Dipl.-Oek. Engelina Pattiasina. Istimewa

Thomas Matulessy, Kapitan Poelo atau Kapitan Pattimura?

Loading

Oleh: Dipl.-Oek. Engelina Pattiasina

Pengantar: Tulisan ini merujuk kepada sejumlah referensi lama karya Kapten Kapal Evertsen QMR Ver Huell, J Boelan (Perwira Kapal Maria Reigersbergen), Vermeulen Krieger (Perwira Ekspedisi ke Saparua, November 1817) yang terlibat dalam perang tahun 1817. Juga ada karya JBJ van Doren yang diterbitkan tahun 1857 dan laporan resmi tahun 1817 serta bahan bacaan lainnya)

JAKARTA (Independensi.com) – Inggris menduduki wilayah Hindia Belanda pada 1811. Namun, kekalahan Inggris dalam perang melawan Prancis dan Belanda menyebabkan Inggris harus mengembalikan wilayah Hindia Belanda kepada Belanda melalui Konvensi London pada tahun 1814. Tapi, realisasi baru terjadi pada tahun 1816. Bahkan di Maluku peralihan baru terjadi pada tahun 1817.

Kekuasaan atas Maluku dipindahkan dari Gubernur Inggris, W. B. Martin kepada Komisaris Pemerintah Belanda, Nicolaas Engelhard dan J. A. van Middelkoop di Benteng Victoria pada 24 Maret 1817. Keduanya tiba di Ambon pada Februari 1817

Tiga kapal Belanda melepas jangkar di Teluk Ambon. Kapal Evertsen dibawa Komando Kapten Laut N.H. Dietz yang meninggal 24 Maret 1817 sehingga digantikan Letnan Laut QRM Ver Huell. Kapal Nassau dibawa Komando Kapten Laut Sloterdijk dan Kapal Maria Reigersbergen dibawa Komando Letnan Laut Groot.

Perubahan penguasa ini berdampak pada perubahan kebijakan pada masa Inggris dan Belanda. Hal ini memicu ketidakpuasan di Maluku, terutama di kawasan Kepulauan Lease dan sekitarnya. Residen Honimoa (Saparua) dijabat Johannes Rudolph van den Berg sejak Maret 1817.

Persoalan bermula, ketika Residen van den Berg mengirim seorang penjaganya ke Negeri Porto untuk menangani Arumbai (kapal tradisional Maluku) yang penuh muatan palisade (pagar kayu). Tapi, penjaga itu ditangkap dan dianiaya.

Setelah memperoleh informasi ini, pada 13 Mei 1817, Residen van den Berg berkuda untuk menyelidiki sendiri masalah ini. Residen ditahan warga Porto dan Haria. Informasi ini menyebar luas, sehingga juru tulis Residen bersama 20 warga sipil bersenjata, seorang kopral dan 12 tentara Jawa berangkat ke Porto, tetapi di perjalanan mereka juga dihadang warga Porto dan Haria yang bersenjata sehingga mereka kembali ke Saparua.

Pada sore hari, Residen van den Berg dibawa ke Benteng Duurstede di Saparua yang diiringi massa yang terus berdatangan. Thomas Matulessy (Dalam berbagai referensi lama tercatat Thomas Matulesia) juga ikut dalam rombongan ini. Residen dibiarkan memasuki benteng untuk bergabung dengan keluarga dan warga yang ada di benteng sekitar 30-40 orang. Setelah tiba di Benteng Duurstede, Thomas Matulessy segera kembali ke kediamannya di Negeri Haria. Serangan ke benteng pada hari itu tidak terjadi karena hari beranjak gelap.

Keesokan harinya, massa kembali menyemut mendatangi Benteng Duurstede. Residen mengibarkan bendera putih, tetapi hal itu tidak mampu menenangkan massa. Terompet kerang atau bia (tahuri) ditiup. Tifa dipukul sambil Cakalele.

