Istimewa

Menggeser-geser Libur Hari Raya Keagamaan

Loading

Catatan Pinggir Weinata Sairin

Indonesia adalah negara yang memiliki banyak keunikan. Beragam suku, bahasa dan juga agama, dan semua itu menjadi kekayaan tersendiri bagi bangsa ini. Dalam soal agama misalnya, juga banyak hal menarik, terutama tentang perayaan hari keagamaan.

Pertama, sebagai sebuah negara yang warganya menganut berbagai agama, maka Indonesia mengenal berbagai hari raya keagamaan. Enam agama yang selama ini dilayani oleh pemerintah yaitu Islam,Kristen Katolik, Hindu, Buddha, Khonghucu memiliki hari raya keagamaan yang ditetapkan oleh Pemerintah berdasar masukan dari Majelis-majelis agama dan Ditjen keagamaan Kementerian Agama RI.

Pada tahun ini malah Menteri Agama mengucapkan Selamat pada hari raya keagamaan agama Bahai yang selama ini belum pernah terjadi.

Sikap apresiatif pak Menteri Agama tentu saja disambut dengan sangat positif oleh para penganut agama Bahai di Indonesia, yang konon jumlahnya kini mencapai sekitar 5000 orang di Indonesia.
Sementara masyarakat luas semakin disadarkan bahwa di Indonesia terdapat banyak agama, selain yang enam itu,yang belum mendapat pelayanan dari Pemerintah.

Kedua, dalam waktu-waktu terakhir ini terdapat percakapan publik tentang pergeseran hari libur dalam rangka hari raya keagamaan.
Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, sebenarnya jatuh pada tanggal 19 Oktober 2021.
Namun pemerintah kemudian menggeser hari liburnya menjadi tanggal.20 Oktober 2021.

Sejauh informasi yang diperoleh melalui media, pergeseran itu dilakukan dalam upaya pencegahan terjadinya penularan Covid 19.

Pergeseran hari libur dalam konteks hari raya keagamaan pernah terjadi pada tahun 2003.
Saat itu peringatan hari Kenaikan Yesus ke surga sejatinya berlangsung pada hari Kamis tanggal 29 Mei 2003.

Namun kemudian Pemerintah cq Menko Kesra Bapak Jusuf Kalla memundurkan libur hari raya itu menjadi Jumat 30 Mei 2003.

Menurut informasi yang beredar keputusan pemunduran itu dihasilkan berdasarkan keputusan Rakor Kesra yang menyatakan bahwa hari besar keagamaan terdiri dari yang ritual dan seremonial..Yang ritual tak bisa dimajukan atau dimundurkan, tetapi yang seremonial bisa diubah.

Hari-hari keagamaan yang ritual menurut Menteri Agama saat itu adalah Idul Adha, Nyepi, Waisak, Idul Fitri dan Natal.

Yang termasuk seremonial adalah Imlek, Tahun Baru Hijriah,wafat Yesus Kristus, Isra Miraj.

Ketiga, selain kategorisasi ritual dan seremonial, penggeseran Hari Kenaikan Yesus tahun 2003 juga dimaksudkan sebagai pelaksanaan long weekend, agar wisatawan ke Bali kembali normal sesudah terjadinya bom Bali.

Pdt Weinata Sairin

Pada saat itu penulis sebagai Sekum Majelis Pendidikan Kristen Indonesia( MPK) bersama Bruder Heribertus Sumarjo pimpinan Majelis Nasional Pendidikan Katolik menyampaikan surat kepada Menko Kesra dan beberapa menteri terkait meminta agar hari raya keagamaan Kristen dan Katolik tidak dimajukan atau dimundurkan.

Beberapa pertanyaan cukup dalam didiskusikan di lingkup MPK dan MNPK saat itu.

Misalnya apakah pemerintah memiliki kewenangan melakukan kategorisasi hari raya keagamaan: seremonial dan ritual; siapa yang memberi mandat kepada pemerintah untuk menggeser hari raya keagamaan; apakah ke semua hal itu menjadi ranah pemerintah.

Keempat, Penggeseran hari raya keagamaan tidak saja punya dampak teknis dalam pelaksanaan ibadah, tetapi juga punya dampak teologis.

Saat ibadah hari kenaikan Yesus 30 Mei 2003 di sebuah Gereja, umat disitu bertanya kepada penulis yang berkotbah di Gereja itu : “Pak Pendeta, Yesus Kristus sudah naik ke surga kemarin, apa arti ibadah kita hari ini?” Sindiran menohok seperti ini tak mudah menjelaskannya kepada warga Gereja.

Kelima, Hal-hal yang berhubungan dengan agama memang mesti dilakukan dengan sangat hati-hati.
Dalam konteks ini posisi pemerintah akan lebih banyak pada peran fasilitator/ pendampingan dan tidak memasuki ranah teologi.

Keenam, Berdasarkan pengalaman itu dimasa depan hal-hal yang berhubungan dengan agama maka majelis-majelis agama harus lebih banyak berperan.

Nama-nama hari raya keagamaan sebaiknya juga mengacu dan berdasar pada narasi yang disusun lembaga keagamaan/majelis agama.

Di lingkup Gereja/umat Kristen misalnya penyebutan Yesus Kristus lebih familiar ketimbang penyebutan Isa Almasih.

Oleh karena itu dalam Kalender Nasional sebutan Hari Wafat Yesus Kristus, Hari Kenaikan Yesus Kristus ke surga akan lebih familiar dan teologis daripada sebutan yang lain.

Kita bersyukur bahwa dalam NKRI yang majemuk. Pemerintah memfasilitasi hari-hari raya keagamaan dengan menetapkan sebagai libur nasional.

Dengan demikian umat bisa lebih leluasa beribadah dan memperingati hari raya keagamaan.

Jakarta, 19 Oktober 2021
Weinata Sairin