JAKARTA (Independensi.com) – Keputusan pengurus Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI) menyerahkan pengelolaan Rumah Sakit Cikini (RS Cikini) kepada pihak swasta mendapat penolakan dari sejumlah pihak, terutama konstituen gereja-gereja di bawah naungan PGI. Pihak karyawan, perawat, dokter dan guru besar juga menolak secara tegas keputusan PGI tersebut.
Di media sosial, mulai digulirkan petisi penolakan dan setuju dibatalkan kerja sama RS PGI Cikini dengan pihak swasta. Gelombang penolakan kerja sama itu diperkirakan akan terus meningkat, karena mereka khawatir aset milik gereja itu hilang.
“RS Cikini memang butuh investor untuk memperbaiki fasilitas rumah sakit dan untuk memperbaiki kinerja keuangan, tetapi bukan dalam bentuk kerja sama built, operate and transfer (BOT). Model kerja samanya harus diubah, sehingga aset PGI tersebut tidak hilang,”kata seorang warga gereja HKBP, M Napitupulu di Jakarta, Selasa (20/7/2021).
Menurut dia, hampir semua pihak mendesak agar kerja sama dengan pihak swasta dalam bentuk BOT tersebut dibatalkan, karena lebih banyak mudarat daripada manfaatnya. Hanya pengurus PGI saja yang setuju, sebagian besar tidak setuju. Kenapa? Karena kerja sama dengan swasta ini dipastikan akan menghilangkan visi dan misi RS PGI Cikini yang menekankan unsur pelayanan sosialnya.
Swasta akan mengutamakan mengejar keuntungan dengan menerapkan tarif komersial. Padahal RS Cikini selama ini terkenal sebagai pelayanan Kasih. Lalu apa lagi yang menjadi ciri khas RS PGI Cikini yang sudah bertahan selama 123 tahun?
Sebagaimana diketahui PGI sebagai pemangku kebijakan Yayasan Kesehatan RS PGI Cikini telah menandatangani kerja sama dengan PT Famon Awal Bros Sedaya pada tanggal 25 Juni 2021 lalu di Grha Oikoumene PGI Jalan Salemba, Jakarta Pusat.
Dasar keputusan pengurus PGI di bawah kepemimpinan Pendeta Gomar Goeltom kerja sama dengan swasta sesuai amanat Sidang Raya Majelis Pengurus Harian (MPH) PGI di Waingapu Tahun 2019. Anehnya, ketika memaparkan kondisi RS PGI Cikini di sana tanpa sepengetahuan manajemen RS PGI Cikini.
Mereka jalan sendiri saja dengan konsepnya. Lebih lanjut lagi, bahwa BOT yang ditandatangani secara diam-diam dan terkesan terburu-buru yakni tanggal 25 Juni 2021 yang lalu. Apa yang dilakukan itu sangat jauh berbeda dengan apa yang dilaporkan tentang rencana BOT pada MPL PGI.
Perlu diketahui bahwa kerja sama dengan swasta tersebut tidak pernah disosialisasikan kepada karyawan, staf dan para dokter-dokter maupun para Guru Besar yang sudah puluhan tahun mengabdi di RS Cikini.
Hanya antara Yayasan Kesehatan dan Pengurus PGI saja yang mengolahnya dimana Pengurus Yayasan Kesehatan tersebut adalah ditunjuk, diangkat dan diberhentikan oleh PGI. Dengan demikian PGI dan Yayasan Kesehatan PGI merasa bahwa mereka bisa berlaku se-wenang-wenang dan yang paling menentukan secara mutlak atas RS PGI Cikini.
Walaupun hal tersebut mungkin “äda benarnya”jika hanya dilihat sepintas, secara legalitas formal sesuai UU Yayasan dimana yang menentukan adalah Pembina. Tapi yang menjadi kebenaran hakiki adalah bahwa Ketua PGI menjadi Ketua Pembina Yayasan Kesehatan PGI Cikini adalah secara ex-officio yang berganti tiap 5 tahun selama memimpin PGI yang dipilih secara terjadwal dan bergiliran secara periodik.
Hal inilah yang dihayati dan disadari oleh Keua-ketua PGI sebelum kepemimpinan Pdt Gomar Goeltom, sehingga tidak pernah terjadi friksi-friksi dan pelayanan RS PGI Cikini berjalan baik-baik saja sampai tahun 2010.
Penjelasan PGI
Di bagian lain, Pihak PGI dalam rilisnya telah memberikan penjelasan bahwa kerja sama dengan PT Famon Awal Bros Sedaya atau Primaya Hospital Group karena kondisi keuangan RS PGI Cikini yang defisit.