Pemilihan pemimpin perjuangan dilakukan puluhan pimpinan rakyat. Tapi mereka tidak berhasil memilih pemimpin. Situasi itu menyebabkan, Kepala Soa yang juga seorang Kapiten dari Negeri Tuhaha mengusulkan nama Thomas Matulessy yang segera disepakati semua pimpinan. Dalam pertemuan di Negeri Porto, Kepala Soa Tuhaha ini juga telah meminta kesediaan Thomas Matulessy. Mereka mengutus empat orang ke Negeri Haria untuk menemui dan memanggil Thomas Matulessy datang ke Saparua.

“Matulesia, in de vergadering komende, werd met algemeene stemmen tot kapitein Poeloe (hoofd des eilands) uitgeroepen, welke benoeming hij aannam met den titel van nopperhoofd des oorlog, over de eilanden Honimoa, Haroeka, Noessa-Laut, Amboina, Ceram en nabij gelegen kusten”. Begitu tulisan Jan Baptist Jozef van Doren, tahun 1857.

Kalau diterjemahkan kira-kira, Matulesia tiba dalam pertemuan, semua pimpinan sepakat mendeklarasikan Thomas Matulessy sebagai Kapiten Poelo (Kapten Pulau) sebagai panglima perang atas Pulau Honimoa (Saparua), Haruku, Nussa-Laut, Ambon, Seram, dan pulau-pulau sekitarnya.

Hal ini juga terkonfirmasi dalam Buku Tahunan Kerajaan Belanda Tahun 1817, yang menyatakan, “Het opperhoofd, Thomas Matulessy, die den titel voerde Panbliula Parangan Di Atas Poelo Honimao, Haroekoe, Ceram, Hila, Noessa Laout dan layin” (Pimpinannya, Thomas Matulessy, menyandang titel/gelar Panglima Perang di atas Pulau Honimoa [Saparua], Haruku, Seram, Hila, Nusa Laut dan lainnya”

Pengangkatan Kapitein Poelo ini disertai dengan sumpah untuk mematuhi semua perintah tanpa alasan. Bagi yang tidak patuh akan dipaksa untuk memenuhi perintah Kapitein Poelo Thomas Matulessy. Setelah mendapat mandat itu, Thomas Matulessy segera memerintahkan untuk menyerang Benteng Duurstede. Residen van den Berg bersama keluarga dan warga yang berada dalam benteng menjadi korban dalam peristiwa 16 Mei 1817 (Mungkin 14 Mei 1817 ?).

Namun, keesokan harinya, ketika warga ke Benteng Duurstede untuk memakamkan korban, warga menemukan seorang anak Residen van den Berg. Temuan anak ini dilaporkan ke Thomas Matulessy. Ada massa yang menghendaki agar anak itu dibunuh, tetapi Thomas Matulessy ingin anak itu hidup dan mempercayakan kepada Arnold Patiwael yang kemudian diserahkan kepada kakaknya Salomon Patiwael (Belakangan jadi Raja Tiouw). Nanti, setelah perang berakhir anak ini dibawa Kapten Kapal Evertsen Q.M.R. Ver Huell ke Jawa untuk diserahkan kepada keluarganya. Di kemudian hari anak ini dikenal sebagai Van Den Berg van Saparua.

Siapa Thomas Matulessy? Van Doren maupun J. Boelan memberikan gambaran yang mirip, Thomas Matulessy merupakan orang Ambon sejak lahir dan penganut Gereformeerde Godsdienst (Kristen Protestan). Dia berusia sekitar 34 tahun, bertubuh tinggi, berwajah tegas dan serius, berkulit gelap. Dia belum menikah tetapi memiliki kekasih, Elisabeth Gassier.

Thomas Matulessy lahir di Haria, Pulau Saparua, Maluku, 8 Juni 1783 dari pasangan Frans Matulessia-Fransina Silahooij. Dia memiliki saudara kandung yang bernama Johannes Matulessy. Keluarga ini tinggal di Negeri Haria.

Pada masa pemerintahan Inggris, Thomas Matulessy menjabat sebagai Sersan Mayor. Dia sangat memahami tata krama, terampil membaca dan menulis, dan memiliki kecakapan militer. Selain itu, Thomas Matulessy adalah penembak jitu yang sangat baik dan mahir menangani semua senjata.

