Oleh: Fitzerald Kennedy Sitorus
Tanggal 18 Juni 2021, filsuf Jürgen Habermas berulang tahun ke 92. Habermas adalah salah seorang filsuf yang paling berpengaruh dewasa ini, juga termasuk filsuf paling tua yang masih hidup.
Filsuf tertua yang masih hidup barangkali adalah Dieter Henrich (lahir 1927), juga filsuf Jerman, dan merupakan lawan debat Habermas yang paling bermutu.
Henrich mengkritik dasar-dasar filosofis filsafat komunikasi Habermas, juga mengkritik pandangan Habermas tentang post-metafisika.
Menurut Henrich, tidak ada era post-metafisika. Henrich menuduh Habermas memahami metafisika secara keliru dan karikatural.
Dalam artikel yang ditulis oleh Peter Neumann untuk memperingati ultah Habermas ini dikatakan bahwa Habermas adalah seorang filsuf yang paling serius mendukung Uni Eropa (UE).
Menurut Habermas, UE itu adalah sebuah lembaga politik yang belum ada contohnya dalam sejarah. Dalam UE, negara-negara demokratis menyatukan diri dalam sebuah ikatan politik yang demokratis.
Arti penting UE adalah bahwa dia dapat dilihat sebagai jalan dan model untuk mewujudkan perdamaian abadi, sebuah gagasan yang dilontarkan oleh filsuf Immanuel Kant tahun 1795.
Dengan hanya mengandalkan refleksi kritis spekulatif, Kant mengatakan bahwa karena perdamaian lebih menguntungkan dibandingkan perang, maka umat manusia atau negara-negara republik nanti akan berusaha membentuk sebuah ikatan politik (federasi) di antara negara-negara republik/demokratis sehingga mereka dapat menjamin perdamaian di antara mereka.
Artinya agar mereka tidak terlibat perang sesama mereka, dan dapat mencapai tujuan bersama mereka secara bersama-sama.
Pembentukan PBB tahun 1945 dapat dilihat sebagai bukti kebenaran prediksi Kant itu.
Habermas masih melanjutkan gagasan Kant itu dalam dukungannya terhadap UE.
UE penting untuk menjamin perdamaian di antara anggota-anggotanya, sehingga anggota-anggotanya tidak terlibat konflik atau perang satu sama lain. Juga untuk mencapai tujuan bersama negara-negara tersebut. Kalau ikatan-ikatan seperti UE dapat diperluas oleh negara-negara lain dunia ini maka itu menjadi jalan penting bagi perwujudan perdamaian global.
Sebaliknya, kalau ikatan UE gagal, maka itu juga dapat dilihat sebagai pertanda buruk bagi kemungkinan penciptaan perdamaian abadi.
Argumen ini masuk akal. Hampir tidak pernah negara yang bersatu dalam sebuah lembaga supra-negara (misalnya, UE, ASEAN, NATO dan lain-lain) berperang satu sama lain.
Karena itu pembentukan federasi negara-negara demokratis atau republik penting sebagai jalan untuk mewujudkan perdamaian global, dan juga untuk mempromosikan demokrasi pada skala global.
Dan bukan hanya untuk perdamaian global. Federasi negara-negara (yang tergabung dalam sebuah lembaga supranegara) itu juga akan lebih efektif untuk bersama-sama mengatasi masalah yang mengancam kehidupan bersama umat manusia, seperti perang, pelecehan hak-hak asasi manusia di berbagai negara, perubahan iklim, konflik karena perbedaan bentuk-bentuk kepercayaan, krisis finansial, dampak-dampak negatif era digital, dan lain-lain.
Artinya, masalah-masalah ini akan dapat ditangani lebih efektif bila negara-negara bersama-sama menanganginya melalui sebuah lembaga supranegara.
Di situlah arti penting lembaga supra-negara bagi keberlangsungan bukan hanya perdamaian global tapi juga barangkali umat manusia. Namun sekarang, UE menghadapi banyak tantangan, dan itu sangat disayangkan.
Habermas mengatakan bahwa cita-cita untuk mewujudkan perdamaian abadi melalui pembentukan lembaga supra negara yang demokratis itu hanya dapat tercapai bila semua pihak berkomunikasi satu sama lain sesuai dengan etika komunikasi yang digagasnya sendiri: komunikasi yang setara dan bebas dari dominasi.
Satu hal penting bagi masyarakat kita dari pemikiran Habermas adalah apa yang disebutnya sebagai pengandaian mutlak bagi sebuah diskursus yang rasional, yakni “der zwanglose Zwang des besseren Arguments. ”Ini juga merupakan norma bagi kehidupan bersama sebuah masyarakat. Frase ini berarti ”daya paksa yang tidak dipaksakan oleh argumen yang lebih baik.
”Kadang frase ini juga dirumuskan dengan: “the unforced force of reason” (daya paksa akal budi yang tidak dipaksakan).
Frase ini berarti, dalam diskusi rasional, kita harusnya menerima sebuah argumen yang memang terbukti secara rasional lebih baik sekalipun penerimaan tersebut tidak perlu dipaksakan.
Kalau kita manusia rasional maka kita akan mengakui sebuah argumen yang lebih baik, sekalipun kita tidak perlu dipaksa untuk menerimanya. Yang memaksa kita untuk menerima argumen yang lebih baik itu adalah rasio atau akal budi kita.
Kalau kita tidak mau menerima argumen yang lebih baik, maka itu berarti kita tidak rasional, karena akal budi atau rasio kita tidak berfungsi.
Ini berarti, dalam diskusi yang rasional, sikap ngeyel, ngotot atau bersikap ”pokoknya”, sebagaimana sering terjadi di masyarakat kita, tidak berlaku.
Itu hanya membuktikan kita belum rasional. Tetap berpegang teguh pada keyakinan sendiri sekalipun data atau argumen yang diajukan sudah membuktikan kekeliruan keyakinan kita itu, itu juga sikap yang tidak rasional.
Kalau kita manusia rasional maka kita harus bersedia menerima argumen yang lebih baik dari argumen kita, tanpa perlu dipaksa. Kehidupan bersama sebuah komunitas juga hanya bisa berjalan dengan baik kalau pengandaian di atas dijadikan pegangan dalam berkomunikasi.
Penulis adalah pemerhati masalah sosial budaya, lulusan Johann Wolfgang Goethe-Universitat, Frankfurt am Main, Jerman