KUNINGAN (Independensi)- Asosiasi Pengajar Hukum Adat (APHA) berrencana melakukan uji publik atau eksaminasi putusan Mahkakamah Agung (MA) soal perkara sengketa tanah Masyarakat Adat Karuhun Urang (Akur) Sunda Wiwitan, yakni tanah Mayasih dan Leuweung Lethik di Cigugur, Kuningan, Jawa Barat.
“Kita akan menganalisis beberapa putusan dari perkara-perkara ini, namun kita perlu pengkajian mendalam dahulu untuk mengeksaminasi putusan ini,” kata Laksanto Utomo, Ketua Umum APHA, dalam webinar bertajuk “Konflik Tanah Adat Masyarakat Akur: Krisis Pengakuan Hak Ulayat Masyarakat Adat”, baru-baru ini.
Laks, demikian dia akrab disapa, menyampaikan, pihaknya telah beberapa kali melakukan eksaminasi putusan MA yang dinilai janggal dan tidak menghadirkan rasa keadilan, khususnya bagi masyarakat hukum adat.
“Kami sudah beberapa kali mengeksaminasi putusan, paling tidak didengarkan oleh MA, menjadi catatan kita,” ujarnya.
Ia menyampaikan, pernyataan tersebut menanggapi usulan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI), Prof. Dra. Sulistiyowati Irianto, M.A. dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Pancasila, Yamin, S.H., SS., M.Hum., narasumber dalam weninar tersebut.
Prof. Sulis menyampaikan, putusan MA tersebut tidak memberikan rasa keadilan dan melindungi hak ulayat masyarakat adat Akur Sunda Wiwitan. Ia menjelaskan, sempat memberikan keterangan sebagai ahli atau saksi ahli dalam perkara ini.
Menurutnya, salah satu saksi yang dihadirkan adalah dari pihak tergugat adalah Ketua Komunitas Adat Sunda Wiwitan, Jatikusuma.
“Kan kitab sucinya kan hanya ada 6, jadi beliau [Jatikusuma] itu tidak disumpah,” ungkapnya.
Lalu, lanjut Sulis, majelis hakim seolah mengabaikan keterangan atau kesaksian Jatikusuma karena tidak disumpah lantaran hanya ada 6 kitab suci dari agama yang diakui di Indonesia.
“Hakim itu sepertinya berpandangan, karena tidak disumpah maka kesaksiannya boleh diabaikan, sehingga tidak mengherankan, kami ada 6 orang para ilmuan jadi saksi ahli di pengadilan, itu juga diabaikan oleh hakim,” katanya.
Hal itu menimbulkan kegaduhan karena menyebabkan masyarakat Akur Sunda Wiwitan Cigugur dikalahkan. Padahal, dalam hukum adat mereka tidak mengenal hukum waris seperti yang berlaku pada masyarakat pada umumnya.
“Mereka [Masyarakat Adat Akur] itu komunal. Jadi pewarisan itu tidak diberikan kepada individu, melainkan ruang hidup yang ada di sana, itu boleh dikelola oleh warga Akur, hanya untuk dikelola karena kalau dibagikan, masyarakat itu bisa musnah,” ujarnya.
Profesor yang juga Pembina APHA ini melanjutkan, majelis hakim tidak memperhatikan hukum adat yang berlaku dalam masyarakat adat tersebut. Padahal, hakim harus menggali hukum-hukum tak tertulis yang hidup di masyarakat.
“Itu tidak diperhatikan oleh hakim, bagaimana hakim bisa tidak mengenal masyarakatnya sendiri itu menjadi keheranan buat kami. Jadi memang ini persoalan sangat serius,” ujarnya.
Atas putusan tersebut, Masyarakat Adat Akur Sunda Wiwitan kehilangan tanah dan hutan adatnya. Mereka memperjuangkan itu bukan untuk diri sendiri atau kelompoknya, tetapi untuk kehidupan manusia secara luas.
“Bukan untuk diri mereka sendiri, karena hutan adat itu sebenarnya tandon air Pulau Jawa. Apakah tidak menjadi pengetahuan bagi kita tahu besama bahwa saat ini kita menghadapi climate change, perubahan iklim dan menjadi kenyataan di berbagai wilayah, kita sudah kekurangan air dan akan menjadi kekurangan makanan karena suhu itu naik,” ujarnya.
Menurutnya, yang dilakukan Masyarakat Adat Akur Sunda Wiwitan tersebut sebenarnya memelihara Pulau Jawa, supaya air-airnya, situ-situsnya, dan lingkungan hidup ini terpelihara.
“Ini tidak masuk dalam cara berpikir hakim hakim yang membuat putusan yang mengalahkan mereka. Putusan pengadilan yang tidak adil itu saya kira bisa dibuatkan dilakukan esaminasi publik,” ujarnya.
Meskipun eksaminasi ini tidak memiliki kekuatan hukum, namun ini adalah literasi bagi seluruh masyarakat untuk mengatakan bahwa putusan-putusan yang tidak adil itu sangat melukai dan membahayakan masa depan Indonesia ke depan.
“Melek hukum ini menjadi penting kepada siapa saja, termasuk kepada kelompok-kelompok masyarakat adat agar mereka tahu bahwa hak-hak mereka itu dilindungi oleh konstitusi dan berbagai macam peraturan perundangan,” katanya.
Girang Pangaping Masyarakat Akur Sunda Wiwitan, Juwita Djatikusumah, menjelaskan tampuk kepemimpinan leluhurnya, mulai dari Pangeran Madrais, dilanjutkan Pangeran Tedja Buana, hingga Pangeran Djatikusuma diteruskan Pangeran Gumirat Barna Alam.
