Defisit Rasionalitas Dalam Agama

Loading

Oleh: Fitzerald Kennedy Sitorus

Beberapa waktu lalu (29 Mei 2021) saya diundang oleh sebuah lembaga Katolik, Justice Peace and Integrity of Creation Ordo Fratrum Minorum (JPIC OFM) Indonesia untuk berbicara dalam sebuah webinar.

Selain saya, pembicara lain dalam webinar itu adalah Romo Simon Petrus Lili Tjahjadi (dari STF Driyarkara, Jakarta), Bapak Budhy Munawar Rachman (dosen STF Driyarkara) dan Romo Dr. Otto Gusti Madung (STFK Ledalero). Tema webinar adalah Fundamentalisme Agama.

Webinar ini mau membahas fenomena kekerasan dalam berbagai bentuknya yang dilakukan atas nama agama.

Dalam webinar itu saya menyampaikan sebuah paper singkat berjudul ”Akal Budi dalam Batas-Batas Agama.” Judul ini tentu saja terinspirasi dari buku terkenal filsuf Immanuel Kant: Agama dalam Batas-batas Akal Budi.

Kalau Kant hendak melihat bagaimana agama dipahami dalam batas-batas rasio, artinya: pandangan rasional atas agama, saya justru mau melihat bagaimana akal budi dalam agama, artinya: peranan dan posisi akal budi dalam agama.

Saya melihat bahwa dewasa ini kita cenderung tidak rasional dalam beragama. Agama seakan-akan dipahami hanya berkaitan dengan iman dan kepercayaan belaka. Seakan-akan beragama cukup dengan Amin, Puji Tuhan, Haleluya.

Tidak sedikit orang beragama yang justru memusuhi rasio atau pikiran, dan secara keliru beranggapan bahwa kalau kita menggunakan rasio kita maka kita akan kehilangan kepercayaan.

Inilah yang membuat sulitnya diskursus rasional dilakukan dalam wilayah agama. Perbedaan pendapat kemudian dihadapi secara emosional, mencap orang lain sebagai kafir, bahkan tidak jarang dengan kekerasan. Fenomena ini saya sebut defisit rasionalitas dalam agama.

Saya juga memperlihatkan mengapa defisit rasionalitas dalam agama itu terjadi. Apa sebab musababnya? Padahal dulu agama justru berperan besar dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Lantas mengapa sekarang agama menjauhkan diri dari ilmu pengetahuan yang notabene merupakan buah pemikiran rasional manusia itu? Di sini saya mengajukan hipotesa bahwa sekularisasi adalah akar derasionalisasi agama.

Banyak orang beragama mempertentangkan antara iman dan rasio/pikiran. Itu keliru. Iman dan rasio itu saling mengandaikan.

Bahkan Agustinus mengatakan rasio adalah pengantar untuk iman. Sebelum kita percaya kepada sesuatu, kita toh memikirkan dulu apakah sesuatu itu layak dipercaya atau tidak.

Di sini kita menggunakan pikiran. Kita kan tidak begitu saja mempercayai apa yang kita dengar. Kita pasti lebih dulu menalarnya. Bahkan cara kita mengungkapkan iman kita juga membutuhkan rasio. Rasio itu juga adalah karunia Tuhan kepada kita.

Tuhan (agama dan metafisika) adalah kebutuhan rasional dan alami manusia. Itulah sebabnya, bahkan manusia paling primitif pun telah memiliki konsep tersendiri mengenai Tuhan atau Yang Ilahi. Itu karena, sebagai manusia yang berpikir, yang memiliki akal budi, manusia menyadari bahwa ia tidak mungkin memahami diri dan dunianya hanya secara empiris atau secara ilmiah belaka.

Paper yang saya presentasikan dalam webinar tersebut saya posting di sini. Tentu ini masih berupa draft sederhana, masih mentah.

Sejumlah catatan kaki dihilangkan, atau dipindahkan ke tubuh teks di dalam tanda kurung. Saya mengharapkan kritik tajam dari rekan-rekan. Puja-puji atas paper ini tidak begitu diharapkan. Kita tidak maju melalui puja-puji, tapi hanya melalui kritik.

