Gedung Paseban Tri Panca Tunggal, pusat dari kehidupan masyarakat AKUR Sunda Wiwitan Cigugur, Kuningan

Masyarakat Sunda Wiwitan Cigugur Tolak Eksekusi Tanah Adat Mayasih

Loading

KUNINGAN (Independensi.com)-Masyarakat Adat Karuhun Urang (AKUR) Sunda Wiwitan di Cigugur, Kuningan, Jawa Barat, kembali terancam hak-hak nya dalam mengelola lahan adat.

Sebab, Pengadilan Negeri (PN) Kuningan telah mengeluarkan surat perintah pelaksanaan pencocokan (Constatering) dan Sita Eksekusi, yang akan dilakukan pada tanggal 18 Mei 2022.

Girang Pangaping Masyarakat Adat Karuhun Sunda Wiwitan, Okki Satria Djati menegaskan perintah eksekusi oleh PN Kuningan itu sangat merugikan masyarakat Adat Karuhun Sunda Wiwitan.

“Putusan terkait Tanah Adat Mayasih itu kami duga kuat telah dimanipulasi oleh para pihak yang membelokkan sejarah dan ingin merampas tanah-tanah adat, serta membunuh hak-hak Komunal hidup masyarakat adat,” ujar Okki dalam keterangan tertulis nya, baru-baru ini.

Menjelang dijalankannya perintah Pengadilan Negeri Kuningan dengan Surat No. W.11.U16/825/HK.02/4/2022, Mengenai perihal pelaksanaan pencocokan (Constatering) dan sita Eksekusi nomor 1/Pdt.Eks. /2022/ PN Kng Jo. Nomor 7/Pdt.G/2009/Pn.Kng itu, masyarakat AKUR menolak secara tegas dan tidak akan memberikan ruang dalam eksekusi lahan tanah Adat Mayasih.

Masyarakat AKUR Sunda Wiwitan menilai Hakim telah keliru memahami objectum litis atau objek sengketa nya.

” Hakim pengadilan memahami objectum litis-nya sebagai sengketa waris, padahal jelas bahwa objectum litis-nya bukanlah sengketa waris, melainkan sengketa atas Perbuatan Melawan Hukum (PMH) yang terjadi pada masyarakat hukum adat,” tegas Okki.

Okki menegaskan, kekeliruan dalam pertimbangan hukum Majelis Hakim tersebut berdampak pada hilang dan terampasnya tanah milik adat, yang seharusnya dijaga kelestariannya.

Dalam kasus Tanah Adat Mayasih ini, Okki menegaskan masyarakat AKUR Sunda Wiwitan bersikap bahwa Tanah Adat Mayasih merupakan tanah adat warisan leluhur yang harus dikelola secara komunal adat, dan bukan tanah warisan milik pribadi.

“Hal Ini berdasarkan pada beberapa dokumen penting yang di keluarkan oleh Sesepuh terdahulu seperti Pangeran Madrais Sadewa Alibasa dan Pangeran Tedjabuwana dengan memberikan Hak Pengelolaan Aset tersebut kepada tokoh tokoh masyarakat, sebagaimana dibuat dalam Surat Pernyataan tahun 1964 dan tahun 1975, oleh Pangeran Tedjabuwana,” papar Okki.

Dalam pernyataan tersebut, ungkap Okki, Pangeran Tedjabuwana memberikan mandat pengelolaan aset-aset nya kepada tokoh-tokoh masyarakat. Lalu tokoh-tokoh penerima mandat itu mendirikan Yayasan, serta menyerahkan pengelolaan aset bersama tersebut kepada Yayasan.

Dengan pengelolaan aset peninggalan Pangeran Madrais dan Pangeran Tedjabuwana oleh Yayasan, maka ditegaskan Okki, pengelolaan aset tersebut bukan milik orang atau Pribadi tertentu melainkan sebagai aset komunal dan dikelola oleh Yayasan Pendidikan Tri Mulya.

“Untuk merawat dan menjaga tinggalan aset komunal itu, maka Yayasan mengajukan perlindungan kepada negara terhadap kawasan Gedung Paseban Tri Panca Tunggal sebagai Cagar Budaya Nasional. Paseban Tri Panca Tunggal, bisa dikatakan pusat dari kehidupan masyarakat AKUR Cigugur,” ungkap Okki.

“Maka Keterangan yang menyatakan bahwa Tanah Persil 46 III ( blok dukuh Pangeran) milik Pangeran Tedjabuwana adalah kekeliruan contoh yang diajukan di Pengadilan, dikarenakan status tanah tersebut adalah bukan merupakan tanah adat yang ditinggalkan oleh Pangeran Madrais, melainkan tanah yang dibeli secara pribadi oleh suami dari Ratu Puser Alibasa. Karena Ratu Puser tinggal di Jember Jawa Timur, maka pengurusan surat-surat tanah dan pajak di atas namakan Pangeran Tedjabuwana,” tambah Okki.

Permasalahan yang dihadapi masyarakat adat Sunda Wiwitan Cigugur ini muncul setelah Pengadilan Negeri Kuningan memenangkan gugatan Jaka Rumantaka, salah seorang bekas warga adat yang mengklaim tanah adat masyarakat Sunda Wiwitan Cigugur sebagai warisan miliknya pribadi.

Untuk diketahui, Jaka Rumantaka merupakan merupakan cucu Pangeran Tedjabuwana.

Dari istri pertamanya, Tedjabuwana memiliki tiga orang anak perempuan. Salah satunya bernama Ratu Siti Djenar, ibu dari Jaka Rumantaka. Namun, istri pertama Pangeran Tedjabuwana wafat di kemudian hari.

Lima tahun setelah istri pertamanya wafat, Pangeran Tedjabuwana menikah lagi dengan istri kedua dan dianugerahi tujuh orang anak. Salah satunya bernama Djatikusumah.

Karena Pangeran Tedjabuwana tak mendapat anak laki-laki dari istri pertamanya, maka Djatikusumah sebagai anak laki-laki tertua dari istri kedua Pangeran Tedjabuwana, terpilih menjadi penerus kepemimpinan Tedjabuwana. Hal ini tak terlepas dari tradisi kuat dalam masyarakat adat Cigugur bahwa kepemimpinan adat harus dipegang oleh seorang laki-laki.

Dan dengan mengklaim diri sebagai pewaris sah Pangeran Tedjabuwana, Jaka Rumantaka berupaya merebut lahan masyarakat adat Cigugur terutama Tanah Mayasih melalui upaya hukum, yang dimenangkan oleh PN Kuningan. (Hiski Darmayana)