Sketsa Eksekusi Kapitan Psulus Tiahahu dekat Benteng Beverwijk, Nusa Laut (sketsa Kapten Kapal Evertsen, QMR Verhuell, koleksi Museum Bahari Rotterdam).

Martha Christina Tiahahu: Pemberani dari Nusa Laut

Loading

Oleh: Dipl.-Oek. Engelina Pattiasina*

JAKARTA (Independensi.com) – Kematian Residen Van Der Berg di Benteng Duurstede akibat perlawanan rakyat pada Mei 1817 menyebabkan Belanda melakukan eskpedisi untuk meredam perlawan rakyat yang dipimpin Kapitan Thomas Matullessy. Ekspedisi pertama dipimpin Mayor Beetjes. Namun, ekspedisi ini gagal total, karena pasukan Mayor Beetjes kocar-kacir. Korban jiwa berjatuhan di pihak Belanda dan Mayor Beetjes sendiri kehilangan nyawa dalam peristiwa di Pantai Waisisil, Saparua.

Eskpedisi kedua yang dilakukan dibawah Komisaris Jenderal dari Batavia, Laksamana Muda Arnold A. Buyskes sebagai pemegang otoritas tertinggi di Maluku. Eskpedisi ini melibatkan pasukan yang besar, karena Buyskes juga membawa pasukan dari Batavia dengan Kapal Prins Frederik dan didukung sejumlah kapal bersenjata, termasuk pasukan kora-kora pada akhir September 1817. Serangan darat ke Saparua dipimpin Mayor Meijer yang membawa sekitar 250 tentara infantri bersenjata.

Sebelum ke Saparua, semua perlawanan di Ambon, Haruku dan Nusa Laut berhasil diredam. Pulau Saparua merupakan sasaran terakhir. Pasukan Mayor Meijer menaklukkan satu demi satu negeri di Pulau Saparua. Namun, ketika tiba di Negeri Ullath dan Negeri Ouw pada November 1817, Pasukan Mayor Meijer mendapat perlawanan dari pasukan Martha Christina Tiahahu. Martha Christina Tiahahu berusia 17 tahun ketika memimpin pertempuran di Ullath-Ouw. Martha Christina lahir pada 4 Januari 1800. Ibunya meninggal ketika Martha Christina masih anak-anak.

Dia dekat dengan ayahnya, Kapitan Paulus Tiahahu yang juga merupakan Raja Negeri Abubu di Nusa Laut. Kapitan Paulus merupakan kolega Kapitan Matulessy yang menentang Belanda pada tahun 1817.

Pertempuran di Ullath-Ouw ini menunjukkan keberanian Martha Christina Tiahahu yang memimpin pertempuran. Dia tampil di garis depan pertempuran dengan tombak di tangan. Bahkan, dia menggunakan batu untuk menyerang pasukan Mayor Meijer yang kehabisan amunisi. Negeri Ullath-Ouw hangus terbakar dan jatuh ke tangan Belanda. Namun, pertempuran ini dibayar mahal, karena Mayor Meijer terluka parah dan harus dibawa ke Ambon. Posisi Mayor Meijer digantikan Kapten Vermeulen Krieger yang juga menderita luka meski tidak separah Mayor Meijer. Sedangkan, kolega mereka Letnan Richemont tewas dalam pertempuran.

Perwira Krieger yang dihadapi Martha Christina ini bukan tentara sembarangan, karena pernah terlibat dalam pertempuran Waterloo sebelum dikirim ke Hindia Belanda. Setelah perang usai, dia digelari Pahlawan dari Saparua. Di kemudian hari, dari Saparua Krieger ikut menaklukkan perang Imam Bonjol dan merupakan komandan pasukan senapan yang menaklukkan perlawanan Pangeran Diponegoro di Jawa.

Kejatuhan Ullath-Ouw menandai kekalahan perjuangan rakyat yang dipimpin Thomas Matulessy. Satu per satu para pemimpin perlawanan ditangkap pasukan Belanda. Pada 12 November 1817, seluruh pemimpin ditangkap dan Raja Abubu, Kapitan Paulus merupakan yang pertama menjalani persidangan di Kapal Evertsen. Kapitan Paulus Tiahahu dan Martha Christina dihadapkan ke Majelis Hakim yang dipimpin Laksamana Buyskes. Hakim menjatuhkan hukuman mati bagi Kapitan Paulus.

Martha Christina bersimpuh di kaki hakim, agar membebaskan ayahnya. Kolonel Arnaud Jean Abraham Gerlach dalam tulisannya di Dagblad (23 Maret 1889) yang berjudul “De Koningsdochter van Noesa Laut” (Puteri Raja dari Nusa Laut) mendiskripsikan Martha Christina yang mungkin saja mewakili kekagumannya. Namun, Kolonel Gerlach yang juga penulis buku “Onze Oost” ini sangat mungkin mengutip karya QMR Verhuell, yang sangat detail mendiskripsikan Martha Christina Tiahahu.

Dia menulis, “Dia tidak bisa mengucapkan sepatah kata pun, hampir tidak berani menatap hakimnya; gadis yang cantik, mata yang gelap dan penuh perasaan menoleh dengan tajam ke arah para hakim, atau berbalik dengan melankolis yang mendalam kepada ayahnya; sekarang menegakkan tubuhnya yang mulia seolah-olah malaikat harapan telah menghembuskan semangat barunya untuk hidup, kemudian menundukkan kepalanya dan meremas-remas tangannya di bawah teror tak bernama yang menguasai hatinya”.