Dengan profil seperti ini tak mengherankan kalau Thomas Matulessy mendapat rasa hormat dan kekaguman dari pemimpin di bawahnya, sehingga tidak ada yang menentang atau melawan perintahnya. Thomas Matulessy menuntut sikap disiplin yang ketat.

Sebenarnya desas desus rencana perlawanan sebenarnya sudah sampai ke Residen di Saparua dan bahkan pemerintah Belanda di Ambon juga sudah mendapat informasi, tetapi diacuhkan karena dianggap sebagai rumor.

Namun, apa yang dianggap sekadar rumor ini mengagetkan pemerintah Belanda di Ambon ketika Gubernur van Middelkoop pada 17 Mei 1817 memperoleh sepucuk surat yang dikirim isteri Residen van den Berg, Johanna Christina Umbgrove tertanggal 13 Mei 1817, yang menginfokan, kalau suaminya telah ditangkap penduduk di Haria atau Porto. Dia melarikan diri ke benteng dan meminta bantuan segera dikirim dari Ambon.

Ketika informasi ini sampai di Ambon, perlawanan rakyat yang dipimpin Thomas Matulessy telah berhasil merebut Benteng Duurstede yang menewaskan Residen van den Berg dan keluarganya bersama seluruh penghuni benteng.

Residen van den Berg, sempat meminta bantuan, tapi catatannya tidak sempat terkirim dan catatan ini ditemukan belakangan yang menyatakan, “Sergeant komt spoedig cito met 12 man met scherp geladen, om mij te verlossen , alles is in oproer” Van den Berg.

Kurang lebih berarti, Sersan segera datang dengan 12 orang bersenjata tajam, untuk menyelamatkan saya, semuanya dalam kekacauan.

Penyerangan Benteng Duurstede ini menyebabkan, Gubernur Maluku mengirimkan ekspedisi ke Saparua pada 17 Mei 1817 untuk meredam perlawanan rakyat, dengan kekuatan cukup besar, yakni 112 pelaut dan marinir dari kapal Evertsen dan Nassau dan 188 prajurit garnisun di bawah komando Mayor Pioner Beetjes.

Pada 28 Mei, pasukan Beetjes mendarat di Saparua. Namun, pejuang Thomas Matulessy sudah menunggu di tepi pantai. Ekspedisi Beetjes yang membawa sekitar 300 prajurit ini gagal total. Ada 159 orang yang tewas dari pihak Belanda, termasuk Mayor Beetjes. Pasukan yang selamat kembali ke Ambon dan sempat berlabuh di Negeri Suli dan Pulau Haruku.

Peristiwa kemenangan pasukan Thomas Matulessy ini telah mengobarkan semangat perlawanan rakyat untuk melawan Belanda di hampir semua kepulauan rempah.

Kembali ke soal Arumbai di Porto, sebenarnya hanya puncak dari kekecewaan rakyat terhadap sejumlah kebijakan Pemerintah Belanda. Perwira Angkatan Laut, J. Boelan (Perwira di Maria Reigersbergen) yang ikut dalam ekspedisi di Pulau Saparua ini mencatat, pada 14 Juli 1817, ada pertemuan antara delegasi dari Kapal Maria Reigersbergen, Letnan Ellinghuizen dan Christiaansen dengan beberapa pimpinan rakyat di Hatuwano (Saparua) untuk mengetahui alasan perlawanan di Saparua. Ada tiga hal yang terungkap. Pertama, penganiayaan terhadap rakyat; Kedua, pemerintah belanda tidak menerima pembayaran uang kertas; Ketiga, warga menginginkan seorang pendeta dan kepala sekolah untuk anak mereka.

Namun, sesuai penelusuran Van Doren, ada tujuh poin pokok keberatan warga ketika itu. Pertama, untuk kepercayaan, Pemerintah Belanda menghalangi pengamalan agama tradisional. Kedua, ketidakpuasan terhadap peredaran uang kertas yang diperkenalkan Belanda. Ketiga, setelah uang kertas diedarkan, Residen menolak untuk menerimanya, tetapi meminta mata uang perak untuk pembayaran kepada negara. Keempat, Residen mengancam akan mengirim mereka ke Batavia sebagai tawanan jika menolak, tetapi akan dibebaskan jika memberikan uang perak.