Berikut ini artikel lengkapnya:

”AKAL BUDI DI DALAM BATAS-BATAS AGAMA”
Refleksi tentang Defisit Rasionalitas dalam Agama
Oleh Fitzerald Kennedy Sitorus

I. Pengantar

Wajah agama di ruang publik global paling tidak sejak 20 tahun terakhir memperlihatkan kesan yang justru bertentangan dengan hakikat agama itu sendiri. Agama, yang seharusnya menampilkan dan membawa kedamaian dan ketenangan, justru sering menghadirkan ketakutan, kebencian dan konflik. Sedemikian banyak aksi kekerasan, konflik, terorisme dan perang yang dilakukan atas nama agama. Keberadaan motivasi religius dalam berbagai tindak kekerasan itu bahkan telah mengubah konstelasi politik global dan juga nasional. Itulah yang membuat agama menjadi faktor penting dalam politik di seluruh dunia dewasa ini. Dan sayangnya, kehadiran agama dalam politik tersebut lebih merupakan persoalan ketimbang mitra untuk mencari solusi. Secara singkat: agama justru sering menjadi sumber masalah.

Tidak berlebihan jika Mark C. Taylor, dalam Pengantar bukunya After God, mengungkapkan wajah buruk agama itu demikian: ”You never understand the world today if you do not understand religion. Never before has religion been so powerful and so dangerous. No longer confined to church, synagogue, and mosque, religion has taken to the street by filling airways and networks with images and messages that create fatal conflict, which threaten to rage out of control.” (Mark C. Taylor, After God (Chicago and London: The University of Chicago Press, 2007), hal. Xiii)

Fenomena seperti di atas membuat agama menjadi salah satu tema yang paling banyak mendapat perhatian, baik secara politis maupun intelektual. Lihatlah, betapa banyaknya literatur tentang agama diterbitkan atau percakapan ilmiah mengenai agama dilakukan sekarang ini. Dalam dinamika ini, kita juga melihat munculnya tuntutan akan redefinisi konsep-konsep sentral dalam bidang agama, termasuk pengertian agama itu sendiri, relasi agama dan politik, agama dan ruang publik, agama dan modernitas serta agama/iman dan rasio/filsafat. Istilah yang sangat populer dewasa ini, postsekularisme, berusaha menggambarkan fenomena baru dalam bidang agama ini, yakni bahwa agama yang sebelumnya hidup di ruang-ruang privat, kini menyeruak kembali ke ruang-ruang publik, namun minus dimensi transendental atau metafisis yang per defenisi inheren dalam agama.

(Yang saya maksud di sini adalah sekalipun banyak orang membicarakan agama di ruang publik, terutama ruang publik politis, tidak dapat dikatakan bahwa orang-orang tersebut memiliki aspirasi spiritualitas yang diidealkan oleh agama. Agama dalam ruang publik dewasa ini lebih merupakan vokabuler politis belaka yang dimaksudkan untuk tujuan-tujuan politik; para pembicara agama itu dapat dikatakan bukanlah orang yang sesungguhnya religius. Itulah yang saya maksud dengan ”minus dimensi transendental atau metafisis”. Fenomena ini juga sesungguhnya menuntut kita untuk melakukan redefinisi atas agama dalam era postsekuler ini.)

Dialog terkenal antara Joseph Ratzinger (Paus Benediktus XVI) dan filsuf Jürgen Habermas tahun 2004 juga dapat dibaca sebagai upaya untuk memahami konstelasi baru yang menempatkan agama di pusat kontroversi ini. (Buku yang memuat dialog tersebut telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Lihat Dialektika Sekularisasi. Diskusi Habermas – Ratzinger dan Tanggapan, ed. Paul Budi Kleden dan Adrianus Sunarko (Yogyakarta/Flores: Lamalera dan Ledalero, 2010).

