Kriminalisasi Perzinahan, Wujud Pengaruh Islamisme dalam RKUHP

Loading

JAKARTA (Independensi)- Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) kembali menuai polemik. RKUHP, yang draft resmi nya belum dirilis ke publik ini, menjadi bahan perdebatan di kalangan masyarakat akibat beberapa ‘bocoran’ isi dari Rancangan KUHP tersebut yang diungkapkan anggota DPR RI dan Pejabat Pemerintahan.

Salah satu yang menuai sorotan tajam dari beberapa pihak adalah adanya ancaman kriminalisasi atau pemidanaan terhadap hubungan seks diluar pernikahan, atau perzinahan dengan kriteria yang telah diperluas dari KUHP lama.

Beberapa waktu lalu, Anggota Komisi III DPR RI dari PPP Arsul Sani menjelaskan dalam KUHP lama yang berlaku sekarang, perzinahan masih belum diatur secara tegas.

Karena itu, Arsul menjabarkan, DPR RI dan Pemerintah telah sepakat untuk menetapkan perzinahan dan kohabitasi atau hidup bersama tanpa perkawinan yang sah alias “kumpul kebo” sebagai perbuatan pidana dengan konstruksi delik aduan dalam RKUHP yang kini tengah dibahas.

Hal itu dibenarkan Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej.

Mengenai perzinahan dalam Pasal 417, Edward menjelaskan bahwa tidak ada satu pun agama yang memperbolehkan perzinahan. Perzinahan merupakan kejahatan tanpa korban (victimless crime) yang secara individual tidak langsung melanggar hak orang lain, tetapi melanggar nilai budaya dan agama yang berlaku di masyarakat.

Maka, Pemerintah sepakat perzinahan dipidana. Namun, Pemerintah menentukan siapa saja yang boleh mengadukan perzinahan ini. Dan ternyata dalam RKUHP terbaru, para pihak yang boleh mengadukan tindak perzinahan bertambah dari KUHP lama. Apabila dalam KUHP lama yang bisa mengadukan tindak perzinahan hanya suami atau istri, tapi di RKUHP kini orang tua atau anak pun boleh mengadukan perzinahan.

Kriminalisasi terhadap apa yang disebut perzinahan ini memicu kecaman dari berbagai kalangan. Klausul semacam ini, tampak bermuatan perspektif agama tertentu, yang coba untuk ditanamkan dalam hukum pidana di negeri ini.

Peneliti Human Rights Watch Indonesia, Andreas Harsono menegaskan Rancangan KUHP Indonesia mencerminkan meningkatnya pengaruh Islamisme. Hal itu karena banyak Islamis menganggapnya sebagai “permata mahkota” dari apa yang mereka klaim sebagai hukum Syariah.

Pandangan Andreas itu tak keliru. Hampir semua agama memang menilai perzinahan adalah dosa. Tapi tak semua agama memandang, perzinahan harus dijerat hukum pidana.

Sementara dalam pandangan Islam, zina merupakan perbuatan kriminal (jarimah) yang dikategorikan tindak pidana hudud. Karena itu, zina harus dikenakan hukum pidana.

Dan draft RKUHP baru yang berisi pemidanaan terhadap perzinahan, dengan kriteria yang sudah diperluas dari KUHP lama, sejalan dengan prinsip hukum pidana Islam tersebut.

Jadi, tampak bahwa KUHP yang seharusnya berdiri diatas nilai-nilai universal, yang bisa diterima semua kalangan masyarakat Indonesia yang sangat beragam dari segi suku, agama, dan budaya ini, malah dirasuki nilai partikular yang berasal dari agama tertentu saja.

Dan gawatnya, merasuknya nilai partikular yang belum tentu diterima seluruh kalangan masyarakat negeri ini tersebut, berpotensi meningkatkan kriminalisasi terhadap privasi setiap warga negara.

Maka, tak aneh apabila salah satu pihak yang ngotot agar RKUHP segera disahkan DPR adalah Partai Islamis bernama Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

Sebagaimana diungkapkan Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR Fraksi PKS, Kurniasih Mufidayati beberapa waktu lalu, PKS mendorong agar RKUHP segera disahkan karena dibutuhkan untuk melengkapi upaya “perlindungan publik” terhadap tindak pidana kesusilaan yang jauh lebih “komprehensif”. PKS menyoroti masih belum ditindak tegas nya tindakan pelanggaran kesusilaan tanpa kekerasan seperti perzinahan dan penyimpangan seksual dalam hukum pidana negeri ini. Sehingga RKUHP menjadi harapan PKS untuk merealisasikan ‘mimpi’ mereka, yakni mempidanakan perzinahan.

Dalam negara multikultur dan memiliki motto Bhinneka Tunggal Ika sebagaimana Indonesia, tentu regulasi hukum yang berlaku harus berbasiskan nilai-nilai universal, bukan partikular.

Apabila nilai-nilai partikular dipaksakan untuk menjadi aturan hukum dan harus dipatuhi semua warga negara dari masyarakat yang sangat beragam ini, maka hal itu akan membuahkan totalitarianisme satu kelompok tertentu. Dan itu sangat berbahaya bagi kebersinambungan bangsa ini. (Hiski Darmayana)