan.

Artinya mereka hanya akan memilih orang yang jelas ada bakti nyatanya terhadap rakyat. Misal ketua lembaga swadaya masyarakat yang aktif mengadvokasi rakyat untuk mandiri dibidang ekonomi.

Atau ketua Asosiasi bisnis yang rakyat rasakan kehadirannya sangat membantu mereka menyelesaikan masalah usaha mereka. Singkatnya siapa saja yang dikenal baik oleh rakyat, dia akan didorong oleh komunitasnya untuk bersaing.

Karena anggota KRN itu, ujar Erizely Bandaro, tidak semua ahli maka mereka dibantu oleh para professional yang tergabung dalam Komite Nasional Konferensi Konsultatif Politik Rakyat China (KNKKPRC).

“Nah anggota KNKKPRC itu dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilihan berjenjang. Tentu kriterianya adalah keahlian yang mumpuni secara intelektual maupun moral. Jumlah mereka ada 2000 orang,” kata Erizely Bandaro.

Keahlian mereka menyangkut sosial, politik, militer, ekonomi, sain dan budaya. Tugas mereka adalah memberikan masukan kepada anggota KRN. Contoh Jacky Cain. Jacky Cain butuh 30 tahun mengabdi di bidang seni baru dapat terpilih jadi anggota KNKKPRC. Jadi tidak mudah bisa terpilih.

Legislatif negara
Tugas KRN melaksanakan legislatif negara dan memutuskan masalah penting dalam kehidupan politik Negara, yang meliputi membuat undang-undang dan mengamandemen Undang-Undang Dasar.

Kemudian, mensyahkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan menetapkan kebijakan strategis jangka pendek, menengah dan panjang, seperti penentuan daerah otonom, daerah administrasi berserta aturan pendukung system pemerintahannya. Mengawasi tugas pemerintahan.

Tugas KRN memilih pejabat tinggi negara. Namun hanya boleh memilih kader Partai Komunis China. Tidak boleh memilih yang bukan kader.

“Jadi apa fungsi Partai? Ya memproduksi kader terbaik untuk dipilih oleh KRN atau rakyat menempati posisi penting, seperti Presiden dan Wakil President, memutuskan Calon Perdana Menteri dan anggota-anggota lain Dewan Negara, memilih ketua Komisi Militer Pusat dan memutuskan calon anggota-anggotanya, memilih Ketua Pengadilan Rakyat Tertinggi dan Ketua Kejaksaan Rakyat Tertinggi,” ungkap Erizely Bandaro.

Tentu KRN juga berhak memecat pejabat-pejabat tersebut bila terbukti tidak bisa melaksanakan tugasnya.

Sistem politik di China berangkat dari trilogi peradaban kebudayaan Benua Asia, yaitu hormat dan patuh kepada leluhur, hormat dan patuh kepada orangtua, serta hormat dan patuh kepada negara, membuat China sekarang, bisa menghemoni dunia.

Abad ke-21 merupakan era kebangkitan Benua Asia, identik dengan kemajuan ekonomi dan teknologi inovasi di China, Jepang dan Korea Selatan. China, Jepang dan Korea Selatan, ini, menjadi simbol kemajuan dunia, mengalahkan hegemoni Amerika Serikat dan Negara Barat sepanjang abad ke-20 (Atilio A. Boron, & Gladys Lechini, 2005; Bisnis.com, Selasa, 4 April 2017; TASS Russian News Agency, Senin, 25 Mei 2020; The Guardian.com, Senin, 25 Mei 2020).

China menghemoni dunia
Ketika abad ke-21 menjadi milik Benua Asia di dalam menghemoni dunia, menggantikan peran Amerika Serikat dan Negara Barat pada abad ke-20, karakteristik interaksi global menekankan pada diplomasi kebudayaan yang dimotori China.

China mejadi kekuatan ekonomi dan teknologi inovasi baru dunia, pasca kekuasaan Mao Zedong. Mao Zedong lahir di Shaoshan, Provinsi Hunan, 26 Desember 1893, meninggal dunia di Beijing, 9 September 1976 pada umur 82 tahun, adalah seorang tokoh filsuf dan pendiri Negara China.

Mao Zedong menjadi pengendali Partai Komunis China (PKC) periode 20 Maret 1943 – 9 September 1976, dan pendiri Republik Rakyat China (RRC) atau China, 1 Oktober 1949.

Teori Marxis-Leninis, strategi militer, dan kebijakan politik Mao Zedong, secara kolektif dikenal sebagai Marxisme-Leninisme-Maoisme atau Pemikiran Mao Zedong. Setelah revoluasi kebudayaan diusung Mao Zedong, 16 Mei 1966 – 25 Mei 1977, China menjadi semakin terbuka.

Ribuan tahun menganut sistem pemerintahan kekaisaran, terhitung 1 Oktober 1949, China berubah menjadi Republik Rakyat China (RRC) atau China.

Revolusi kebudayaan Mao Zedong, 16 Mei 1966 – 25 Mei 1977, memang banyak mengundang perdebatan, karena awalnya bersifat politik dan berdampak negatif bagi ekonomi dan masyarakat pada tingkat signifikan, tapi berpengaruh pada kebijakan politik luar China pada abad ke-21, yaitu mengedepankan diplomasi kebudayaan.

China melihat budaya merupakan sumber kohesi sosial dan kreativitas yang berkembang, serta faktor yang semakin penting dalam penguatan kekuatan nasional yang komprehensif.