Dalam dialog tersebut, seakan-akan menjawab penyebab munculnya wajah negatif agama seperti disinggung di atas, Paus Benedikt XVI sendiri mengakui bahwa bukan hanya rasio yang mengandung patologi, agama juga mengandung patologinya sendiri yang dapat sedemikian berbahaya dan oleh karena itulah keduanya ”dipanggil untuk saling menjernihkan dan menyembuhkan, untuk saling membutuhkan dan harus saling mengakui.”

Joseph Ratzinger memang tidak secara eksplisit menyebut apa sesungguhnya patologi yang terdapat dalam agama itu. Namun dalam presentasi ini, saya menamai patologi itu: defisit rasionalitas. Patologi adalah terjadinya perkembangan yang keliru, yang menyimpang, pada sesuatu. Patologi agama yang saya maksud di sini tidak lain dari tindakan-tindakan kekerasan dalam berbagai bentuknya yang dilakukan atas nama agama. Sementara yang saya maksud dengan defisit rasionalitas adalah semakin terasingnya agama dari pemikiran rasional. Keterasingan ini menyebabkan bahwa kegiatan atau hal-ikhwal agama cenderung dipahami semata-mata sebagai masalah iman dan kepercayaan belaka, minus rasionalitas.

Dalam hal iman dan kepercayaan, orang seakan-akan tidak perlu berpikir atau menggunakan rasionya, cukup percaya saja. Di sini yang lebih berperan adalah fakultas emosi, passion, manusia ketimbang rasio. Dan ketiadaan rasio dalam agama membuat agama dengan mudah jatuh dalam situasi konflik yang berbahaya karena yang berlaku kemudian adalah logika emosional ketimbang logika rasional. Inilah, menurut saya, salah satu penyebab utama munculnya fundamentalisme agama dewasa ini yang pada gilirannya menimbulkan aksi-aksi kekerasan atas nama agama. (Dialektika Sekularisasi, hal. 52-53.)

Tesis yang hendak saya ajukan dalam presentasi ini adalah bahwa defisit rasionalitas telah membuat agama dengan mudah jatuh ke dalam tindakan-tindakan kekerasan. Oleh karena itu, kalau kita mau membuat agama lebih lebih ramah dan manusiawi, kita perlu mengembalikan rasionalitas yang hilang dari agama tersebut, menyuntikkan kembali rasionalitas ke dalam agama, sehingga agama tidak hanya berisi iman dan kepercayaan tetapi juga rasionalitas. Dengan demikian pula, dialog antara iman dan rasio atau agama dan filsafat, sebagaimana diharapkan Joseph Ratzinger dan Habermas di atas, dapat berlangsung lebih konstruktif.

Dalam presentasi ini saya akan memperlihatkan kaitan erat antara agama dan rasionalitas: bahwa agama atau iman sesungguhnya tidak terlepaskan dari rasionalitas, bahwa iman atau kepercayaan itu sendiri sebenarnya adalah buah dari pengetahuan rasional tertentu, bahwa Tuhan kita kenal bukanlah pertama-tama melalui iman atau kepercayaan begitu saja, melainkan melalui proses pencarian rasional. Proses pencarian inilah yang membawa kita kepada kepercayaan akan Tuhan, dan agama adalah bidang di mana hal Ketuhanan tersebut digumuli.

Namun sebelum berbicara mengenai ”akal budi atau rasionalitas dalam batas-batas agama” itu, saya akan lebih dulu berbicara mengenai penyebab terjadinya defisit rasionalitas tersebut.

II. Mengapa defisit rasionalitas terjadi?
Kalau kita melihat sejarah perkembangan kebudayaan Barat, khususnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka kita akan melihat bahwa pada tahap awal perkembangan tersebut, agama memegang peranan yang sangat sentral. Agama, khususnya agama-agama monoteis, dapat dikatakan menjadi satu-satunya kekuatan yang mengarahkan seluruh dinamika kebudayaan Barat. Sejarah ilmu pengetahuan memperlihatkan bahwa monoteisme menyediakan lahan bagi pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan. Monoteisme melakukan purifikasi dewa-dewa dari alam, bahwa hanya ada satu dewa, yakni Allah Sang Pencipta semesta. Sang Pencipta ini telah menciptakan alam dan menyerahkannya kepada manusia untuk diteliti, dikelola, dan dieksplorasi (sekaligus, sayangnya, dieksploitasi). Alam itu material dan obyektif ada di sana, sebagai obyek untuk diteliti. Ini membuka jalan bagi perkembangan ilmu pengetahuan.

