Manajemen Pelabuhan Patimban Harus Transparan

Loading

JAKARTA (Independensi.com) – PT Pelabuhan Patimban Internasional (PPI) telah diresmikan oleh Kementerian Perhubungan sebagai operator Pelabuhan Patimban.

Sayangnya, perusahaan besutan konsorsium CT Corp Infrastruktur Indonesia, Indika Logistic & Support Services, U Connectivity Services dan Terminal Petikemas Surabaya itu belum akan langsung menjalankan operasional pelabuhan sehari-hari.

Tugas ini untuk sementara dijalankan oleh PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) III walaupun tidak jelas entah sampai bila.

Terkait berbelitnya pola kerja sama para pihak yang mengelola pelabuhan tersebut, Direktur The National Maritime Institute (Namarin), Siswanto Rusdi, angkat suara. Menurutnya, sebagai sebuah upaya, apa yang dilakukan oleh pihak pengusaha dan pemerintah di muka sah-sah saja.

“Hanya saja, tolong perhatikan aspek transparansi dan hukumnya. Karena dua hal ini akan menimbulkan banyak implikasi dalam keberlanjutan usaha kepelabuhanan di Patimban kelak,” ujarnya.

Dia mengingatkan, telah terjadi perubahan status hukum perusahaan pengelola Pelabuhan Patimban dari yang awalnya konsorsium menjadi badan hukum dalam bentuk PPI itu.

“Situasi legal tersebut jelas akan berimplikasi terhadap komposisi saham masing-masing perusahaan pendiri PPI. Dan, yang lebih penting lagi adalah masalah tanggung jawab mereka bilamana terjadi masalah hukum maupun lainnya,” Rusdi menambahkan.

Pelabuhan Patimban merupakan proyek pembangunan infrastruktur maritime yang didanai oleh pinjaman Jepang dengan skema G-to-G (government-to-government).

Adapun komposisi masing-masing negara di dalam perusahaan operator pelabuhan adalah 51% Merah Putih dan 49% Matahari Terbit.

Dari komposisi PPI yang beredar ke publik, tidak terlihat mitra Jepang terlibat di dalamnya.

“Patimban inikan skemanya G-to-G. Hanya saja, pihak Jepang sepertinya belum terwakili dalam perusahaan yang didirikan oleh konsorsium CT Corp. Saham Merah Putih sebanyak 51% itu bisa saja dipegang oleh PT PPI. Nah, sisa 49% milik Jepang tapi Jepangnya nanti dimana?” tanyanya.

Ditambahkannya, ketidakjelasan posisi Jepang ini rawan menjadi masalah ke depannya.

Pengamat maritim yang dikenal blak-blakan ini juga menyinggung masalah dana pengadaan fasilitas suprastruktur seperti crane peti kemas dan lainya.

Pertanyaannya, dananya dari mana. Apakah dari CT Corp, U Connectivity, Indika atau bersama, atau bahkan mencari pihak ketiga dalam hal ini perbankan untuk menghimpun dana.

Bila nanti melibatkan pihak ketiga atau perbankan dalam penyiapan dana, Siswanto melihat teknis di lapangan akan berubah dan berimplikasi besar dalam operasional usaha Pelabuhan Patimban.

“Seharusnya PT PPI ini sudah harus menjadi operator di lapangan. Besar dugaan saya, sepertinya perusahaan ini akan melimpahkan pihak lain operasional Pelabuhan Patimban demi investasi peralatan bongkar-muat yang tidak sedikit. Artinya, lisensi operator ada pada PT PPI namun teknisnya di lapangan ada pihak lain,” jelasnya.

Dari rumitnya jalinan aspek legal Pelabuhan Patimban, jangan sampai ada kasus nantinya. Pelabuhan ini memakai pinjaman luar negeri sehingga prosesnya harus akuntabel.

“Jadi, kuncinya adalah transparansi,” pungkasnya.(chk)