“Saat dilanjutkan Pangeran Tedja Buana, wasiat pangeran Madrais itu yang menegaskan pengelolaan aset, ajaran, dan sebagainya. Pengelolaan aset tanah bangunan komunitas diperkuat dengan surat tanggal 1 Januari 1977. Pangeran Tedja Buana lebih menegaskan bahwa aset-aset milik masyarakat adat dikelola oleh Yayasan Pendidikan Tri Mulya yang sekarang bernama Tri Mulya Tri Wikrama,” ujarnya.
Yayasan tersebut sudah berdiri dari 14 Mei 1959 sesuai akte notaris pendirian yayasan. Dokumen penguat mengenai aset yang diminta untuk dikelola yayasan, yaitu surat pernyataan bersama pada tahun 1964 dan dipertegas lagi pernyataan bersama tahun 1975.
“Beberapa dokumen penting kesepakatan masyarakat telah dibuat sebagai surat pernyataan. Yayasan Tri Mulya yang diberikan mandat untuk mengelola dan melindungi aset-aset peninggalan Pangeran Madrais dan Tedja Buana sampai akhirnya salah satu asetnya dicagarbudayakan,” katanya.
Mengenai legalitasnya, lanjut dia, sudah diupayakan melalui notaris mengenai hibah tersebut. Pihaknya mempunyai manuskrip-manuskrip peninggalan Pangeran Madrais yang menegaskan amanat-amanat mengenai pengelolaan aset secara komunal. Itu sudah memperkuat pihaknya dan dijadikan salah satu bukti pada saat melakukan gugatan ke pengadilan.
“Untuk kemarin yang terjadi mengenai tanah Mayasih bahwa bangunan itu didiami oleh Pak E. Kusnadi. Salah satu keturunan mencoba menggugat ke keluarga Pak Kusnadi,” katanya.
Adapun penggugatnya adalah Jaka Ruamantaka, putra dari Ratu Siti Jenar, putri ketiga dari Pengeran Tedja Buana Alibassa. Kusnadi adalah yang ditugaskan membantu kegiatan pelestarian kebudayaan di Paseban Tri Panca Tunggal, pusat rumah adat komunitas Akur Sunda Wiwitan.
Djuwita merasa putusan pengadilan yang mengabulkan gugatan tersebut janggal. Pasalnya, itu berdasarkan klaim mantan kepala kampung yang mengaku mendapat wasiat Pangeran Tedja Buana soal tanah warisan.
“Sangat aneh, itu menyampaikan mandat Pangeran Tedja Buana itu pada tahun 1970, tapi penjelasan tersebut baru dibuat 20 November 2008 setelah ibu dari penggugat dan Pangeran Tedja Buana itu wafat dan tidak ada satu pun dari keturunan yang lain yang mengetahui mengenai amanat itu,” katanya.
Djuwita mengatakan, pihaknya memperjuangkan tanah itu sebagai tanah adat. Sedangkan penggugat mengklaim bahwa itu tanah warisan. Kejanggalan lainnya adalah keluarnya surat tanda pendaftaran sementara atas nama Siti Jenar dengan Nomor C 2321 persil 8a di luas tanah 220 meter persegi tertanggal 20 November 2008, tanggal yang sama dengan keluarnya pernyataan mantan kepala kampung yang menjadi dasar klaim.
“Alasan Jaka Rumantaka karena dia merasa sebagai keturunan biologis, berbekal surat pernyataan kepala kampung, menggugat kepada E Kusnadi,” katanya.
Menurutnya, pengadilan tidak bersikap lebih teliti untuk melihatnya sehingga penggugat dapat memenangkan gugatan ini. “Padahal, untuk hukum waris pun harus ada histori atau silsilah kenapa tanah itu bisa berubah kepemilikan. Sama sekali ini tidak diteliti secara detail oleh pengadilan,” katanya.
Yamin yang juga Ketua Lembaga Konsultasi dan Bantun Hukum APHA yang ikut mengadvokasi sengketa tanah tersebut, menambahkan, proses peralihan tanah tersebut kepada penggugat sangat janggal, yakni hanya berupa pernyataan dari seorang boleh diktakan setingkat lurah.
“Apakah lurah itu mempuyai kompetensi sebagai PPATS atau tidak, dan hanya berdasarkan [keterangan] 1 orang,” katanya.
“Kalau dibilang wasiat hibah juga dari aspek formal tidak diketahui pada saat pembukaan wasiatnya. Agak aneh tapi itu terjadi. Bahkan, konon terhadap dua yang disengketakan itu sudah terbit sertifikat,” katanya.
Ia menyampaikan bahwa Masyarakat Adat Akur Sunda Wiwitan berhadapan dengan otoritas atau pemerintah setempat yang tidak begitu mendukung keberdaan masyarakat adat dan hak ulayatnya.
Sementara itu, Wakil Ketua Umum (Waketum) APHA, Kunthi Tridewiyanti, menyampaikan, putusan MA dalam perkara Masyarakat Adat Karuhun Urang ini sangat jelas bahwa hakim yang menangani perkara tersebut tidak menguasai hukum adat, padahal kasus yang ditanganinya terkait masyarakat adat.
“MA sebagai lembaga tertinggi pencari kedilan harus menugaskan hakim yang menguasai hukum adat dalam sengketa hak ulayat yang diselesaikan melalui lembaga peradilan,” ujarnya.
Selain itu, waktunya pemerintah Jokowi harus mengesahkan RUU Masyarakat Hukum Adat menjadi UU agar keberdaan dan eksistensi masyarkat hukum adat dapat terlindungi.
“APHA terus mendorong bagaimana pengkuan dan perlindungan masyarakat hukum adat,” ujarnya. (Hiski Darmayana)