JAKARTA (Independensi.com) – Maraknya aksi radikalisme, intolerans dan ekstrisme yang selalu berujung dengan aksi terorisme di Indonesia, karena dilakukan pembiaran di era pemerintahan Presiden Jenderal TNI Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY (20 Oktober 2004 – 20 Oktober 2014).
Lihat saja maraknya hate speech, sikap bermusuhan secara terbuka terhadap Negara, menuding Pemerintahan Presiden Joko Widodo (20 Oktober 2014 – 20 Oktober 2024) dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) sebagai bagian tidak terpisahkan dari Partai Komunis Indonesia (PKI) karena dekat dengan China, dengan tokoh sentral Mohammad Rizieq Shihab (MRS), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Front Pembela Islam (FPI).
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, periode 20 Oktober 2004 – 20 Oktober 2014, tidak konsisten di dalam menjamin tetap tegak lurus keutuhan negara berideologi Pancasila berlandaskan Undang-Undang Dasar 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Bhinneka Tunggal Ika.
Apapun yang dikritik Partai Demokrat milik Keluarga Besar Susilo Bambang Yudhoyono di era Pemerintahan Presiden Joko Widodo (20 Oktober 2014 – 20 Oktober 2024), dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), selagi di dalam penanganan radikalisme, intolerans dan ektrimisme, tidak lebih dari menepuk air di dulang (panci), perciki, kena muka sendiri.
Kritikan Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono dan PKS, dalam pemberantasan radikalisme, intolerans dan ektrimisme di era Presiden Joko Widodo, tidak lebih dari manuver politik mempermalukan diri sendiri.
Karena khusus PKS, selama 10 tahun pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (20 Oktober 2004 – 20 Oktober 2024), bagian dari koalisi pemerintahan, sehingga sangat menikmati aksi radikalisme, intolerans dan ektrimisme yang selalu berujung kepada aksi terorisme.
Maka sejarah mencatat, Joko Widodo, selama 10 tahun masa pemerintahannya sebagai Presiden Indonesia di era demokratisasi (sejak 21 Mei 1998), sibuk memadamkan api yang sengaja dibiarkan hidup dan membesar di era Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yodhoyono (20 Oktober 2004 – 20 Oktober 2024).
Pernyataan Komaruddin Hidayat
Ini dibenarkan Cendekiawan Muslim Indonesia, Prof Dr Komaruddin Hidayat, dalam Sarasehan Kebangsaan, dengan tema: ”Saya Indonesia, Saya Pancasila”, di Gereja Kristen Indonesia (GKI), Jakarta, Minggu, 20 Agustus 2017, mengatakan, “Susilo Bambang Yudhoyono itu Presiden yang mottonya zero enemy. Susilo Bambang Yudhoyono, tidak mau konflik dengan siapapun. Jadi ketika jelas ada radikalisme dan pelanggaran, dibiarkan saja.”
“Sikap ekstrem yang sudah ada dibiarkan. Akibatnya, terasa di pemerintahan Presiden Joko Widodo. Pemikiran ekstremisme berkembang.”
Komaruddin menganalogikannya dengan kebakaran. Jika ada yang membakar, tapi sekelilingnya membiarkan, maka api tersebut menjadi besar. “Ada ungkapan klasik begini, kelompok minoritas radikal itu ada karena ada mayoritas yang membiarkan itu terjadi. Ketika sudah besar, persoalan radikalisme menjadi lebih sulit diatasi.”
“Tantangan itulah yang kini dihadapi Pemerintahan Presidn Joko Widodo, sekarang,” kata Komaruddin Hidayat di Jakarta, Minggu, 20 Agustus 2017.
Kritikan keras Komaruddin Hidayat selama Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (20 Oktober 2004 – 20 Oktober 2024), hanya berselang satu bulan penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang (Perrpu) Nomor 2 Tahun 2017, tanggal 10 Juli 2017, sebagai payung hukum pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
HTI dibubarkan, karena secara terbuka inginkan mengganti ideologi Pancasila dengan paham kekhilafahan, sebagai deklarasi yang dilakukan secara sangat demonstratif di Gelora Bung Karno, Jakarta, Minggu, 2 Juni 2013.