Saat ini RS PGI Cikini dengan kondisi bangunan yang sudah tua dan memerlukan bangunan baru, demikianpun fasilitas kesehatan serta alat kesehatan yang sudah jauh tertinggal dengan rumah sakit lain. Sementara jumlah hutang terus membengkak mengakibatkan defisit yang besar.
Sejak tahun 2017 s/d 2019 RS PGI Cikini merugi secara akumulatif sebesar lebih kurang Rp 77 miliar dan hutang RS PGI Cikini per Desember 2020 sebanyak Rp. 52 miliar, sementara kewajiban dana pensiun sejumlah Rp 58 miliar. sehingga totalnya Rp 110 miliar.
Dijelaskan, permasalahan yang dihadapi RS PGI Cikini ini telah disampaikan oleh MPH PGI di Sidang Raya Tahun 2019 di Waingapu dan Sidang Raya mengamanatkan untuk dilakukan pengembangan RS Cikini dengan mengundang investor dengan mekanisme BOT. MPH – PGI telah membentuk Tim Negosiasi yang terdiri dari Ir. Chris Kanter (Ketua), Constant Ponggawa SH, Sheila Salomo SH, Prof Dr. Miranda Gultom, Agus Dharma dan Lim Kwang Tak dengan tugas mewakili PGI untuk proses negosiasi dengan pihak Investor.
PGI menegaskan kerjasama BOT ini adalah dalam rangka meningkatkan dan memodernisasi RS PGI Cikini baik dalam bentuk fisik bangunan maupun dalam bentuk pelayanan modern, tanpa terjadi pengalihan kepemilikan tanah dan RS PGI Cikini dalam bentuk langsung ataupun tidak langsung.
Katanya, investor hanya menyewa dan mengelola 1 Ha tanah untuk jangka waktu 30 tahun dan akan membangun di atasnya bangunan Rumah Sakit seluas 14,000M2 dan bangunan parkir 4,000M.
Sementara itu sisa tanah seluas kurang lebih 4,5 Ha akan tetap dikelola oleh PGI dan YAKES PGI untuk menunjang dijalankannya visi dan misi PGI dan YAKES PGI. Investor tidak dibolehkan mengagunkan bangunan dan tanah sewaan.
Atas penyewaan dan pengelolaan rumah sakit tersebut investor memberikan konpensasi yang pasti kepada PGI dan YAKES PGI, dan setelah penandatangan (selambat lambatnya 3 bulan) akan langsung dilakukan perbaikan-perbaikan ruangan yang penting. Tanah sewaan dan bangunan akan dialihkan kembali penguasaannya ke PGI setelah 30 tahun.
Dalam pengelolaan ini PGI akan menempatkan Komisaris Utama dan satu Direksi dalam PT yang mengelola rumah sakit selama BOT tersebut. Dengan ikut sertanya perwakilan PGI pada posisi Komisaris Utama dan Direksi, secara langsung PGI ikut mengawasi dan mengendalikan jalannya RS PGI Cikini.
Dengan demikian, tidak ada pengalihan tanah maupun kepemilikan RS PGI Cikini ke pihak Investor, baik secara langsung ataupun tidak langsung. RS PGI Cikini secara hukum tetap dan akan tetap menjadi milik PGI.
Secara teori apa yang disampaikan PGI tersebut, seolah-olah menguntungkan RS PGI Cikini dan konstituennya, padahal dalam waktu 30 tahun ke depan, banyak hal bisa terjadi, sehingga hak PGI itu bisa hilang. Karena investor swasta tidak ada yang mau rugi, apalagi kalau untung besar, maka mereka tidak akan mau melepas, meski sudah habis masa konsesi 30 tahun.
Kronologis keterpurukan RS PGI Cikini
Permasalahan demi permasalahan baru terjadi pada saat kepemimpinan Pdt Gomar Goeltom yang selalu “top-down”bahkan sering otoriter. Hal ini jelas terlihat bahwa dalam kepemimpinannya sejak jadi Sekum PGI dan diberikan wewenang menjadi Ketua Pembina Yayasan (yang sebenarnya sudah melanggar ketentuan UU Yayasan) maka terjadilah pergantian Pimpinan dan Anggota-anggota Yayasan sampai dua kali tanpa jelas kriteria dan jumlah direktur RS sering tak jelas.
Sejak kepemimpinan yang bersangkutan (Pdt Gomar Goeltom-red) tidak pernah tim direksi menjelesaikan masa tugasnya sampai akhir masa jabatan yang ditentukan sebagaimana lazimnya. Hal yang seperti itu tidak pernah terjadi pada pengurus PGI sebelumnya.
Kewenangan direksi yang tidak jelas, sehingga pernah seorang Direktur Utama mengundurkan diri setelah 1 tahun tidak bisa berbuat apa-apa. Dilain pihak direktur-direktur yang lain bisa diberhentikan tiba-tiba dan diangkat yang lain secara tiba-tiba juga.