Martha Christina dituduh sebagai pimpinan pemberontak, bukan sekadar mengikuti ayahnya. Tapi, Martha Christina adalah pemimpin yang gagah berani. Namun, ketika mendengar ayahnya dijatuhi vonis mati, Martha Christina memohon pembebasan ayahnya ke hakim.

Mengenai hal ini Gerlach juga menulis, “Tiba-tiba Christina Martha jatuh di kaki hakim dan memohon belas kasihan untuk ayahnya: ‘Kasihilah dia,’ Dia memohon. ‘Jadilah padaku menurut perbuatanku’ dan berpindah dari lutu yang satu ke lutut yang lain. Dia melemparkan pandangan penuh harapan ke masing-masing juri”.

Namun, permohonan Martha Christina untuk ayahnya tidak dikabulkan. “Dengan kekuatan air mata, gadis yang memohon itu menegakkan tubuhnya, melipat tangannya sekali lagi untuk memohon, dan dengan sedih mengangkat matanya yang indah kepada mereka yang bisa menyelamatkannya dari ayah tercinta; tapi sia-sia; semua harapan hilang: dengan kepala tertunduk dan langkah mengejutkan dia meninggalkan kabin. Sesampainya di dek dia jatuh ke pelukan lelaki tua itu (ayahnya): dia, yang sangat membutuhkan penghiburan, mencoba menahan isak tangisnya, menahan tangisnya, menghibur dan menghiburnya, yang harus segera dia hilangkan; dan masing-masing sangat tersentuh dengan nasib Christina Martha”.

Dari atas Kapal, Kapitan Paulus yang ditemani Martha Christina Tiahahu kembali ke Nusa Laut. Hukuman tembak bagi Kapitan Paulus tak terhindarkan. Kehilangan ayahnya, Martha Christina kehilangan semangat.

“Sejak saat itu dia mengembara kesepian dan sunyi di antara pepohonan Nusa Laut. Ketika dia merentangkan anggota tubuhnya yang lelah karena mengembara, tanah kosong adalah sofa untuknya, dan embun dingin menjadi seprai. Apa yang terjadi dengan putri raja?” tulis Gerlach dalam artikel yang ditulis pada akhir abad 19 itu.

Pengembaraan Martha Christina belum berakhir Thomas Matulessy dan kawan-kawan dieksekusi pada 16 Desember 1817. Di akhir Desember 1817, Kapal Evertsen mengangkut tahanan yang ditangkap untuk dibuang ke Jawa. Komandan Evertsen, QMR Verhuell begitu terkejut, ketika mengenali Martha Christina ada di antara tahanan. Kondisi Martha Christina sangat memprihatinkan. “Sekarang dia terhuyung-huyung, memudar dan kurus: bunga yang indah itu patah …. malaikat harapan telah meninggalkannya” tulis Gerlach.

QMR Verhuell menawarinya tempat khusus di kapal. Martha Christina merespon dengan membungkuk melankolis dia berterima kasih kepada pelaut itu; tapi tidak ada satu kata pun yang keluar dari bibir yang tertutup itu.

Kapal Evertsen belum meninggalkan Laut Maluku pada 2 Januari 1818, ketika Martha Christina Tiahahu menghembuskan nafas terakhir. “Dan ketika tubuh kering dan lelah dari perawan yang pernah mekar itu jatuh dari papan untuk dikubur di kedalaman laut yang tak terkira, banyak tangan kasar (awak kapal) menyeka air mata dari pipinya, dan itu ‘Terima kasih Tuhan! Anak malang itu keluar dari kesengsaraannya,’ begitu kata dari bibir Janmaat adalah satu-satunya nyanyian pemakaman untuk Putri Raja Noesa Laut”.

Nasib seteru Martha Christina Tiahahu, Mayor Meijer dalam pertempuan di Ulattah dan Ouw tidak berbeda jauh. Setelah menjalani perawatan medis di Ambon, Mayor Meijer tidak bisa diselamatkan akibat luka parah yang diderita. Dia menghembuskan napas terakhir pada 16 Januari 1818. Mayor Meijer meninggal di usia 28 tahun. Dia dimakamkan di Ambon dan Belanda membuat tugu peringatan di Batu Gajah.

Martha Christina Tiahahu telah ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional pada tahun 1969. Semestinya, Martha Christina memiliki tempat sendiri dalam sejarah Indonesia. Martha Christina bertindak melampuai zamannya. Ketika perempuan di tempat lain masih berkutat dengan kesetaraan, Martha Christina telah lama menunjukkan itu dalam pertempuran yang sesungguhnya, yang mungkin saja dianggap sebagai dunia kaum pria.

Kalau menelusuri jejak Kapten Vermeulen Krieger yang merupakan lawan Martha Christina Tiahahu, mungkin sangat mengejutkan karena sejumlah penghargaan bergengsi dalam militer Belanda ada di pundaknya. Peran Vermeulen Krieger dalam perang Imam Bonjol dan Perang Diponegoro menunjukkan kapasitas Kapten Krieger sebagai prajurit terlatih.

Sebagai penutup, negara perlu mempertimbangkan status kepahlawanan Kapitan Paulus Tiahahu, ayah Martha Christina Tiahahu yang dieksekusi mati di Nusa Laut. Kalaupun mereka hidup, mungkin tidak merindukan status pahlawan, karena mereka berjuang bukan untuk sebuah gelar pahlawan, tapi merupakan jawaban atas tantangan zamannya. Semoga!

*Penulis, Dipl.-Oek. Engelina Pattiasina, Direktur Archipelago Solidarity Foundation