Natalius Pigai

Karakter Pigai Memang Tidak Pantas

Loading

JAKARTA (Independensi.com) – Pengiat media sosial, Iyyas Subiakto, mengatakan, Natalius Pigai di atas angin setelah Abroncius Nababan ditahan polisi sebagai tersangka.

“Abroncius Nababan ditahan Polisi atas
kasus rasis kepada Natalius Pigai, manusia mulia yang mulutnya juga lebih kotor dari sekedar ucapan rasis seperti Abroncius,” kata Iyyas Subianto, Jakarta, Kamis, 28 Januari 2021.

Menurut Iyyas Subiakto, dirinya juga tidak setuju dengan ucapan rasis.

“Tapi jujur hati saya lebih dari rasis kalau melihat Natalius Pigai mengkritik Pemerintah khususnya kepada Presiden Joko Widodo, omongannya seperti sampah dan tidak pantas,” ujar Iyyas Subiakto.

Iyyas Subiakto yakin Abroncius punya pikiran kegeraman seperti itu, dan bahkan mungkin jutaan orang Indonesia punya pikiran yang sama.

Jadi ucapan Abroncius adalah seperti pemadam kebakaran yang disalahkan. Tidak membenarkan ucapan rasis, tapi berempati kepada kegeraman perasaannya kepada Pigai yabg mulutnya juga selalu liar.

“Ada alasan dia terus mengkritik Presiden Joko Widodo dengan kritikan sampah. Alasannya karena Joko Widido lebih buruk dari pendahulunya, Susilo Bambang Yudhoyo dalam memperlakukan Papua, ukurannya karena zaman Susilo Bambang Yudhoyono banyak orang Papua dilingkaran istana, dan didengar masukannya.

Dia tidak bisa membedakan keberadaan, dan perhatian. Keberadaan bisa hanya asal diadakan, tapi perhatian pasti dengslelan tindakan.

Nataluis Pigai lupa jalan trans Papua, harga bahan bakar minyak yang disamakan, pembangunan lainnya, saham PT Freeport Indonesia yang sebagian langsung dinikmati sebagai bagi hasil utk Pemerintah Kabupaten Mimika, dan seterusnya.

“Kelas Pigai ini sama dengan pengkritik murah akhlak yang teriak karena tak dikasi tempat. Contoh Refly Harun, Rizal Ramli, dan seterusnya,” ungkap Iyyas Subiakto.

“Sekelas pemain nasional kok gak rasional. Mengkritik dengan subjektif itu sangat primitif, seperti yang pernah dia sampaikan mau mencarikan uang untuk Presiden Joko Widodo, kalau kerjanya bisa seperti Anis Baswedan, Gubernur Daerah Khusus Ibu Kota Jajarta.

Membedakan kinerja Presiden Joko Widido dan Anis Baswedan yang bak bumi dan langit saja tak bisa tapi dengan lantang menyerang Presiden yang katanya tidak memperhatikan Papua.

Padahal Presiden Joko Widido yang mengunjungi Papua sampai 8-9 kali, terus metode apa yang dipakai dalam mengkomper kinerja.

“Jadi cobalah belajar pakai data agar tidak ngelantur ngalor-ngidul,” ujar Iyyas Subiakto.

Dikatakan Iyyas Subiakto, kita tau saudara kita di Papua masih banyak memendam sentimen masa lalu saat orba memerah Papua tanpa perasaan.

Justru Presiden Joko Widodo akan menebus kesalahan masa lalu itu, tapi kan tidak bisa langsung Papua akan seperti pulau Jawa.

Karena proses perusakan itu sudah berumur 50 tahun. Presiden Joko Widodo baru jadi presiden 6 tahun berjalan dgn landasan kebenaran sejak 20 Oktober 2014, bukan asal-asalan, jadi kalau mengkritik juga jangan asal bunyi.

“Jadi kembali kepada masalah rasisme, saya tidak membela Ambroncius, tapi saya bisa memaklumi perasaannya kenapa dia sampai mengumbar perkataan itu. Makanya hindari kalimat minoritas atau mayoritas, agar kita terhindar rasa tertindas dan menindas,” ujar Iyyas Subiakto.

Diungkapkan Iyyas Subiakto, dibubarkannya Hizbut Tahrir Indonesia dan Front Pembela Islam adalah langkah Presiden Joko Widodo memberantas rasisme agama agar tidak merembet kemana-mana.

Seperti halnya dia membereskan Papua. Jauhi sikap merasa pinter dan benar sendiri agar orang lain juga bisa menahan diri.

“Jadi tolong yang mulia tuan Pigai dan kawan-kawan, cerdaslah dalam banyak hal agar kita bisa menata Indonesia, karena negara ini bukan hanya Jawa, Papua, negara ini adalah Indonesia yang berlandaskan Pancasila,” ungkap Iyyas Subiakto.

“Saya lampirkan statement Tuan Pigai kepada Wakil Presiden, ucapan itu masuk katagori apa, rasis, satire, atau apa. Jadi apa sebenarnya.”

“Mari kita sama-sama berkaca agar jelas siapa kita,” ujar Iyyas Subiakto.(aju)