Kelima, Residen menanyakan perizinan kepada warga dan ketika memilikinya, dia tidak mengembalikan, kecuali dengan membayar lima puluh sp. dolar perak atau 60 gulden. Keenam, mereka harus memberikan garam, ikan kering, dan daging kering (dendeng) tanpa bayaran. Ketujuh, semua tenaga kerja dan persediaan material, yang dulunya dibayar Belanda dan Inggris, sekarang diambil tanpa pembayaran.

Kapten Kapal Evertsen, QMR Verhuell, yang memiliki surat yang diteken sendiri Thomas Matulessy yang dikeluarkan di Saparua, 12 Juli 1817 dalam Bahasa melayu. Surat itu ditujukan kepada semua panglima yang menguasai pulau-pulau, tentang permintaan semua pulau dan mengenai perang dengan Kompeni. Kalau diterjemahkan bebas, kira-kira begini, “Meskipun saya tidak tahu sedikit pun alasan dari apa yang terjadi pada peristiwa 14 Mei 1817.

Semua desa di pulau-pulau mengumpulkan orang-orang untuk mengambil sumpah. Saya tidak tahu apa yang mereka inginkan. Setelah semua bergabung, kemudian mereka bersepakat untuk tidak menuruti perintah Residen, karena Residen telah menindas dan memaksa mereka dengan berbagai cara, tanpa menerima imbalan apapun atas pekerjaan mereka untuk mendukung penghidupan mereka. Oleh karena itu pada hari ke-14 tersebut mereka mengikatkan diri dengan sumpah.

Kemudian mereka berkata kepada orang-orang di dua negeri, kalau mereka tidak menenggelamkan Arumbai, negeri mereka akan hancur. Kemudian, warga dari dua negeri menenggelamkan Arumbai, sehingga tidak berangkat ke Ambon pada hari yang sama.

Para kepala, yang memimpin mereka, yang telah pergi membawa kedamaian bagi Kompeni, tidak tahu alasan perang saat ini, oleh karena itu surat-surat Kompeni, yang ditulis untuk orang-orang di pulau, tidak dipahami. Untuk itu, saya telah meminta informasi kepada para pemimpin, dan mereka telah menjawab, bahwa mereka berharap saya akan menyelidiki sendiri.

Saya mengatakan bahwa perang telah datang karena kebencian musuh kita. Kemudian mari kita pergi dan menemukan musuh-musuh itu, dan bagaimana kita bisa melakukannya, ketika kita mendengarkan nubuat tentang perdamaian.

Untuk ini mereka menjawab, apakah itu damai atau perang, kita akan tetap mati. Mungkin Tuhan telah memberikan perang ini di pulau-pulau, karena mereka pantas mendapatkannya. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk melanjutkan perang itu. Saparua,12 Juli 1817, Thomas Matulesia”.

Di sini tampak kalau Thomas Matulessy tampak memahami detail persoalan Arumbai di Porto. Tetapi mengetahui keluhan dari penduduk pulau-pulau terhadap perlakuan pemerintah Belanda.

Thomas Matulessy juga tampak mempertimbangkan peperangan, karena di satu sisi ada ajaran mengenai kedamaian dalam Agama Kristen yang dianutnya. Tapi, rupanya perang ini disikapi sebagai kehendak Tuhan.

Keinginan akan adanya seorang pendeta, juga disampaikan Thomas Matulessy kepada taruna di Kapal Maria Reigersbergen, Feldman yang diutus untuk turun ke darat menyampaikan pesan kepada Thomas Matulessy. Feldman mengaku diperlakukan tidak baik, karena dipaksa berjalan dari Benteng Duurstede sampai ke Negeri Haria (rumah ibu Thomas Matulessy) sementara Thomas Matulessy menunggang kuda.

Namun, perlakuan kepada Feldman berubah ketika dia mengisahkan kalau ayahnya seorang pendeta. “Jika ayahmu adalah seorang pendeta, kamu harus memintanya untuk datang ke sini (Honimoa/Saparua),” kata Matulesia kepadanya seperti dicatat J.Boelan (perwira yang juga rekan Feldman dan Christiaansen) dalam catatan hariannya.