“Kami menyerukan kepada seluruh umat Islam, khususnya para pemimpin organisasi kemasyarakatan, organisasi politik, ulama, wakil rakyat, anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) atau Polisi Republik Indonesia (Polri), cendekiawan, pengusaha, dan semua umat muslim Indonesia sungguh-sungguh mengamalkan syariah dan berjuang bagi tegaknya syariah di negeri ini,” ujar juru bicara Hizbut Tahrir Indonesia Muhammad Ismail Yusanto, Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, Minggu, 2 Juni 2013.
Acara bertema ‘Perubahan Besar Dunia Menuju Khalifah’, ini, diklaim Ismail Yusanto, mengingatkan umat Islam di Indonesia bahwa perubahan adalah suatu keniscayaan. Akan tetapi perubahan tanpa arah yang benar tidak akan memberi manfaat seperti yang terjadi selama ini di negeri ini.
Ismail Yusanto, menyerukan kepada pemerintah untuk memandang acara ini sebagai bagian dari ekspresi dan aspirasi umat Islam yang dijamin undang-undang. “Melihat kondisi saat ini di mana umat Muslim bagaikan anak ayam kehilangan induknya, tidak punya arah dan rumah pula. Persoalan terjadi menimpa umat di mana-mana. Maka Mukhtamar Khilafah ini menjadi momen penting untuk kembali mengingatkan semua umat Muslim di dunia, khususnya di Indonesia,” ucap Ismail Yusanto di Jakarta, Minggu, 2 Juni 2013.
Sepuluh langkah dan kebijakan strategis
Presiden Joko Widodo, mesti terlebih dahulu harus melakukan konsolidasi selama tiga tahun periode pertama pemerintahannya, untuk melakukan pemberangusan paham radikalisme, intolerans dan ekstrimisme yang selalu berujung dengan aksi terorisme.
Penyebab utama dari radikalisme, intolerans dan ekstrimisme, karena memudarnya pemahaman akan ideology Pancasila, dimana segenap suku bangsa di Indonesia, harus berkarakter dan berjatidiri dari kebudayaan asli yang ada di Indonesia. Mabuk agama, sebagai salah satu bukti pudarnya penghayatan terhadap ideology Pancasila.
Presiden Joko Widodo, harus melakukan 10 langkah atau putusan strategis, demi memastikan, pemberangusan radikalisme, intolerans dan ekstrimisme, harus dilakukan secara sangat serius, dan mengikat semua pihak, baik di dalam maupun di luar negeri.
Kesepuluh langkah dan putusan strategis, sebagai berikut. Pertama, Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 24 Tahun 2016, Pemerintah menetapkan tanggal 1 Juni 1945 sebagai Hari Lahir Pancasila sekaligus sebagai Hari Libur Nasional. Tujuannya agar pemerintah, masyarakat dan seluruh komponen bangsa memperingati Pancasila sebagai ideology Negara.
Kedua, Kementerian Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menggelar seminar nasional di Kantor Bappenas, Jakarta, Selasa, 4 April 2017. Di dalam seminar ditegaskan, pembangunan di Indonesia di masa mendatang, harus melalui akselerasi kapitalisasi modernisasi kebudayaan.
Ketiga, Penerbitan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017, tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas), berupa pengesahan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017, sebagai payung hukum pembubaran HTI.
Keempat, Pada 27 April 2017, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI), mengesahkan undang-undang tentang pemajuan kebudayaan. Kemudian dikenal dengan Undang-Undang Nomor 5 tahun 2017, tanggal 24 Mei 2017, tentang Pemajuan Kebudayaan.
Kelima, terbitnya putusan Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK-RI) Nomor 97-PUU-XIV/2016, tanggal 7 November 2017, tentang pengakuan Aliran Kepercayaan, dimaknai pula sebagai peneguhan dan pengakuan keberadaan religi (agama) asli berbagai suku bangsa di Indoensia, sebagai filosofi etika berperilaku, serta sumber pembentukan karakter dan jatidiri bangsa.
Keenam, Presiden Republik Indonesia, Ir Joko Widodo, menerima naskah kajian akademik strategi pembangunan pemajuan kebudayaan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia di Jakarta, Minggu, 9 Desember 2018.