Dengan kata lain, melalui purifikasi dewa-dewa ini, alam tidak lagi menakutkan, sebagaimana dalam pandangan masyarakat penganut politeisme. Masyarakat politeis percaya bahwa setiap bagian dari alam dihuni oleh dewa-dewa tertentu. Kepercayaan itu membuat alam tampak menakutkan. Akibatnya, ketimbang melakukan penelitian terhadap alam, masyarakat politeis justru berusaha menjaga agar dewa-dewa penghuni alam tidak marah, yakni dengan cara memberikan sesajen dan lain-lain. Karena itu, ilmu pengetahuan tidak berkembang pada masyarakat politeis.

Melalu proses sekularisasi, tatkala ilmu pengetahuan telah berkembang sedemikian rupa, pengaruh agama mulai surut. Orang semakin mengandalkan rasionalitas dan ilmu pengetahuan. Agama, yang sebelumnya berperan aktif dalam kehidupan publik, surut ke wilayah privat. Wilayah-wilayah yang tadinya menjadi kompetensi agama diambil alih oleh ilmu-ilmu pengetahuan yang muncul sesuai dengan spesialisasi masing-masing.

Eric C. Rust merangkum dinamika perkembangan rasionalitas dan ilmu pengetahuan sekaligus kemunduran agama itu demikian: “In the history of Western World, during the ascendancy of Christian faith, God was tacitly taken for granted by the majority of people. In the Medieveal period, the intellectual structure of the time was fundamentally Christian. With the Renaissance and the Reformation, the monolitic structure of Christian culture began to break apart. … Within such an atmosphere modern science come to birth … We forget that science and the concern with human freedom are alike products of the Christian emphasis on creation and on the nature of man”. (Eric C. Rust, „The „God is Dead“ Theology,“ in Review and Expositor Journal, 1967, hal. 271-284.)

Ketika masih berdiri di pusat kehidupan masyarakat, sebagai kompas yang mengarahkan perkembangan masyarakat, agama dituntut untuk memiliki kompetensi yang dapat mengatasi atau membantu mengatasi masalah yang dihadapi masyarakat. Artinya, dari agama dituntut rasionalitas tertentu agar secara fungsional mampu menjawab masalah-masalah sosial yang terjadi.

Kompetensi rasional agama itu dapat dibuktikan misalnya dari pemikiran para teologi besar zaman dulu, termasuk para bapak-bapak gereja, di mana mereka dengan terampil berbicara mengenai berbagai persoalan sosial politik pada zamannya dari sudut pandang iman mereka. Kompetensi demikian hampir tidak ditemukan lagi pada kalangan teolog dewasa ini.

Namun, ketika agama mulai surut ke ruang privat dalam proses yang disebut sekularisasi, dan bidang-bidang yang tadinya merupakan kompetensi agama diambil alih oleh masing-masing ilmu yang muncul sesuai dengan spesifikasi persoalan yang dihadapi, maka perlahan-lahan surut pula rasionalitas yang tadinya dimiliki oleh agama. Dari agama tidak lagi dituntut kompetensi untuk turut bertanggung jawab atas permasalahan sosial aktual. Agama kemudian dilihat semata-mata sebagai persoalan iman dan kepercayaan privat, sebagaimana umumnya pemahaman masyarakat kita sekarang. Jadi, dapat dikatakan bahwa sekularisasi adalah sekaligus awal terjadinya patologi agama, yakni proses derasionalisasi agama; sekularisasi adalah derasionalisasi agama, aktivitas agama dijalankan dengan cara-cara yang semakin jauh dari rasionalitas.

