Dr Yulius Yohanes M.Si

Dr Yulius Yohanes M.Si Ditunjuk Jadi Ketua MHADN Provinsi Kalbar

Loading

PONTIANAK (Independensi.com) – Sekretaris Jenderal Dayak International (DIO) Dr Yulius Yohanes, M.Si, ditetapkan sebagai Ketua Dewan Pimpinan Daerah Majelis Hakim Adat Dayak Nasional (DPP MHADN) Provinsi Kalimantan Barat.

Yulius Yohanes, staf pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Tanjungpura, Pontianak, telah menyusun personil kepengurusan DPD MHADN Provinsi Kalimantan Barat.

Hal itu dikemukakan Ketua Umum DPP MHADN, Drs Askiman MM di Pontianak, Sabtu, 6 Februari 2021.

Penetapan Yulius Yohanes sebagai Ketua DPD MHADN Provinsi Kalimantan Barat, bersamaan dengan penetapan Dr Drs Dagut H Djunas SH, MT sebagai Ketua DPD MHADN Provinsi Kalimantan Tengah, Dr Jiuhardi SE di Provinsi Kalimantan Timur, Bujino A Salan SH, MH di Provinsi Kalimantan Selatan, dan Marli Kamis di Provinsi Kalimantan Utara.

Dikatakan Askiman, selaku Ketua DPD MHADN Provinsi Kalimantan Barat, Yulius Yohanes, tetap bersinergi dengan organisasi masyarakat Dayak lainnya, di dalam melakukan sosialisasi surat keputusan Dewan Pengurus Pusat Majelis Hakim Adat Dayak Nasional, telah menerbitkan surat keputusan nomor: 01/IX/SK-MHADN/2020, tanggal 1 Oktober 2020, tentang: Yurisdiksi Para Hakim Adat Dayak, Tata Cara Menggelar Peradilan Adat, dan Mekanisme Registrasi Tanah Adat Dayak.

“Hakim adat Dayak sebagai jantung peradaban Kebudayaan Suku Dayak di Indonesia dan Malaysia. Sehubungan dengan itu, adalah tugas dan tanggungjawab secara kolektif masyarakat Suku Dayak, untuk meningkatkan kualitas dan kompetensi para hakim adat Dayak,” ujar Askiman.

Dijelaskan Askiman, hakim adat Dayak adalah modernisasi penyebutan, di mana dikenal dengan sebutan damang di Provinsi Kalimantan Tengah, temenggung di Provinsi Kalimantan Barat, pemanca di Negara Bagian Sarawak, Anak Negeri di Negara Bagian Sabah, dan sebutan lainnya.

Menurut Askiman, materi Yurisdiksi Para Hakim Adat Dayak, Tata Cara Menggelar Peradilan Adat, dan Mekanisme Registrasi Tanah Adat Dayak, sudah dirancang MHADN selama tiga bulan.

Bertindak sebagai ketua tim Dr Yulius Yohanes M.Si, Sekretaris, Tobias Ranggie SH, Wakil Sekretaris Salfius Seko SH, MH, beranggotakan Moerdjani Aban SH dan Aju. Draft kemudian dikomunikasikan dan dikonsultasikan kepada pengurus DIO dan MHADN dari Provinsi Kalimantan Tengah, Provinsi Kalimantan Utara, Provinsi Kalimantan Timur dan Provinsi Kalimantan Selatan.

Dijelaskan Askiman, tujuan disusun materi Yurisdiksi Para Hakim Adat Dayak, Tata Cara Menggelar Peradilan Adat, dan Mekanisme Registrasi Tanah Adat Dayak, memperkuat posisi para hakim adat Dayak.

Ditegaskan Askiman, DIO dan MHADN, di sini, bukan pada posisi menciptakan peradilan adat Dayak yang baru, tapi menyusun panduan umum beracara, dan meregistrasi para hakim adat Dayak dengan sebutan berbeda pada setiap rumpun Suku Dayak.

Di dalamnya ditegaskan, pihak yang berwenang menggelar peradilan adat Dayak, hanya para hakim adat Dayak. Pihak lain yang terbukti ikut menggelar dan ikut memutuskan perkara dalam peradilan adat Dayak, tapi bukan berstatus sebagai hakim adat Dayak (damang, temenggung, pemanca, anak negeri), maka wajib dihukum adat Dayak kembali.

Pengangkatan dan pemberhentian seorang hakim adat, hanya boleh oleh komunitas rumpun Suku Dayak yang bersangkutan pada sebuah wilayah, dilengkapi berita acara, serta dikukuhkan berdasarkan religi rumpun Suku Dayak yang bersangkutan, dengan masa periode tertentu, dan jika habis masa tugas, dapat diperpanjang kembali.

Tobias Ranggie, menambahkan, peran para hakim adat Dayak, sangat strategis, karena merupakan jantung peradaban Kebudayaan Dayak. Karena itu, sudah merupakan kewajiban semua orang Dayak untuk meningkatkan kualitas para hakim adat Dayak, karena pada masanya para hakim adat Dayak memiliki empat fungsi sekaligus: pewarta agama Dayak, pemutus perkara internal, kepala wilayah dan panglima perang.

“Para hakim adat Dayak (temengung, damang, pemanca atau anak negeri) adalah wakil Tuhan di Tanah Dayak, sebagaimana hakim negara yang setiap kali akan memutus perkara selalu menegaskan dirinya sebagai pengemban kedaulatan Tuhan di muka bumi,” ungkap Tobias Ranggie.