Pada kepemimpinan Pdt Gomar Goeltom lah tercatat hal-hal aneh dalam struktur organisasi Direksi RS PGI Cikini dengan jumlah direktur pernah 5 orang, 4 orang, 3 orang, 2 orang bahkan pernah 1 orang dan paling sering sebagai pelaksana tugas (PLT) aja.
Tidak heran bahwa sistem dan tata laksana ämburadul”dan tentunya tidaklah heran bila selama periode tahun 2013 sampai 2017 Direksi Rumah Sakit Cikini tidak mampu malaksanakan persyaratan status Akreditasi yang dicapai Paripurna thn 2008 s/d 2013.
Hal ini disebabkan tidak jelasnya sistem organisasi, mekanisme kerja delegasi otoritas, sistem kontrole/evaluasi serta “patient safety”. Jadi memang terjadi “miss-management mulai tingkat PGI,Yayasan dan managemen RS sehingga keadaan RS sangat berbeda dari masa-masa sebelumnya dan mengakibatkan menurunnya semua lini pelayanan.
Keadaan diperparah lagi dengan terjadinya musibah tahun 2015, akibat pembangunan apartemen Totalindo dibelakang RS Cikini sehingga sebagian besar RS Cikini amblas /longsor dan tak bisa difungsikan. Konon khabarnya bahwa penyelesaian kasus ganti rugi musibah ini pun diambil alih oleh PGI/Yayasan dengan tidak transparan serta tidak seimbang dengan kerugian yang dialami RS Cikini.
Untungnya bahwa RS Cikini masih dapat melakukan fungsi pelayanannya dan cukup terbantu dengan ditetapkannya menjadi RS untuk melayanani covid-19. Kesempatan ini meningkatkan etos para karyawan, perawat dan dokter-dokter secara bahu membahu menanggulangi pasien-pasien covid-19 yang makin bertambah dan BOR RS Cikini sangat meningkat.
Untuk itu para perawat dan dokter-dokter berjuang penuh risiko dan cukup banyak yang terpapar dan harus dirawat. Dalam keadaan seperti ini, Direksi, dokter dan guru besar, perawat dan karyawan dikejutkan dengan kesepakatan antara PGI dan Yayasan Kesehatan RS PGI dan pihak Primaya dan ditandatangani -nya pengikatan secara BOT.
Hal ini tidak pernah disosialisasikan sebelumnya kepada para karyawan, perawat dan dokter/guru besar di RS Cikini. “Jadi, kerja sama itu sangat tidak transparan. Bahkan, terkesan ada hidden agenda dibalik kerja sama tersebut,” kata seorang dokter RS Cikini, Dr Tunggul Situmorang SpPD-KGH, kepada Independensi.com.
Ujung-Ujungnya Duit
Sementara itu, menurut penuturan seorang sumber Independensi.com, RS PGI Cikini sebetulnya tidak perlu diserahkan ke Primaya. RS PGI Cikini itu rusak semasa kepemimpinan Pdt Gomar Goeltom. Dulu, RS PGI Cikini menjadi RS kebanggaan masyarakat dan pendapatannya lumayan bagus. “Secara kinerja keuangan sehat,” kata sumber tadi.
Kondisi dan keadaan RS PGI Cikini hanya dimanfaatkan pihak-pihak tertentu, terutama pihak PGI dan Yayasan Kesehatan PGI Cikini dengan menyebutkan hal-hal negatif seperti hutang, rugi dan sebagainya terhadap manajemen.
Namun tuduhan Yayasan itu langsung dibantah oleh karyawan, staf dan direksi. Sepertinya memang ada grand skenario untuk mengambil alih RS PGI Cikini tersebut. Ada upaya framing dan stigmatisasi yang selalu disebarkan bahwa RS PGI Cikini tidak mau maju dan tidak bisa dirobah karena dokter-dokter-nya yang tidak bisa diatur dan menjadi raja-raja kecil.
Bahkan dengan sangat kejinya, menuduh bahwa dokter-dokter/guru besar yang sudah mengabdi puluhan tahun di RS PGI Cikini memperkaya diri dan membuat RS sebagai ATM nya? “Sungguh satu tuduhan tak berdasar dan menggambarkan pribadi dan kekerdilan berfikir yang tidak berbasis data/fakta,”kata sumber Independensi.com.
Tiada lain hanya sebagai alasan dan terbukti, sejak itu pihak Yayasan Kesehatan dan PGI untuk mencari investor, dengan alasan RS Cikini sudah tua, rugi, peralatan sudah tua dan lain sebagainya.
RS PGI Cikini ini sudah menjadi incaran pihak tertentu, karena lokasi dan asetnya memang luar biasa. Mereka masuk lewat PGI sebagai pemangku kepentingan Yayasan Kesehatan RS PGI Cikini untuk bisa masuk mengelola aset RS Cikini yang sangat strategis tersebut.