Filsuf Jürgen Habermas juga mengakui bahwa asal-usul defisit rasionalitas pada agama itu bermula dari terjadinya proses diferensiasi fungsional dalam sistem sosial masyarakat Barat. Dalam sebuah tulisannya ia mengatakan: ”Benar bahwa dalam proses diferensiasi sistem-sistem sosial fungsional ini, gereja dan komunitas-komunitas agama semakin membatasi diri pada fungsi inti pelayanan kerohanian dan pastoral dan melepaskan kompetensi mereka dalam bidang-bidang sosial lainnya.

Pada waktu yang sama, praktik-praktik agama dan iman surut menjadi bentuk-bentuk individual atau subyektif belaka. Jadi terdapat kaitan antara spesifikasi fungsional sistem agama dan individualisasi praktik-praktik keagamaan.” (Dalam „Dialektik der Säkularisierung“, dalam Bätter für deutsche und internationale Politik, April 2008, hal. 36. Tulisan ini berasal dari teks kuliah yang diberikan oleh Habermas di Nexus Institut Universitas Tilberg, Belanda, pada 15 Maret 2007.)

III. Rasio dalam agama
Filsuf dan teolog Paul Tillich mengatakan ”agama adalah keterarahan kepada yang Absolut.” Yang Absolut ini bisa juga disebut dengan yang Transenden, atau Tuhan/Allah dalam bahasa agama monoteis. Bagaimanakah Tuhan ini muncul dalam kehidupan manusia? Monoteisme mengatakan bahwa iman dan kepercayaan itu adalah buah Wahyu Allah: Allah menyatakan diri-Nya kepada manusia. Namun, sebagaimana dinyatakan oleh Karl Rahner, manusia mampu menerima Wahyu dari Allah karena manusia juga terbuka terhadap yang Transenden atau horison ketidakterbatasan. Dan keterbukaan terhadap ketidakterbatasan itu menurutnya merupakan syarat-syarat kemungkinan yang bersifat apriori untuk setiap pengetahuan dan kehendak manusia. (Markus Knapp, Die Vernunft des Glaubens. Einführung in die Fundamentaltheologie (Freiburg/Basel/Wien: Herder, 2009), hal. 63.) Fakultas manakah dari diri manusia yang membuatnya terbuka terhadap yang Transenden itu?

Sejarah agama-agama memperlihatkan bahwa bahkan manusia yang paling primitif pun telah memiliki ide tersendiri mengenai yang transenden. Mengapa hampir semua kelompok masyarakat manusia, bahkan yang paling terpencil dan primitif sekalipun, selalu memiliki ide mengenai yang transenden, itu tidak lain karena manusia tidak pernah puas hanya dengan yang empiris. Dengan akal budinya, manusia selalu mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang sering justru tidak dapat dijawabnya sendiri dengan pikiran dan pengetahuannya yang terbatas.

Di sini kita perlu ingat pernyataan Kant mengenai penyebab munculnya dorongan dan kebutuhan untuk menjalankan pemikiran spekulatif atau metafisika bagi manusia; ia mengatakan: ”Akal budi manusia memiliki takdir yang khas dalam sebuah jenis pengetahuannya; bahwa dia dibebani melalui pertanyaan-pertanyaan yang tidak dapat diabaikannnya, karena pertanyaan-pertanyaan itu terberi kepadanya melalui hakikat akal budi itu sendiri, tapi ia sendiri tidak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut karena pertanyaan-pertanyaan itu telah melampaui semua kemampuan akal budi manusia.” (KdrV, VII)

Kant mengatakan bahwa Tuhan adalah salah satu kepentingan rasionalitas manusia. Kepercayaan kepada eksistensi Tuhan dan karakterisasi atas sifat-sifat-Nya adalah kebutuhan alami kapasitas rasional manusia. (KdrV, A Xvii, B xxxi, B 21-22, A 298/B354).