China merasa wajib meningkatkan peran budaya sebagai bagian dari soft power untuk lebih menjamin hak dan kepentingan budaya dasar rakyat (Danielly Silva Ramos Becard, 2019).

Diplomasi kebudayaan sendiri dapat dinyatakan sebagai usaha sebuah negara untuk mengedepankan kepentingan nasionalnya melalui dimensi kebudayaan. Dimensi kebudayaan mencakup pendidikan, ilmu pengetahuan, olahraga, kesenian, hingga propaganda.

Diplomasi kebudayaan bertujuan untuk membentuk opini publik internasional, sehingga dapat mendukung kebijakan politik luar negeri suatu negara tertentu.

Hal ini memungkinkan diplomasi kebudayaan mampu mendukung usaha pencapaian tujuan dan kepentingan nasional. Dalam praktiknya sendiri, diplomasi kebudayaan dapat dijalankan melalui program pemerintahan, media elektronik, maupun cetak.

Seperti bentuk diplomasi pada umumnya, diplomasi kebudayaan ditujukan untuk memperjuangkan kepentingan suatu negara melalui dimensi seperti ideologi, teknologi, politik, ekonomi, militer, sosial, kesenian dan lain­lainnya dalam percaturan masyarakat internasional.

Pertahanan negara
Diplomasi kebudayaan dari aspek pertahanan negara adalah mempelajari bagaimana pengelolaan sumber daya dan kekuatan nasional baik pada saat masa damai, perang, dan sesudah perang, dalam menghadapi segala bentuk ancaman dari dalam negeri maupun luar negeri.

Ancaman yang dimaksud pun sifatnya luas, tidak hanya ancaman bersifat militer, namun juga ancaman yang bersifat nonmiliter yang mampu mengancam keutuhan wilayah, kedaulatan negara, serta keselamatan bangsa.

Lewat diplomasi kebudayaan, China mendirikan Confucius Institutes (CI) pada universitas-universitas di negara tujuan diplomasi. Melalui Confucius Institutes, China melakukan diplomasi kebudayaan, dengan memperkenalkan prinsip hidup berketuhanan sesuai kebudayaan China (Danielly Silva Ramos Becard, 2019).

Confucius Institutes bekerjasama dengan universitas setempat membantu membuka Program Studi Bahasa Mandarin, dengan memperkenalkan nilai-nilai kemananusiaan universal di dalam kebudayaan masyarakat di Benua Asia, memperkenalkan keteladanan, keteguhan dan ketegaran moral dari Confucius.

Confucius, dikenal pula dengan sebutan Konghucu. Di Indonesia ada Agama Konghucu, dengan tokoh sentral sebagai panutan adalah Confucius.

Negara Barat dan Amerika Serikat, melihat kebangkitan China sebagai tantangan terhadap hegemoni yang sangat serius. Bagi orang China, ini hanyalah pemulihan tatanan alamiah – China sebagai ekonomi terbesar di dunia dan pusat dunia. Apa yang membuat Negara Barat dan Amerika Serikat sangat gugup adalah bahwa China telah menghancurkan dua kesalahpahaman penting.

Pertama, harapan bahwa seiring dengan modernisasi, China akan menjadi semakin Barat.

Kedua, gagasan bahwa pemerintahan satu partai oleh Partai Komunis China pasti akan memberi jalan kepada tuntutan demokrasi gaya Barat.

Banyak orang di Negara Barat dan Amerika Serikat mengira bahwa China diintegrasikan ke dalam tatanan ekonomi dan politik Barat, seperti Jepang setelah Perang Dunia II.

Tapi bukan itu cerita yang berkembang. Ke depan, kita harus mengharapkan penegasan dan pengejaran kepentingannya oleh China – baik di lingkungannya maupun di panggung dunia (Shivshankar Menon, 2016).

China telah berhasil mengukuhkan aplikasi filosofi pembentukan karakter dan jatidiri mereka melalui akselerasi, kapitalisasi dan modernisasi Kebudayaan China di dalam pembangunan (sosial, ekonomi, teknologi dan politik), sehingga mampu menghegemoni peradaban dunia di abad ke-21.

China memberikan kebebasan seluas-luasnya bagi masyarakat, untuk memeluk salah satu agama apapun di dunia. Tapi China melarang keras doktrin agama yang dianut dijadikan alat untuk melawan negara. Sebagai negara komunis, China memberikan keleluasaan bagi masyarakat untuk memeluk agama.

Shivshankar Menon (2016), mengatakan, alih-alih menjadi lebih Barat, pemerintahan dan masyarakat China tetap menjadi China yang keras kepala. Jika ada, cengkeraman Partai Komunis China (PKC) atas kekuasaan di China lebih kuat dari sebelumnya.

China telah memperjelas bahwa meskipun China adalah penerima manfaat utama dari era pasar terbuka, perdagangan bebas, dan arus investasi yang dipimpin Amerika Serikat, China juga bertekad untuk memiliki suara independen dalam tatanan ekonomi, politik, dan keamanan di negaranya dan di dunia.(*)

Penulis adalah wartawan senior, penulis buku: Diplomasi Kebudayaan Dayak dalam Geopolitik dan Geostrategi di Borneo (Aju & Yulius Yohanes, 2020. Pontianak: Derwati), sekretariat Dayak International Organization (DIO) dan Majelis Hakim Adat Dayak Nasional (MHADN) Pontianak.