PEKAnBARU (Independensi.com) – Prof Dr Hendrawan Supratikno MBA, Ph.D anggota Komisi XI DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan mengatakan, Agung Salim Cs dan Maryani yang diduga pelaku investasi bodong hingga mengakibatkan warga Pekanbaru korban sebesar Rp 84,9 miliar, dapat diketegorikan sebagai penipu.
Selain itu, mereka merupakan pencoleng ekonomi, pinjam tangan orang lain mengakibatkan masyarakat korban.
Kejadian seperti ini terus berulang, masyarakat korban dimana-mana. Untuk itu kita harapkan, aparat penegak hukum (APH) menegakkan aturan yang bisa membuat pelaku penipu dan pencoleng ekonomi masyarakat ini jera.
Hal itu disampaikan Prof Dr Hendrawan Supratikno MBA PhD Selasa, (8/2/2022) pagi menjawab pertanyan Independenesi.com melalui whatsaap, terkait dugaan perlakuan investasi bodong, yang saat ini sidangnya sedang digelar di Pengadilan Negeri Pekanbaru.
Sebagaimana diketahui, dalam persidangan yang digelar Senin (7/2) mulai sore hingga larut malam, terdakwa Maryani mengaku menjabat Branch Manager Fikasa Group membawahi PT Wahana Bersama Nusantara (WBN) dan PT Tiara Global Protelindo (TGP) di Pekanbaru.
Namun sebaliknya, Maryani juga mengaku tidak pernah diberikan Agung Salim Cs Surat Keputusan (SK) penugasan jabatan sebagai Branch Manager (BM) Fikasa di Pekanbaru.
Bahkan Agung Salim, Bhakti Salim, Christian Salim serta Elly Salim dalam sidang yang terpisah selaku unsur pimpinan maupun komisaris Fikasa Group, juga mengatakan tidak pernah menerbitkan Surat Keputusan (SK) sebagai Branch Manager kepada Maryani di Pekanbaru-Riau.
Tapi dalam prakteknya, Maryani bersama 5 orang marketing lainnya, berhasil menarik 200-an nasabah dan menyimpan uang di Fikas Group melalui produk Promissory Note (PN) hingga Rp 200 miliar lebih.
Mengenai pengakuan Maryani yang tidak pernah menerima Surat Keputusan (SK) penugasan sebagai Branch Manager Fikas Group di Pekanbaru-Riau, menurut Dr Jongker Sihombing yang pernah bersaksi dalam persidangan sebelumnya sebagai ahli Hukum Perbankan mengatakan, jika selama ini Maryani bekerja mengatas-namakan jabatan sebagai Branch Manager akan tetapi tidak memiliki legalitas secara tertulis, dapat diklasifikasikan sebagai branch manager gadungan, kata Jongker.
Dalam sidang yang dipimpin Dr Dahlan SH,MH dengan Estiono SH,MH dan Tommy Manik SH masing-masing hakim anggota, Maryani saat menjawab pertanyaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Heru SH, MH mengatakan, pihaknya menerima 0,5 persen hingga 2 persen dari setiap nasabah yang memasukkan uangnya di PT WBN ataupun PT TGP.
Suami Pie Guat itu mengaku, sejak tahun 2016-2020, ia dapat keuntungan sebesar Rp 7 miliar lebih.
Saat JPU Heru SH,MH mengatakan agar Maryani jujur mengatakan jumlah keuntungan yang diperoleh selama bekerja sebagai Branch Manager Fikasa Group di Pekanbaru, sambil menangis sesenggukan Maryani mengatakan, pihaknya sudah berkata jujur.
Bahkan saat Ketua Majelis menimpali pertanyaan mengatakan, kabarnya Maryani dapat 7 persen dan dari uang itu dapat membeli barang mewah di Toko Mas Gemar dan Toko Mas Selekta Indah, Maryani hanya terdiam.
Terkait perputaran dana PT Fikasa Group yang mencapai Rp 11 triliun dibawah kepimpinan Agung Salim, Maryani mengaku tidak mengetahuinya.
Dia sendiri mengaku kalau uang itu untuk bisnis Agung Salim Cs penambah modal usaha air minum dan perhotelan yang dikelola anak perusahaan PT WBN dan PT TGP.
Namun persisnya apakah uang nasabah memang dipergunakan untuk bisnis perhotelan dan air minum, menurut Maryani pihaknya tidak tau.
Usai sidang, wartawan yang mengejar Maryani hendak menanyakan fee 7 persen bukan 0,5 – 2 persen sebagaimana disampaikan dalam sidang, sayangnya Maryani langsung bergegas dan masuk ruang tahanan dengan pengawalan ketat.