Dengan akal budinya, manusia mengarahkan pikirannya melampaui apa yang dapat dipersepsi melalui indra, mengajukan pertanyaan mengenai syarat-syarat kemungkinan tertinggi dari segala sesuatu yang ada, dan pertanyaan tersebut membawanya kepada ide tentang Tuhan. Eksistensi Tuhan ini memang tidak dapat diketahui secara kognitif, sebagaimana kita memiliki pengetahuan mengenai benda-benda empiris, namun akal budi murni kita mempostulatkan ide mengenai ”pengetahuan transendental mengenai Tuhan (theologia transscendentalis).” (KdrV, A 334/B 391).

Tuhan ini kemudian disebut sebagai ens realissimum, mahluk yang paling nyata/real, karena mengandung seluruh realitas pada dirinya dengan demikian mendeterminasi segala sesuatu yang ada.)

Kebutuhan rasional kita akan postulat eksistensi Tuhan didasarkan, kata Kant, atas prinsip tertinggi akal budi murni, yakni: ”Jika yang terkondisikan itu terberi, maka yang tidak terkondisikan juga terberi.” (KdrV, A 308/B 364). Karena segala sesuatu yang berada di alam semesta terkondisikan dan terberi, maka yang yang tidak terkondisikan (yang mengkondisikan yang terkondisikan itu) juga terberi. Artinya eksistensi Tuhan harus dipostulatkan. Kant mengatakan bahwa Tuhan transendental ini adalah Ideal Akal Budi Murni (das Ideal der reinen Vernunft). (KrdV, A 567/B 595). Ini adalah cara Kant untuk secara filosofis memperlihatkan bahwa Tuhan (dan metafisika) adalah kebutuhan rasional dan alami manusia.

Jadi Tuhan (yang digumuli dalam bidang yang disebut agama) bukanlah terutama hasil pencarian iman manusia yang religius, melainkan nama untuk realitas transenden yang ”ditemukan“ manusia berdasarkan aktivitas rasionalnya. Karena manusia adalah mahluk yang bertanya, maka ia menyelidiki dunia di mana dia hidup. Ia tidak puas hanya dengan apa yang tampak secara empiris. Filsuf sekaligus ahli filologi klasik Yunani, Werner Jaeger, mengatakan bahwa konsep „dewa-dewa“ (Götter) muncul dari aktivitas intelektual tersebut, dan itulah yang menjadi hakikat dan asal-usul agama. (Werner Jaeger, Die Theologie der frühen grierischen Denker (Stuttgart: Kohlhammer, 1953), hal. 196).

Istilah teologi sendiri muncul dari usaha manusia untuk memahami keseluruhan kenyataan ini. Usaha tersebut merupakan kesibukan utama filsafat sejak kelahirannya pada zaman Yunani Antik. Pertama-tama memang Tuhan adalah istilah yang berasal dari bidang agama. Namun, istilah ini juga merupakan tema yang sangat sentral dalam filsafat. Karena itu, Martin Heidegger, filsuf yang paling intensif merefleksikan relasi antara manusia dan yang transenden (Ada/Sein) ini, pernah mengajukan sebuah pertanyaan fundamental: ”Bagaimana Tuhan masuk ke dalam filsafat? Maksudnya, mengapa dan untuk kepentingan apa Tuhan yang notabene adalah istilah teologi itu harus diimpor ke dalam filsafat dan bahkan menjadinya salah tema sentralnya?

Kendati Heidegger menjawab pertanyaan itu dengan mengacu kepada perbedaan ontologis antara Ada (Sein) dan pengada (Seinden), penelitian literatur memperlihatkan bahwa Tuhan masuk menjadi istilah filsafat sejak manusia berpikir mengenai keseluruhan kenyataan. Dan sejak awal kelahirannya, filsafat adalah usaha untuk memahami keseluruhan kenyataan, dan Tuhan atau Yang Ilahi dianggap sebagai sumber atau asal-usul kenyataan tersebut. Istilah teologi sendiri, sebagai pemikiran mengenai prinsip pertama realitas (Prinzipiendenken), secara etimologis menurut Aristoteles berarti: pemikiran tentang asal-usul yang bersifat ilahi (Denken des göttlichen Ursprungs).