Ketujuh, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) Nomor 2560, diterbitkanpada Selasa, 29 Desember 2020, tentang Perbaikan Metode Kerja Komite Sanksi 1267 yang diprakarsai Indonesia dan Amerika Serikat (AS).
Komite Sanksi 1267 yang diketahui Indonesia, merupakan badan subsider DK-PBB yang bertanggung jawab menetapkan, dan mengawasi implementasi sanksi terhadap individu dan entitas yang berafiliasi dengan kelompok The Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) dan Al Qaida.
Indonesia menjadi Anggota Tidak Tetap pada Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK-PBB) periode 2019 – 2020. Pada 8 Juni 2018, Indonesia telah terpilih menjadi Anggota DK-PBB untuk periode 2019 – 2020, bersama Jerman, Afrika Selatan, Belgia dan Republik Dominika.
Kedelapan, sehari kemudian, terbit Surat Keputusan Bersama (SKB) 6 Menteri/Pejabat Tinggi Negara, Rabu, 30 Desember 2020, ditandatangani Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia, Prof. Yasonna Hamonangan Laoly, S.H., M.Sc., Ph.D, Menteri Dalam Negeri Jenderal (Purn) Dr Tito Karnavian, Menteri Komunikasi dan Informatika, Johny G Plate, Jaksa Agung S.T. Burhanudin, Kepala Polisi Republik Indonesia, Jenderal Polisi Idham Aziz, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komisaris Jenderal Polisi Boy Rafly Amar.
Surat Keputusan Bersama (SKB) 6 Menteri/Pejabat Tinggi Negara, pada Rabu, 30 Desember 2020, tentang larangan kegiatan, penggunaan simbol dan atribut, serta penghentikan kegiatan FPI dibacakan Wakil Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia, Prof Dr Edward Omar Sharif Hiariej SH, MH.
Dalam SKB, Rabu, 30 Desember 2020, disebutkan, alasan pelarangan FPI, karena organisasi yang berkolerasi dengan organisasi terorisme internasional, di antaranya The Islamic State of Iraq dan Syuria (ISIS), sudah tidak diperpanjang Surat Keterangan Terdaftar (SKT) di Kementerian Dalam Negeri sejak 21 Juni 2019.
Di dalam SKB, Rabu, 30 Desember 2020, disebutkan, sebanyak 35 orang anggota FPI terlibat tindak pidana terorisme, dimana 29 orang di antaranya telah dijatuhi hukuman pidana penjara, 206 orang terlibat tindak pidana umum, dimana 106 orang di antaranya telah dijatuhi hukuman pidana.
Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan Republik Indonesia, Prof Dr Mahfud MD, menegaskan, SKB pada 30 Desember 2020, sudah melalui kajian matang, termasuk di antaranya masukan dan pendapat dari kalangan masyarakat, demi keutuhan NKRI, agar Pemerintah Republik Indonesia, bersikap tegas terhadap MRS dan FPI.
Penerbitan SKB pada Rabu, 30 Desember 2020, didahului penangkapan MRS, Sabtu, 13 Desember 2020, bersama 5 pentolan FPI lainnya. Kemudian dilakukan pemblokiran rekening keluarga MRS dan komplotan FPI.
Kesembilan, Rancangan Undang-Undang Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) salah satu dari Program Legislasi Nasional Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (Prolegnas) 2021, sebagaimana diumumkan Ketua Badan Legislatif Supratman Andi Atgas, Kamis, 4 Januari 2021.
Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) harus diperkuat dalam bentuk undang-undang, karena lembaga yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden yang memiliki tugas membantu Presiden dalam merumuskan arah kebijakan pembinaan ideologi Pancasila, melaksanakan koordinasi, sinkronisasi.
BPIP juga sebagai pengendalian pembinaan ideologi Pancasila secara menyeluruh dan berkelanjutan, dan melaksanakan penyusunan standardisasi pendidikan dan pelatihan, menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan, serta memberikan rekomendasi berdasarkan hasil kajian terhadap kebijakan atau regulasi yang bertentangan dengan Pancasila kepada lembaga tinggi negara, kementerian/lembaga, pemerintahan daerah, organisasi sosial politik, dan komponen masyarakat lainnya.