Dalam beberapa tahun terakhir, manajemen RS PGI Cikini jadi kacau karena sering gonta ganti direksi. Contoh saat tanda tangan kerja sama dengan PT Primaya, tidak ada direksi RS PGI Cikini yang diikutkan. Bahkan sesudah penandatanganan tersebut, Direktur Dr Inolin Panjaitan, satu-satunya direktur yang masih ada saat itu langsung mengundurkan diri.
Namun, oleh Gomar Goeltom, surat pengunduran diri tidak disetujui, sehingga seolah-olah manajemen RS Cikini masih sah, dan Bagian keuangan Yayasan Lim Kwan Tak langsung men-declare diri sebagai direktur umum.
Parahnya lagi, beberapa hari terakhir sudah mulai ada intimidasi terhadap karyawan dan dokter agar tunduk semua kepada peraturan yang dilakukan oleh PGI dengan menempatkan orang Yayasan Kesehatan di RS PGI Cikini.
Pelaksanaan BOT juga dipaksanakan dengan perubahan manajemen baru ke PT Famos Awal Bros Sedaya. Perubahan ini tentu saja dikhawatirkan akan berpengaruh kepada kegiatan pelayanan pasien covid-19.
Apalagi pihak karyawan, staf dan para dokter di RS Cikini, masih melakukan perlawanan terhadap pemaksaan BOT yang dilakukan pihak PGI dan Yayasan Kesehatan PGI Cikini. Berdasarkan data yang diperoleh wartawan, para karyawan telah mendandatangani surat penolakan kerja sama BOT dengan PT Primaya.
Selain itu, karyawan juga sudah mengajukan permohonan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) untuk memeriksa pihak Yayasan Kesehatan RS PGI Cikini, termasuk pengurusnya yakni PGI terkait pengelolaan RS PGI Cikini selama ini.
Pihak karyawan meminta supaya yayasan diperiksa, karena selama ini pihak Yayasan diduga sebagai pihak yang paling bertanggyung jawab atas keadaan ini,dan cenderung memanipulasi angka-angka keuangan yang belum diaudit secara internal maupun eksternal.
Data menunjukkan bahwa tagihan RS terkait Covid-19 saja melebihi Rp 66 miliar, belum lagi tagihan BPJS dan lain-lain. Alasan bahwa BOT adalah untuk meningkatkan pembangunan fisik RS dan peningkatan pelayanan dengan modernisasi alat-alat jelas menggambarkan ketidak pahaman dalam dunia perumahsakitan.
Modal pertama dan utama untuk tercapainya pelayanan yang berkualitas dan modern suatu RS adalah tersedianya SDM professional yang mumpuni dibidangnya dan sistem organisasi menejemen yang efektif dan effisient.
Bangunan fisik adalah dengan sendirinya dan alat-alat canggih sangat banyak di offer oleh produsennya dengan berbagai cara kerjasama bagi hasil/KSO. Jadi mengorbankan SDM professional yang sudah teruji puluhan tahun dan mengutamakan hal-hal sekunder jelas hanya penggiringan opini yang dangkal.
Perjuangan, suasana dan upaya optimal penanggulangan covid 19 saat ini dengan segala risikonya sangatlah tidak pada tempatnya untuk mamaksakan hal-hal yang mengganggu pelayanan kemanusiaan.
Terkait dengan hal itu, para karyawan juga meminta agar menunda dulu kerja sama BOT dengan pihak Primaya. Saat ini bukan waktu yang tepat untuk memaksakan kerja sama BOT, karena tidak dilakukan secara transparan.
Jadi apa yang dikesankan PGI dalam penjelasannya, bahwa seolah-olah dengan menempatkan direksi dan komisaris untuk mengawasi pihak swasta tersebut maka semua akan beres. Nanti dulu, banyak kemungkinan bisa terjadi dalam kurun waktu itu, karena uang bisa mengatur segalanya. Dulu saja gereja GPIB Immanuel Gambir pernah dijual oknum PGI ke pihak swasta.
Sekedar mengingatkan, rumah sakit PGI ini sesuai konsep awal dibangun adalah sebagai ladang pelayanan Kasih. Tentu saja tetap memperhatikan aspek professional supaya kinerja keuangan tetap mandiri dan karyawan juga sejahtera. Sebagai pemangku kepentingan terhadap RS PGI Cikini, pengurus PGI harus ingat hal itu dan wajib menjaganya sampai kapanpun.
Jangan sampai PGI membuat RS PGI Cikini “hilang”, seperti hak kesulungan Esau, karena semangkok bubur kacang merah” hilang fungsi dan pelayanan kesehatan Rumah Sakit bersejarah itu oleh pengurus karena tergiur uang. Semoga tidak!…(kbn)