Sebagaimana informasi yang diperoleh dari sumber dipercaya, pada tanggal 24 Agustus 2018, ada pemindah bukuan dari rekening Fikasa ke rekening atas nama Maryani Xu di BCA sebesar Rp 700 juta.
Dana dimaksud untuk pembayaran komisi bilyet deposito atas nama Naek Pardede, nomor bilyet PT Wahana Bersama Nusantara (WBN) PF 018 dengan nilai bilyet Rp 10 miliiar.
Dari bukti pemindah-bukuan tersebut bisa diperoleh bukti bahwa Maryana menerima komisi sebesar 7 persen dari setiap nasabah saat memasukkan uangnya ke PT Wahana Bersama Nusantara atau PT Tiara Global Protelindo, bukan 0,5-2 persen sebagaimana disampaikan Maryani dalam sidang, kata sumber.
Akan halnya saat Maryani yang akan ditanya terkait membeli emas mulai tahun 2016 – 2019 di Toko Gemar dan Toko Selecta Indah Pekanbaru senilai Rp 1,1 miliar, juga tidak berhasil.
Begitu juga informasi terkait pengalihan dana dari rekening Maryani ke rekening atas nama Pie Guat sebesar Rp 4,9 miliar, Pie Guat yang disebut-sebut suami Maryani itu tidak bersedia menjawab.
“Maaf, maaf ya,” ujar Pie Guat sambil pergi meninggalkan lokasi pengadilan bersama ibu dan keluarganya.
Dalam kasus investasi bodong ini, ada 11 nasabah di Pekanbaru yang menjadi korban. Total kerugian nasabah di Pekanbaru mencapai Rp 84,9 miliar.
Dalam sidang kedua yang dimulai sekitar pukul 9 malam itu, Ketua Majelis Hakim, Dahlan dan JPU Heru serta Herlina mencecar pertanyaan kepada 4 terdakwa yang masih bersaudara yakni Agung Salim, Christian Salim, Bhakti Salim dan Elly Salim yang merupakan bos Fikasa Group dihadirkan dengan berkas perkara terpisah.
Pada kesempatan itu, JPU Heru SH,MH dan Dr Dahlan SH,MH selaku Ketua Majelis kembali mempertanyakan adanya transaksi keuangan Fikasa Group di bank BCA yang mencapai Rp 11 triliun.
Jika memang ada uang tersebut, mengapa perusahaan tidak membayarkannya ke nasabah.
Mengenai jumlah itu saya tidak pegang datanya Yang Mulia, uangnya dari nasabah dipakai ke usaha mana, saya juga tidak ingat, karena tidak pegang data. “Semua data ada di JPU,” kata terdakwa Bhakti Salim.
Jaksa Heru menyebut bahwa ada transaksi Rp 11 triliun berdasarkan keterangan saksi dari pihak Bank BCA dari tahun 2016 sampai 2020. Kemudian belakangan saldo di bank tersebut ‘hilang’.
“Itu kemana uangnya kok bisa habis ,hanya tersisa ratusan ribu ada yang hanya jutaan di rekening. Kemana uangnya, kapan kalian ambil,” kata Dahlan Ketua Majelis Hakim. Ke-empat terdakwa mengaku tidak hapal dengan uang yang disebut Rp 11 triliun di rekening.
Mereka juga tidak ingat apakah transaksi keuangan mereka sampai Rp 11 triliun.
Pada kesempatan itu Bhakti Salim menjelaskan, uang yang diperoleh dari nasabah, sebagian dipergunakan untuk menyelesaikan 2 buah bangunan hotel di Bali.
Karena biaya yang dibutuhkan untuk membangun hotel, satunya membutuhkan anggaran sekitar Rp 1 triliun dengan jumlah kamar 100. Sedangkan 1 hotel lagi yang berjumlah 207 kamar, membutuhkan anggaran sekitar Rp 2,5 triliun.
Bhakti Salim mengakui bahwa kedua hotel itu sekarang masih beroperasi aktif.
Mengenai tidak dibayarkannya uang nasabah di Pekanbaru yang mencapai Rp 84,9 miliar, para terdakwa beralasan kalau hal itu disebabkan datangnya pandemi Covid-19 sehingga usaha mereka terganggu.
Jaksa juga menanyakan siapa yang menyepati pembuatan produk Promisory Notes (PN) sehingga Fikasa Group bisa menarik dana dari nasabah termasuk menentukan bunga yang mencapai 9-12 persen.
“Itu kesepakatan kami,” kata Agung. Sidang akan dilanjutkan Senin (21/2) dengan agenda mendengarkan tuntutan dari JPU.
(Maurit Simanungkalit)