Kesepuluh, penerbitan Peraturan Presiden (Perpres) Indonesia, Joko Widodo, Nomor 7 Tahun 2021, tanggal 6 Januari 2021, tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme (RAN PE) Berbasis Kekerasan Yang Mengarah Pada Terorisme Tahun 2021 – 2024.
Perpres Nomor 7 Tahun 2021, memastikan masalah radikalisme, intolerans dan ekstrimisme, tidak lagi menjadi beban bagi Presiden Indonesia hasil Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 mendatang.
PKI dan kebangkitan Asia
Berkaitan dengan isu PKI disematkan kepada Presiden Joko Widodo dan PDIP, secara fakta hukum tidak bisa dibuktikan, karena partai yang satu ini sudah dibubarkan sejak tahun 1966.
Isu PKI, itu, hanya melihat Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri, anak Presiden Soekarno (17 Agustus 1945 – 12 Juni 1967) yang dikaitkan dengan Gerakan 30 September (G30S) yang kemudian dituding PKI sebagai dalangnya.
Presiden Soekarno ketika itu dekat dengan PKI. Sementara di dalam disertasi John Roosa, 1998, disebutkan G30S 1965, operasi Central Inteligence Agency Amerika Serikat (CIA AS), memanfaatkan konflik internal di tubuh Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI-AD) di dalam menumbangkan kekuasaaan Presiden Soekarno.
Profesor Riset bidang Sejarah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Asvi Warman Adam, menyatakan fenomena munculnya kembali isu Partai Komunis Indonesia (PKI) diakibatkan kepentingan politik menuju Pemilu 2024.
Isu itu sengaja dihembuskan oleh mereka yang ingin mengembalikan berjayanya kembali sisa rezim Presiden Soeharto (1 Juli 1967 – 21 Mei 1998) di Indonesia.
PDIP pusat hantaman serangan isu komunisme karena dianggap akan menghambat agenda itu.
Hal itu disampaikan Asvi Warman Adam dalam diskusi virtual bertema “Ngeri-Ngeri Kebangkitan PKI” yang dipandu Bonnie Triyana di Jakarta, Selasa, 7 Juli 2020.
“Fenomena belakangan ini saya kira berkaitan dengan menghadapi tahun 2024, ketika akan ada Pemilu Presiden. Ada pihak-pihak berkepentingan dihidupkan isu komunisme ini,” kata Asvi Warman Adam.
Presiden Joko Widodo dan PDIP, dituding PKI karena dekat dengan China, sudah tidak relevan lagi, karena komunisme sudah tumbang setelah keruntuhan Uni Soviet, 25 Desember 1991, dan kemudian menjadi Federasi Rusia.
Partai komunis di China, tidak lebih dari alat pemersatu bangsa. Penerapan kebijakan pembangunan ekonomi, politik, social di China, berbasis kebudayaan China. Diplomasi kebudayaan China, Confucius, memperkenalkan konsep berketuhanan sesuai kebudayaan China, dimana doktrin agama tidak boleh dijadikan alat untuk memusuhi atau merongrong Pemerintah.
Sementara abad ke-21 sekarang adalah era kebangkitan dan kemajuan masyarakat di Benua Asia dari sector ekonomi dan teknologi inovasi yang identic dengan China, Jepang dan Korea Selatan, mengalahkan hegemoni Amerika Serikat dan Benua Eropa sepanjang abad ke-20.
Seluruh negara di dunia, sekarang, beralih kepada China, Jepang dan Korea Selatan.
Pengakuan internasional terhadap kebangkitan Asia pada abad ke-21, bisa dilihat dari materi pemberitaan media massa Eropa dan para analis.
Di antaranya, pertama, Kantor Berita Nasional Federasi Rusia, berbasis di Moskow, Telegrafnoie Agenstvo Sovietskavo Soyusa, TASS News Agency, Senin, 25 Mei 2020, berjudul: “World witnessing US century ceding to Asian one, says EU foreign policy chief”.
Kedua, media massa Inggris berbasis di London, The Guardian.com, Senin, 25 Mei 2020, berjudul: “European Union, Dawn of Asian century puts pressure on EU to choose sides, says top diplomat”.
Ketiga, analisis Viswanathan Parameswar, Head of Investments Asia Adveq di schoders.com, Kamis,12 Nopember 2020, berjudul: “The four “M”s: why the 21st century belongs to Asia”. (aju)