IV. Rasionalitas iman
Banyak filsuf lain yang juga secara intensif merefleksikan Tuhan secara rasional filosofis. (Lihat Wilhelm Weischedel, Gott der Philosophen. Grundlegung einer philosophischen Theologie im Zeitalter des Nihilismus, 2. Bde., (München/Darmstadt: WBG, 1971).

Di atas saya sudah berbicara mengenai jalan rasional yang membawa manusia kepada Tuhan. Manusia tiba kepada yang transenden, entah dalam bentuk pengetahuan transendental maupun spekulatif metafisis, berdasarkan aktivitas akal budinya. Bagaimana dengan realitas transenden atau Tuhan dalam agama monoteis? Fakultas mana dari diri manusia yang berperan untuk membawa kita kepada (kepercayaan) akan yang transenden tersebut? Imankah? Atau akal budi?

St. Agustinus mengatakan bahwa akal budi (reason) adalah pengantar untuk iman. Dia mengatakan bahwa akal budi memainkan peran ganda (two-fold role) dalam pembentukan kepercayaan kita kepada Tuhan. Pertama, akal budi atau rasio membuka jalan bagi iman, dan dalam arti ini, rasio mendahului iman. Agustinus menulis: ”For who cannot see that thinking is prior to believing? For no one believes anything, unles he first thought it is to be believed. For however suddenly, however rapidly, some thoughts fly before the will to believe … it is yet necessary that everything which is believed should be believed after thought has preceded.” (Wilma Gundersdorf von Jess, „Reason as Propaedeutic to Faith in Augustine,” dalam International Journal for Philosophy of Religion, vol. 5, December 1974, hal. 225-233.)

Kedua, akal budi kemudian menerangi iman, sesuai dengan ajaran Anselmus, fides quaerens intellectum, iman yang mencari pengertian. Dengan demikian, kita dapat mempertanggung-jawabkan iman secara rasional.

Dalam pandangan Agustinus, kepercayaan adalah sebuah bentuk pengetahuan tertentu. Karena itu, kemungkinan iman juga tergantung dari rasio. Itu juga yang menyebabkan hanya manusialah mahluk yang memiliki kemampuan untuk beriman. Dalam proses pembentukan iman ini, demikian Agustinus, rasio lebih dulu bekerja sebelum kita memutuskan untuk memahami dan mempercayai apa yang kita dengar. Karena itu hasil karya rasio dalam proses beriman ini tidak boleh diremehkan. Agustinus mengingatkan: “Jika kita meremehkan atau membenci rasio, maka kita juga harusnya menolak citra Allah di dalam diri kita dan sumber yang membuat kita memiliki keunggulan di antara semua ciptaan lainnya. Tapi ini tentu saja akan absurd,” katanya. (Augustine in His own Words, ed. William Harmless, S.J. (Washington, D.C.: The Catholic University of America Press 2010), hal. 29.)

Saya dapat menerima ajaran Agustinus ini. Bagaimana pun, iman memang mengandaikan pengetahuan. Kita tidak mungkin begitu saja memiliki kepercayaan kepada sesuatu, termasuk kepercayaan kepada Tuhan. Kepercayaan selalu didahului oleh penalaran dan pengetahuan, misalnya, bahwa sesuatu yang mau dipercayai itu memang layak atau masuk akal dipercaya. Kita memiliki kepercayaan kepada Tuhan karena memang dengan akal budi kita melihat bahwa Tuhan memang layak menjadi obyek kepercayaan. Bahkan dalam kasus pewahyuan ilahi pun rasanya tidak sulit melihat betapa sentralnya akal budi kita dalam menerima dan memahami wahyu tersebut. Kita menggunakan akal budi kita untuk memahami, mengidentifikasi dan menafsirkan wahyu Ilahi, yang kemudian menghasilkan kepercayaan.

Karena itu kita dapat mengatakan bahwa rasio adalah instrumen pertama untuk memperoleh pengetahuan religius atau kepercayaan.

