Pembiayaan BNI ke Sektor Pertambangan Tak Langgar Konsep Kehatian-hatian

Loading

JAKARTA (IndependensI.com) – Kajian lembaga Urgewald dan Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA), yang menyatakan bahwa PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk atau BNI masih memberi pinjaman ke perusahaan batu bara yang terdaftar pada Global Coal Exit List (GCEL) 2020 dianggap sangat tendensius.

Demikian pendapat Direktur Eksekutif Oversight of Indonesia’s Democratic Policy, Satyo Purwanto kepada wartawan di Jakarta, Rabu (11/5/2020).

Sebab, menurut Satyo, tidak hanya BNI, bank milik negara yang tergabung dalam Himbara juga memberikan fasilitas kredit ke sektor pertambangan.

“Kenapa hanya BNI yang disorot, sangat tendensius. Padahal yang harus dikritisi apabila debitur yang sudah macet dan terjadi side streaming, lalu penggelapan kredit yang keluar dari perjanjian kredit untuk uang yang digunakan sehingga terjadi kredit macet. Itu hal yang harus kita pantau agar debitur tidak semena-mena,” kata Satyo.

Satyo curiga, sektor pertambangan di Sumatera Selatan yang dijadikan objek seolah pesanan dari debitur-debitur nakal yang perbuatan tindak pidananya sudah terendus oleh aparat penegak hukum.

“Padahal sektor tambang tidak hanya ada di Sumsel saja, ada di Provinsi lain. Apakah ini pesanan dari debitur nakal,” ujar Satyo bertanya.

Padahal disisi lain, Satyo mengemukakan bahwa sektor pertambangan khususnya batu bara saat ini sangat vital perannya. Selain membantu keuangan negara dan menjadi energi murah bagi rakyat, sektor ini juga menjadi tulang punggung energi dunia.

“Seperti waktu kita di Januari (2022) berhenti mengekspor batubara selama satu bulan. Negara seperti Jepang, Korea Selatan bahkan Italia dan Jerman meminta untuk dibuka larangan ekspor batu bara oleh Pemerintah RI sehingga mereka bisa impor batu bara dari kita,” bebernya.

Terkait anggapan bahwa batu bara adalah energi tak ramah lingkungan, Satyo berpendapat agar menambah portfolio di green energy. Di Indonesia sendiri, sambung dia, sudah ada teknologi yang membuat PLTU tidak menghasilkan polusi.

“Fakta negara-negara maju pun sampai sekarang masih menggunakan PLTU dikarenakan harga pokok produksi untuk pembangkit lebih murah,” demikian Satyo Purwanto.

Sementara itu terpisah, Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah beranggapan, pembiayaan BNI terhadap sektor pertambangan sama sekali tidak melanggar konsep kehati-hatian alias <i>prudencial banking</i>.

Menurut Piter, prinsip kehatian-hatian dalam perbankan berkaitan dengan pengelolaan dana dan penyaluran pembiayaan pada sektor usaha yang memenuhi kriteria aman sesuai dengan ketentuan OJK.

“Artinya, dalam pembiayaan tersebut sudah melewati SOP dan prosedur yang ada di BNI, yang sesuai dengan ketentuan OJK, dan hasilnya dinilai aman dan tidak merugikan pemberi pembiayaan,” kata Piter.

Kehatian-hatian dalam aturan perbankan, lanjutnya, merujuk pada pengelolaan dana publik secara prudent dan aman.

“Untuk kasus ini, jika memang perusahaan tersebut berhasil memenuhi persyaratan yang ada, tak bisa dikatakan bahwa BNI melanggar konsep kehatian-hatian tersebut,” ucapnya.

Ia juga menyampaikan bahwa isu lingkungan belum bisa dijadikan patokan bahwa sebuah bank melanggar konsep kehatian-hatian atau masuk kategori bank tidak ramah lingkungan.

“Kalau bicara merusak lingkungan, semua perusahaan tambang itu pasti merusak lingkungan. Mau emas, mau batubara, semua sama. Tapi sebelum izin menambang itu keluar, pasti kan ada studi kelayakan lingkungan dan langkah-langkah untuk menjaga lingkungan dari kerusakan. Kalau izin itu ada, artinya sebuah bank tak bisa disebut melanggar konsep kehatian-hatian,” pungkasnya.