Misi Feldman dan Christiaansen (orang Denmark di Ambon fasih bahasa setempat) yang dikirim ke darat untuk menyampaikan pesan kepada Thomas Matulessy. Namun, pada 22 Juli 1817, Thomas Matulessy mengirim surat ke kapal, yang intinya menyatakan, “Setuju untuk gencatan senjata tetapi dia tidak dapat berdamai”. Surat Thomas Matulessy ini tidak pernah mendapat balasan lagi.

Kekalahan ekspedisi Mayor Beetjes di Saparua menyebabkan Komisaris Jenderal dari Batavia (Jakarta), Laksamana Muda Arnold Adriaan Buyskes harus mengambil alih otoritas seluruh Maluku dan memberhentikan Komisaris Engelhardt dan Gubernur van Middelkoop yang sebenarnya sudah mengundurkan diri. Dia tiba di Ambon pada 30 September 1817 dengan Kapal “Prins Frederik” di bawah Komando dipimpin Kapten Van Senden.

Kapal ini juga mengangkut 250 infanteri dari Batavia yang dikomandoi Mayor Meijer. Pasukan ini juga didukung pasukan Kora Kora. Sebelum ke Saparua dan Haruku, terlebih dahulu menyisir daerah-daerah di Ambon, Seram yang juga melakukan perlawanan. Setelah itu, barulah mereka menyerang Haruku dan Saparua.

Pulau Honimoa (Saparua) dikepung dari berbagai sisi, baik dari laut dan darat. Sesuai catatan pada 13 Oktober 1817, pasukan di bawah Komando Mayor Meijer, terdiri dari, 110 pelaut Eropa termasuk perwira, 30 tentara Eropa bersenjata, 20 orang pribumi. Mayor Meijer membagi kapal bersenjata menjadi tiga divisi, yang didukung pasukan Kora Kora.

Pasukan Meijer di Saparua, pertama menghancurkan Porto dan Haria. Dari sini, pasukannya bergerak ke Tiouw, Sirri Sorri, Ullath dan Ouw. Di sini pasukan Mayor Meijer menghadapi perlawanan keras dari rakyat yang dipimpin Christina Martha Tiahahu. Pasukan Meijer mengalami kesulitan karena kehabisan amunisi, yang memaksa mereka menggunakan sangkur.

Sementara pasukan Christina menggunakan beragam senjata, termasuk batu. Christina Martha juga diketahui yang melempar batu ke arah Meijer. Di akhir pertempuran, Christina dengan lembing di tangan terperangkap dalam bumi hangus di Ullath dan Ouw. Mayor Meijer menderita luka yang cukup parah dan dibawa ke Ambon, Kapten Krieger terluka dan Letnan Richemont tewas dalam pertempuran.

Kejatuhan Ullath dan Ouw juga menandai penaklukan Saparua, yang diikuti dengan penaklukan semua pimpinan perang pada 12 November 1817, yakni Thomas Matulessy, Philip Latumahina, Anthony Rhebok, Said Perintah, Thomas Pattiwael, Kapiten Paulus Tiahahu. Semua ini menandai berakhirnya perlawanan di Saparua.

Kapitan Paulus Tiahahu dieksekusi di Nusa Laut, setelah disidang di atas kapal. Sedangkan Christina Martha lolos dari hukuman mati, tapi dia memohon ayahnya dibebaskan tapi tidak dikabulkan. Eksekusi terhadap ayahnya ini menyebabkan Christina Martha patah arang. Christina Martha hendak dikirim ke Jawa dengan Kapal Evertsen, tetapi Christina Martha menghembuskan napas di atas Kapal Evertsen dengan Kapten QMR Verhuell pada 2 Januari 1818 dalam usia remaja.

Namun, hanya berselang 14 hari, Mayor Meijer meski sudah mendapat perawatan medis di Ambon, juga tidak diselamatkan karena meninggal pada 16 Januari 1818. Pemerintah Belanda membuat tugu peringatan di Batu Gajah. Dia meninggal dalam usia 28 tahun karena terluka dalam pertempuran pada 12 November 1817 di Ulatth dan Ouw. Belanda membayar mahal, karena ada 11 petugas dan 532 orang yang menjadi korban dalam peperangan ini.