Tentu ada juga beberapa teolog lainnya yang melihat peranan rasio dalam iman. Di sini kita perlu ingat kepada Anselmus dan Aquinas. Pada zaman kita sekarang, Alvin Plantinga seorang teolog yang mencoba mendamaikan antara sains dan agama. Tampaknya memang benar pernyataan Hegel bahwa tidak ada sesuatu pun dalam agama yang bukan merupakan hasil akal budi manusia. Bahkan kata-kata yang kita pilih (dari sekian banyak kemungkinan kata yang bisa kita gunakan) untuk mengungkapkan iman kita — misalnya mengapa kita menggunakan kata Allah dan bukan Zeus atau dewa atau tuan, mengapa kita menggunakan iman dan bukan aman?, dan seterusnya – itu semua adalah buah pemikiran rasional kita, dan itu indikator yang jelas bagi ketidakmungkinan untuk memisahkan iman dari rasio.

(Barangkali kita perlu ingat kritik pedas Hegel terhadap filsuf dan teolog Schleiermacher yang mengatakan bahwa agama itu adalah perasaan ketergantungan dan ketaatan mutlak kepada yang Absolut; Hegel mengatakan, “if religion in man is based only on a feeling, then the nature of that feeling can be none other than the feeling of his dependence, and so a dog would be the best Christian for it possesses this in the highest degree and lives mainly in this feeling,” dalam Hegel`s Foreword to H. Fr. W. Hinrichs`, Die Religion im inneren Verhältnisse zur Wissenschaft (1822), dalam Beyond Epistemology, ed. Frederick G. Weiss (The Hague: Martinus Nijhoff, 1974), hal. 238.)

V. Rerasionalisasi agama/iman
Di tengah-tengah ancaman fundamentalisme agama sekarang ini, juga dengan gelombang ateisme baru yang dibawa oleh perkembangan sains, sudah waktunya kita memperkenalkan agama yang lebih rasional. Kant pernah memperingatkan bahwa beragama yang tidak kritis dan tidak rasional justru rentan menimbulkan kecurigaan yang akan merugikan agama itu sendiri. Dengan status kesucian, penetapan hukum (Gesetzgebung) dan keagungan yang dimilikinya agama memang cenderung mengecualikan dirinya dari sikap kritis terhadap diri sendiri, namun itu justru akan merugikan agama itu sendiri (KdrV, A XI, catatan kaki).

Selain itu, seperti telah disinggung di atas, beragama yang tidak rasional juga akan membuat agama rentan jatuh ke dalam tindakan-tindakan fundamentalis karena model beragama demikian hanya akan digerakkan oleh emosi dan passion.

Rerasionalisasi agama itu tidaklah menyalahi, tapi justru, sebagaimana telah diperlihatkan di atas, sesuai dengan hakikat agama itu. Dengan rerasionalisasi itu kita mengembalikan kepada agama apa yang dulu pernah merupakan miliknya. Beragama bukanlah sekadar Amin, Haleluya, Puji Tuhan! Agama bukanlah sekadar iman yang didasarkan atas perasaan, melainkan seharusnya iman yang didasarkan atas rasionalitas.

Untuk itu pengajaran agama dan aktivitas kerohanian perlu dilakukan dengan senantiasa berdialog secara kritis dengan ilmu-ilmu lainnya.

Salah satu tugas teologi pada zaman ini adalah merefleksikan dan mensistematisasikan pernyataan-pernyataan iman dalam dialognya dengan ilmu-ilmu sekuler, ya filsafat, sejarah, psikologi, politik, ilmu-ilmu alam dan lain-lain — dialog antara Athena dan Yerusalem. (Lihat misalnya, Christoph Böttigheimer, Wie handelt Gott in der Welt? Reflexion im Spannungsfeld von Theologie und Naturwissenschaft (Freiburg/Basel/Wien: Herder, 2013). Dalam buku ini, sejumlah teolog dan ahli ilmu alam merefleksikan bagaimana Allah bertindak di dunia.) 

Catatan redaksi: artikel ini dikutip dari laman Facebook Fitzerald Kennedy Sitorus