Belum Ada Keseragaman, Kejaksaan Agung Dorong adanya Payung Hukum Pelaksanaan RJ

Loading

JAKARTA (Independensi.com) – Kejaksaan Agung mendorong adanya payung hukum terkait pelaksanaan Restorative Justice (RJ) atau Keadilan Restoratif untuk mengoptimalkan penegakan hukum yang restoratif dengan menekankan pemulihan kepada keadaan semula korban dan lingkungan masyarakat.

“Karena pergeseran paradigma pemidanaan dari pembalasan menjadi pemulihan dalam penyelesaian perkara pidana di Indonesia saat ini masih belum ada keseragaman,” ungkap Direktur Tindak Pidana Terhadap Orang dan Harta Benda (Oharda) pada JAM Pidum Kejaksaan Agung Agnes Triani saat menjadi nara sumber dalam sebuah diskusi di Erasmuis Huis Pusat Kebudayaan Belanda, Jakarta, Senin (19/9).

Dia menyebutkan permasalahannya setiap subsistem dalam sistem peradilan pidana seperti Kepolisian, Kejaksaan dan Mahkamah Agung memiliki aturan tersendiri dalam penerapan keadilan restoratif.

Sedangkan konsep Restoratif justice, tuturnya, adalah sebuah cara pandang alternatif penyelesaian perkara yang semula berfokus pada pembalasan atau penghukuman kepada pelaku tindak pidana (retributive justice) menjadi penyelesaian perkara dengan menekankan pemulihan korban dan lingkungan masyarakat.

“Penyelesaiannya melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku dan korban serta pihak terkait lainnya yang dilakukan secara adil,” kata dia dalam diskusi bertema “Pendekatan Keadilan Restoratif dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia untuk Mengakomodir Akses Keadilan bagi Semua” yang diselenggarakan Indonesia Netherlands Legal Update (INLU).



Agnes menyampaikan juga pendekatan Restoratif Justice memperluas pemahaman tentang proses pencapaian keadilan yang kolaboratif melibatkan masyarakat yang diberi kesempatan untuk bereaksi positif terhadap tindak pidana yang dilakukan pelaku dengan mengambil peran yang signifikan bersama-sama pemerintah dalam mencapai tujuan keadilan restoratif.

“Yaitu melindungi masyarakat dari pengulangan tindak pidana dan pemulihan hubungan hidup warga binaan dengan hidup, penghidupan dan kehidupannya,” kata mantan Kepala Kejaksaan Tinggi Bengkulu ini.

Dikatannyanya keadilan restoratif atau Restorative Justice dalam ruang lingkup Kejaksaan diiatur dalam Peraturan Kejaksaan RI Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif yang tertuang dalam Pasal 1 ayat (1).

“Yang menyatakan bahwa keadilan restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan bukan pembalasan,” tuturnya.

Agnes menambahkan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif dilaksanakan dengan asas keadilan, kepentingan umum, proporsionalitas, pidana sebagai jalan terakhir, cepat, sederhana dan biaya ringan.

Diskusi menghadirkan juga nara sumber Stichting Restorative Justice Nederland and Vice Chair of the European Forum for Restorative Justice Dr Annemieke Wolthuis yang menjelaskan tentang sistem peradilan terpadu di Belanda dan restorative justice yang telah diterapkan di Belanda.

Hadir dalam diskusi antara lain Wakil Ketua Mahkamah Agung Andi Samsan Nganro, Direktur Hukum dan Regulasi RM Dewo Broto Joko, Deputi III Koordinasi Penegakan Hukum Kemenko Polhukam Sugeng Purnomo, dan Program Manager of Institute for Criminal Justice Reform/ICJR Maidina Rahmawati.(muj)