Sementara itu, Thomas Matulessy, Philip Latumahina, Anthony Rhebok dan Said Parinta dijatuhi vonis pada 16 Desember 1817 di Benteng “New Victoria” Ambon.

Di malam terakhir, Thomas Matulessy dikelilingi kepala sekolah dan sebagai seorang Kristen, Thomas Matulessy menghabiskan malam terakhir dengan bermazmur dan beribadah.

Di pagi hari, tanggal 16 Desember 1871, Thomas Matulessy, Anthony Rhebok, Philip Latumahina, dan Said Parinta mendengarkan keputusan dewan hakim. Mereka divonis hukuman mati di tiang gantung. Philip Latumahina terlebih dahulu dieksekusi, disusul Anthony Rhebok, Said Parinta dan terakhir Thomas Matulessy. Philip Latumahina harus dua kali menjalani eksekusi karena eksekusi pertama gagal, karena gantungan patah akibat tidak mampu menahan tubuh Philip Latumahina yang besar.

Thomas Matulessy naik ke atas dengan langkap mantap. Dengan suara tenang dan keras menyatakan, “Slammat Tinggal Toewan-toewan!” Ini merupakan kata terakhir Thomas Matulessy.

Mengikuti kisah perjuangan Thomas Matulessy pada tahun 1817 ini, sangat mengejutkan karena dari berbagai referensi yang ada, tidak pernah muncul gelar Kapitan Pattimura untuk Thomas Matulessy, karena gelar yang disematkan melalui sumpah sebagai pemimpin perang adalah Kapitein Poelo. Gelar yang disematkan di Pulau Honimoa (Saparua) ini juga menunjukkan betapa ada kesadaran para pemimpin pada masa itu akan keberadaan Maluku sebagai wilayah kepulauan, sekaligus menjadi pengingat sebagai orang kepulauan.

Lantas, muncul pertanyaan sesungguhnya dari mana asal muasal Kapitan Pattimura ini disematkan kepada Thomas Matulessy. Di sini, kita tidak serta merta menolak gelar Kapitan Pattimura, tetapi sangat lumrah sebagai awam untuk mengetahui riwayat penyematan gelar ini.

Penulis berusaha untuk memeriksa sejumlah referensi tua, termasuk yang ditulis pelaku dalam perang di tahun 1817, ternyata memang tidak ada atau penulis belum temukan. Begitu juga berbagai referensi sebelum Indonesia merdeka, tidak ada referensi yang merujuk kepada gelar Kapitan Pattimura bagi Thomas Matulessy.

Sejauh yang bisa ditemukan, Pattimura ini muncul pada tahun 1950-an melalui nama batalion Pattimura, Pemuda Pattimura, termasuk perubahan nama Bandara Laha menjadi Bandara Pattimura.

Untuk itu, kaum intelektual dan para sejarawan semestinya mengambil peran dan tanggung jawab, sehingga memberikan jawaban terhadap perubahan Kapitan Poelo menjadi Kapitan Pattimura. Semestinya gelar Kapitan Poelo tidak menjadikan perjuangan Thomas Matulessy dan kawan-kawan menjadi kecil. Sebaliknya, penggunaan Kapitan Pattimura tidak serta merta membesarkan perjuangan Thomas Matulessy. Perjuangan Thomas Matulessy akan tetap besar, karena memang begitu adanya, apapun gelar yang disandangnya. Perjuangan Thomas Matulessy jelas dan nyata, sehingga selayaknya mendapatkan kehormatan.

Pertanyaan mendasar yang harus dijawab, siapa yang menyematkan, dimana dan kapan, oleh siapa dan bagaimana gelar itu disematkan. Bagi kita, Kapiten Poelo atau Kapitan Pattimura tentu harus diterima sejauh itu didukung fakta yang benar. Sebab, sangat penting untuk mewariskan kebenaran sejarah bagi generasi mendatang.