Sebagai wakil Tuhan di Tanah Dayak, ujar Tobias, maka setiap hakim adat Dayak, harus paham akan sumber doktrin agama asli Dayak, yaitu mitos suci Dayak, legenda suci Dayak, adat istiadat Dayak dan hukum adat Dayak, dengan menempatkan hutan sebagai symbol dan sumber peradaban. Para hakim adat Dayak, harus menyadari sumber doktrin agama asli Dayak sebagai sumber pembentukan karakter dan jadiridi orang Dayak.

“Ketidakjelasan di dalam menempatkan posisi para hakim adat Dayak selama ini, membuat citra buruk masyarakat Suku Dayak secara keseluruhan, karena ada praktik premanisme berkedokkan hukum adat Dayak, karena digelar oleh sejumlah pihak yang bukan memiliki kapasitas sebagai hakim adat Dayak,” kata Tobias Ranggie.

Hukum adat, termasuk hukum adat Dayak, ujar Tobias Ranggie, sebagai salah satu sumber dari segala sumber hukum negara, di samping Pancasila sebagai sumber utama. Karena itu penerapan hukum negara, filosofinya harus sejalan dengan hukum adat. Jadi, hukum adat Dayak sebagai salah satu filosofi di dalam pembentukan hukum negara di Indonesia.

“Keberadaan hukum adat, termasuk hukum adat Dayak dan hukum negara adalah hukum positif, karena hukum yang berlaku pada saat ini dan kini. Hukum adat itu sebagai hukum positif berlaku di mana-mana yang bertujuan menciptakan kedamaian dan ketertiban masyarakat,” ujar Tobias Ranggie.

“Itulah sebabnya, di dalam filosofi hukum, dipahami, apabila sengketa perdata dan pidana, bisa diselesaikan sesuai kearifan lokal, maka hukum adat dijadikan pilihan selagi sejalan dengan filosofi hukum negara. Karena tujuan penerapan hukum positif (hukum negara dan hukum adat), untuk menciptakan ketertiban dan kedamaian masyarakat,” tambah Tobias Ranggie.

Yulius Yohanes menuturkan, seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka para hakim adat Dayak, tidak lagi identik dengan para pihak yang menetap di kampung, desa atau di ibu kota kecamatan.

Di masa mendatang, kata Yulius Yohanes, perlu kehadiran para hakim adat Dayak berlatar pendidikan strata satu, strata dua hingga strata tiga yang berkedudukan di ibu kota kabupaten, provinsi dan nasional, dimana integritas, kualias, ketegaran dan keteladanan moralnya sudah teruji, dengan spesialisi tertentu.

“Agar, para hakim adat Dayak bisa menjadi mitra stategis Pemerintah di dalam memberikan masukan agar pembangunan berpihak kepada rasa keadilan orang Dayak, hingga mampu menyeret berbagai pihak ke dalam sidang peradilan adat Dayak dalam kaitan tindak kejahatan lingkungan di wilayah pemukiman Dayak, misalnya,” ungkap Yulius Yohanes.

Diucapkan Yulius Yohanes, hasil pertemuan DIO dan MHADN di Kuching, Sarawak, 10 Desember 2019, ditegaskan, khusus di wilayah Indonesia, penjabaran program kerja DIO menjadi tugas dan tanggungjawab MHADN.

MHADN memiliki visi dan misi khusus, membimbing masyarakat Dayak untuk kembali kepada karakter dan jatidirinya. Orang Dayak harus berkebudayaan Dayak. Kebudayaan Dayak harus dijadikan sumber pembentukan karakter dan jatidiri orang Dayak, filosori etika berperilaku orang Dayak, sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017, tentang: Pemajuan Kebudayaan.

Keberadaan keberadaan MHADN, didasarkan musyawarah Temenggung Adat Dayak se Provinsi Kalimantan Barat difasilitasi Dewan Adat Dayak Provinsi Kalimantan Barat di Pontianak tahun 2008.

Kemudian, rekomendasi Seminar Gawai Dayak Provinsi Kalimantan Barat tahun 2017, Temenggung International Conference di Sintang, 28 – 30 Nopember 2018, International Dayak Justice Congress di Hotel Perkasa, Keningau, Negara Bagian Sabah, Federasi Malaysia, 14 – 16 Juni 2019 dan Protokol Tumbang Anoi 2019.

Protokol Tumbang Anoi 2019, hasil seminar internasional dan ekspedisi napak tilas damai Tumbang Anoi 1894 di Cagar Budaya Rumah Betang Damang Batu, Desa Tumbang Anoi, Kecamatan Damang Batu, Kabupaten Gunung Mas, Provinsi Kalimantan Tengah, 22 – 24 Juli 2019.

Dijelaskan Yulius Yohanes, filosofi dari perkuatan peran para hakim adat Dayak adalah pertemuan damai ribuan tokoh adat Dayak di Desa Tumbang Anoi, Kecamatan Damang Batu, Kabupaten Gunung Mas, Provinsi Kalimantan Tengah, Indonesia, 22 Mei – 24 Juli 1894.

“Dari sembilan point kesepakatan mengikat yang dijabarkan di dalam 96 pasal hukum adat di Tumbang Anoi, 1894, di antaranya menghentikan budaya perbudakan dan potong kepala manusi yang disebut menganyau,” ujar Yulius Yohanes. (aju)